Benteng Rotterdam masih berdiri kokoh di badan jalan kota Makassar. Mengeluhkan kisah, merengkuh sejarah budaya kontemporer. Bangunan tegak nan kokoh memunggungi kota seakan malu menatap zaman yang mulai tergerus era globalisasi.
Pagi menjelang siang, Rotterdam terlihat
sepi pengunjung. Hanya pengelola/petugas yang sibuk merawat bahkan
membersihkan beberapa bangunan maupun benda-benda purbakala. Sesekali
terdengar teriakan segerombolan anak SD memecah sunyi di ujung jalan koridor yang pada pagi itu usai mengunjungi Museum
La Galigo. Sebelumnya, di awal pintu masuk gerbang terlihat seorang
lelaki dengan cekatannya membersihkan lumut menempel di dinding tembok.
Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam berlokasi di kelurahan Baru, kecamatan Ujung Pandang atau tepatnya di jalan Ujung Pandang Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng Rotterdam sangat mudah dijangkau karena terletak di jalan yang
dilalui kendaraan umum, berjarak 500 meter ke arah barat dari lapangan
Karebosi.
Paling tidak berdasarkan perjalanan
penulis, butuh sekitar 5-10 menit jikalau berangkat mulai Balaikota
untuk tiba di lokasi tersebut. Terletak di tepi laut dan berhadapan
langsung dengan pantai losari.
Memiliki luas areal 28.595,55 m2 dengan luas keseluruhan bangunan 11.805,85 m2,
Benteng Rotterdam denah dasar segi empat dengan pintu besar di sebelah
barat menghadap ke laut dan pintu kecil di sebelah timur. Bagian
tembok dinding yang tertinggi 7 m dan bagian yang terendah 5 m, dengan
ketebalan dinding 2 meter.
Sekilas dinding-dinding tembok benteng
berwarna kehijauan. Mencoba menelusur lebih dekat mengitari sepanjang
tembok mengitari bangunan-bangunan dalam kawasan benteng, ternyata warna
kehijauan adalah lumut yang mulai menyelimuti tembok tersebut.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang?
Fort Rotterdam adalah nama yang diberikan
Belanda setelah memenangkan perang dengan Kerajaan Gowa yang berakhir
dengan penandatanganan perjanjian Bongaya, 18 November 1667. Benteng
tersebut kemudian dikuasai oleh VOC (Perhimpunan Dagang Hindia-Belanda)
dan benteng-benteng pengawal lainnya dihancurkan. Benteng ini kemudian
diubah namanya menjad Fort Rotterdam, nama kota tempat kelahiran
Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Speelman.
Benteng Rotterdam adapula yang menyebutnya Benteng Ujung Pandang. Dinamakan demikian karena letaknya berada di sebuah ‘Tanjung’
yang dalam bahasa Makassar disebut ‘Ujung’ dan pada masa lampau di
sekitar benteng banyak ditumbuhi hutan ‘Pandang’. Pandang di kota
Makassar berarti Nenas. Dari sinilah cikal bakal penamaan Benteng yang
juga kemudian dikenal dengan nama Benteng Rotterdam.
Sumber lisan yang berkembang di masyarakat,
adapula yang menyebutnya ‘Benteng Pannyuwa (Penyu)’ karena bentuknya
menyerupai Penyu, yang oleh masyarakat Makassar penyu menjadi simbol
bermakna jaya di darat dan luat. Penyu merupakan hewan yang dapat hidup
di dua alam, yakni di darat dan laut. Ini memberi pengertian bahwa
Kerajaan Gowa dulu ingin memegang hegemoni di darat dan di laut.
Kini bangunan yang ada dalam kawasan
benteng rotterdam tersebut dapat diidentifikasi dengan penamaan huruf
abjad. Tentunya setiap penamaan huruf abjad gedung memiliki fungsi
gedung yang berbeda. Pemberian abjad dari jumlah 16 gedung tersebut
diberi penamaan A-P.
Secara keseluruhan bangunan dalam kawasan
Benteng Rotterdam terdapat sebanyak 16 dimana 1 buah bangunan
diantaranya didirikan pada zaman Jepang. Dari 16 gedung, juga diperkuat
dengan lima sudut yang disebut Bastion masing-masing 5 Bastion.
Hampir tiap hari Benteng Rotterdam ramai
pengunjung namun jika memasuki masa hari kerja, pegawai dari UPTD (Unit
Pelaksana Teknis Dinas) Museum La Galigo dan Balai Pelestarian Cagar
Budaya Makassar yang tengah sibuk lalu lalang di koridor gedung. Para
pegawai ini memang berkantor di dalam benteng tersebut. Berkeliling
memantau kawasan ataukah sesekali memandu pengunjung.
Tapi pagi itu, sebagian pegawai tengah
sibuk membersihkan tembok maupun gedung, memindahkan barang purbakala
hanya untuk sekedar dibersihkan ataukah memperbaiki bila barang dinilai
rusak. Menurut pekerja yang tengah sibuk pada saat itu mengatakan bahwa
barang yang diperbaiki tersebut memang sudah saatnya untuk perbaikan,
tergantung dari kondisi benda maupun gedung tersebut.
Nilai Estetika Tetap Dijaga
Benteng Rotterdam mulai dibangun pada tahun
1545 pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-IX, Karaeng Tumapa’risi
Kallonna dan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-X, bahan dasar dinding
pada awal pembangunan adalah dari tanah liat kemudian bertahap berganti
dengan bata. Namun pada tahun 1667 pada masa pemerintahan Kolonial
Belanda dinding benteng pertama kali mengalami perubahan dari bahan
dasar bata menjadi padas.
Seiring berjalannya waktu dan proses
perkembangan zaman seolah termakan usia, bangunan di Benteng Rotterdam
yang berusia lebih dari empat abad tersebut sejatinya tetap saja butuh
pemugaran. Hal ini dilakukan demi menjaga bentuk benteng sesuai sejak
pertama kali dibentuk.
“Zaman boleh berubah, tetapi peninggalan
zaman tetap dijaga sesuai bentuk aslinya. Oleh karena itu diadakan
pemeliharaan dan perawatan secara berkala. Perawatan ini dilakukan
tergantung dari kondisi benda maupun gedung tersebut,” ujar Muhammad
Natsir, Staff Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Makassar.
Demi menjaga untuh berdirinya bangunan dan
tanpa menghilangkan nilai geming (estetika) dari setiap sudut gedung
maupun barang yang ada di dalamnya. Setiap melakukan renovasi atau
ataupun pemeliharaan, ada ketentuan tersendiri sebelumnya.
Perawatan dan pemeliharaan cagar budaya di
kawasan (Benteng Rotterdam) dilakukan dilakukan dengan pembersihan,
pengawetan dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian
bentuk, tat letak, gaya, bahan dan/atau teknologi cagar budaya. Penulis
mencoba menelisik hal ini dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, dan memang benar hal inilah yang coba diterapkan dalam Benteng
Rotterdam dalam hal pelestarian cagar budaya.
“Misalnya ingin mengganti bahan kayu yang
digunakan di dalam gedung. Menggantinya itu harus dengan kayu yang
sejenis dan ukuran yang sama sesuai aslinya, Menjaga nilai estitika
gedung” kata Natsir. Begitupun dengan pemindahan ataupun pembersihan
barang-barang, lanjut Natsir, mesti pakai aturan atau melihat data
referensi suatu barang terdahulu untuk kemudian disesuaikan.
Rotterdam Milik Siapa?
Walaupun letaknya di Makassar, Sulawesi
Selatan, kawasan cagar budaya Benteng Rotterdam termasuk asset
kepemilikan nasional dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimana unit pelaksana di kawasan tersebut adalah Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Makassar yang berkantor di kawasan benteng. Unit
inilah yang kemudian secara teknis pelaksanaan diberikan tanggung jawab
untuk menjaga maupun mengurus pemeliharaan Benteng Rottterdam.
Lain lagi dengan Museum La Galigo. Museum yang dulunya bernama Celebes Museum didirikan
oleh pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1938, kini secara resmi berubah
nama menjadi Museum La Galigo sejak 1 Mei 1970. Selanjutnya di era
otonomi daerah Museum La Galigo berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Sulsel nomor 166 tahun 2001.
Meski pada 28 Juni 2001 berubah nama
menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Sulawesi Selatan, organisasi tata kerja UPTD Museum La Galigo ini
diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 40 Tahun
2009, tanggal 28 Februari sampai sekarang.
Meski demikian, Benteng Rotterdam maupun
Museum La Galigo toh tetap saja dapat dinikmati setiap pengunjung baik
lokal maupun mancanegara. Mengutip kata Natsir, meski negara atau
pemerintah tetap bertanggung jawab dalam hal ini, cagar budaya Benteng
Rotterdam tetap diyakini sebagai bagian masyarakat, untuk
mensejahterakan dan dinikmati oleh masyarakat. Tugas khusus untuk
menjaga harmoni dan pelestarian cagar budaya adalah masyarakat pula.
Sama halnya dengan Museum La Galigo. Bukan
hanya sebagai tempat untuk memamerkan peralatan permainan rakyat,
peralatan rumah tangga, maupun peralatan kesenian. Tetapi Museum La
Galigo ini diharapkan mampu mengambil peran strategis untuk mencerdaskan
bangsa, memperkuat kepribadian bangsa dan ketahanan nasional.
Pukul 11:45 Wita, matahari meninggi dan
panas mulai menggerayangi. Sejenak penulis melepas lelah di salah satu
warung yang berada tepat di depan benteng. Warung tersebut hanyalah satu
satu dari sekian warung/kios yang banyak berjejer di pinggir jalan
depan benteng. Sekumpulan warung/kios yang sengaja dibangun bagi para
pengnjung yang ingin istirahat melapas dahaga dan lapar sehabis
berkeliling di cagar budaya Benteng Rotterdam.
“Pak, es kelapa ta’ satu gelas nah,” ucapku memesan. “Oh, iye. Kita’ tunggu mi sebentar di’,”
jawabnya sembari mempersilahkan ku duduk di tempat yang telah
disediakan. Tak butuh waktu lama tuk menunggu, minuman dingin penyegar
dahaga seharga Rp 5.000,- itu kini telah hadir disajikan di meja tempat
saya duduk.
Sembari duduk menikmati es kelapa ditemani
pemandangan lalu lalang kendaraan, penulis kembali mencoba memecah
kesendirian dengan mencoba meresapi hasil percakapan dengan Natsir yang
diakhiri dengan senyum sapa beberapa menit yang lalu. Tak ayal mata pun
kembali melirik Benteng Rotterdam dari luar.
Pikirku, mungkin sengaja bangunan Benteng
Rotterdam dibuat membelakangi/memunggungi kota. Agar suatu saat di masa
depan jika ada masyarakat penasaran dengan wajah Rotterdam, harus
terlebih dahulu masuk ke dalam kawasan benteng untuk memandangi wajah
Rotterdam sebenarnya. Benteng Rotterdam, benteng pertahanan yang kini
bertahan dari gempuran pengaruh globalisasi. Cagar budaya yang tetap
lestari karena masih ada masyarakat yang tetap ikut peduli
melestarikan.*)