Tembok yang realistis ini tiba-tiba terasa janggal, mengganggu dan
sebenarnya inilah yang membuat betah berlama-lama dihadapannya;
Kejanggalan ini rupanya terjadi pada tembok yang realistis itu.
Sangat besar, hampir tak ada perspektif pada ketebalan tembok itu;
Bidang tembok dibuat panjang dan lebar sama persis. Semestinya, di sinilah berlaku rumus perspektif itu. Makin jauh, makin menyempit;
Mungkin inilah tawaran dimana memang harus melihat tembok sebagai tembok, bukan sesuatu yang lain;
Memang benar, tembok itu adalah tembok yang memisahkan dua hal yang tak semestinya dipisahkan;
Tembok komunikasi antara kita dan orang lain, tembok antara dunia nyata dan dunia imaji, antara hidup dan kematian;
Inilah kenyataan. Di sana-sini terselip pandangan dimana jika tak
memberikan perspektif ke depan, hanya ada kebebasan dalam keterbatasan
Di sanalah seharusnya bermula. Bukan, ya bukan! Di sinilah awalnya. Dari tembok tetangga sampai jiwa mengembara.
TEMBOK; Antara Bebas dan Terbatas
This entry was posted on 12 Maret 2014 and is filed under kuasipuisi,pseudo,sajak. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.