Perjalanan pulang dari Soppeng ke Makassar
sepertinya bakal merugikan jika tidak singgah ke tempat wisata. Lelah
menjalankan tugas kantor seharian, sepertinya pas untuk menikmati keindahan
alam di salah satu destinasi yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
Begitulah kira-kira pemikiran yang terlintas
di dalam benak saya usai menjalankan tugas peliputan kantor di daerah berjuluk
“Kota Kalong”. Kabupaten Soppeng. Dalam perjalanan pulang ke Makassar, saya dan
seorang teman yang berboncengan motor memutuskan untuk pergi ke salah satu
tempat wisata di kabupaten Barru. Air terjun Wae Sai, namanya. “Hitung-hitung
itu menyegarkan diri dan menghilangkan stres usai bekerja,” pikirku. Sore itu,
Selasa, 9 Juni lalu, kami berdua memutuskan pergi ke sana.
Destinasi wisata ini saya tahu, setelah
sebelumnya memeroleh sedikit informasi di salah satu grup pejalan di media
sosial bernama Makassar Backpacker.
Sebuah grup di facebook. Baik saya maupun teman, sama-sama tidak pernah
mengunjungi tempat itu. Namun air terjun Wae Sai terdengar begitu menarik untuk
tidak dilewatkan. Apalagi, perjalanan pulang ke Makassar, melewati jalur menuju
lokasi air terjun tersebut.
Pemandangan desa Libureng. Daerah di mana lokasi air
terjun Wae Sai berada didukung pemandangan alam yang indah dan udara yang sejuk
serta bersih.
|
Jujur
saja, Saya kurang ahli memberikan petunjuk penjelasan mengenai lokasi
keberadaan air terjun Wae Sai. Untuk bisa tiba di air
terjun yang berjarak 40 km dari Kota Barru ini, perlu menempuh
jalur pegunungan menuju Kabupaten Soppeng. Tapi berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah
satu orang yang pernah ke air terjun Wae Sai menjelaskannya di grup FB Makassar
Backpacker seperti ini;
Ikuti
jalur trans Sulawesi sampai ketemu kota Barru di perempatan pertama. Dapat tugu
adipura, belok kanan. Ikuti jalur itu sepanjang kurang lebih 20 km. Sebelum
tanjakan ke Buludua, ada percabangan ke kanan. Ada plang (papan informasi, red)
masuk ke lokasi air terjun sebelah kanan. Dari sini jalan mulai menanjak sampai
sekitar 5-7 km. Ikuti jalan terus yang berganti dari aspal ke beton dan jalan
berbatu. Sepanjang jalur ini kita disuguhkan pemandangan yang “wuiihh!”
Di
ujung jalan, ada rumah sebelah kanan berwarna kuning. Nah, kendaraan bisa
diparkir sekitar area situ. Trip dilanjutkan dengan jalan kaki melintasi sawah
dan bamboo kurang lebih 10 menit. Setelah melewati sawah hutan bamboo akan
tampak dua bangunan peristirahatan yang sudah tidak terurus.
Kita bisa menikmati indahnya air terjun Waisae dari sini
atau turun menikmati hempasan airnya atau mencelupkan badan di area air terjun.
Tergantung cara kita bermain,, main main main,, huraaa!
Informasi itulah kemudian yang saya jadikan
petunjuk dan menjadi tertarik menuju tempat tersebut. Namun, petunjuk yang saya
sadur dari grup Makassar Backpacker tersebut ternyata tidak semudah membacanya.
Yah, perjalanan memasuki kawasan air terjun Wae Sai masih jauh.
“Masih ada sekitar 4-5 km masuk itu.” Begitu
kata salah seorang perempuan paruh baya di sana yang kami temui saat hendak
memarkir motor di salah satu rumah warga. Dikarenakan ada perbaikan jalan,
motor harus diparkir dan mengharuskan kami berjalan kaki untuk melanjutkan
perjalanan.
Usai melalui jalan yang menanjak dan berbatu,
kami pun sudah memasuki sebuah daerah yang kelihatannya minim pemukiman warga. Di
daerah di mana air terjun Wae Sai terletak. Tepatnya, di desa Libureng,
kelurahan Lamporiaja, kecamatan Tanete Riaja di Kabupaten Barru. Namun, lokasi
yang hendak kami tuju ini benar-benar masih jauh.
ANTAR. Akses jalan untuk melihat air terjun Wae Sai lebih dekat, sempat membuat bingung. Jadinya, salah seorang warga berbaik hati mengantar kami menuju jalan yang tepat. |
Perkataan perempuan yang kami temui tadi, yang
mengaku lokasi air terjun Wae Sai masih jauh itu terbayang-bayang di kepala.
Sempat ada rasa putus asa untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami khawatir,
malam akan tiba saat kami baru saja berada di lokasi itu nanti. Namun, rasa
penasaran akan air terjun yang belum kami kunjungi sebelumnya mengalahkan niat
untuk menghentikan perjalanan. Jadilah kami terus berjalan melewati jalan yang
baru dibeton beberapa ratus meter, kemudian jalan berbatu di sepanjang jalan
setelahnya.
Saya pikir, perjalanan panjang yang ditempuh
dengan jalan kaki tidak ada ruginya juga. Selama perjalanan, kami disuguhi
keindahan alam yang masih natural di desa itu. Hijau dari sawah dan pepohonan,
awan putih, serta langit yang masih cerah membiru menaungi kami.
TEDUH. Suasana sore itu cerah tapi tak panas, namun
meneduhkan.
|
Di tempat ini, jika kota nyaris jadi neraka,
maka di desa ini boleh dikata nyaris jadi surga. Tak ada gedung-gedung tinggi
yang berani mencakar langit, yang ada cuma gunung dan pepohonan yang menjulang
tinggi melengkapi cerahnya pemandangan langit.
Selang berjalan cukup lama, pemandangan air
terjun yang ingin kami kunjungi mulai terlihat dari kejauhan. Diapit oleh dua
tebing tinggi. Menemukan air terjun Wae Sai benar-benar tidak mudah bagi saya
dan teman. Niat menuju air terjun dan melihat lebih dekat, cukup membuat kami bingung.
Entah berapa kali kami menjalani jembatan gantung yang ada di sana, dan
melewati jalan menanjak yang sama untuk melihat puncak air terjun Wae Sai dari
dekat.
KUDA. Meski tidak sedang berkunjung ke kebun binatang,
menemui dan memotret seekor kuda juga menjadi kesenangan tersendiri.
|
Di tengah kebingungan, ada salah satu warga
yang kebetulan melewati kami. Setelah bertanya padanya, ia mengantar kami
sebentar meski tak sampai di lokasi. Tak lama berjalan, kami pun akhirnya bisa
menemukan dan sampai ke tempat yang kami mau. Yeah! Melihat air terjun Wae Sai
dari dekat. Menikmati dan mencintai alam ciptaan Tuhan begitu lekat. (*)
AIR TERJUN WAE SAI. Ketinggian air terjun ini mencapai puluhan meter. Akses menuju lokasi harus ditempuh berjalan kaki sekitar 20 menit ke titik air terjun. |
MENGALIR. Air terjun Wae Sai berasal dari sungai Waruwue yang letaknya berada di dusun Wae Sai. Tak heran jika air terjun ini juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi warga. |