Tak mudah untuk bisa menikmati segelas kopi di puncak tertinggi
Pulau Sulawesi. Sebelum kenikmatan dalam kepahitan kopi dicecap, ada kelelahan
yang mesti dijaga hingga puncak.
Saya tak ingin mengawali cerita ini dengan kalimat "suatu
ketika" atau "pada suatu hari" yang sedang
"once-upon-a-time". Saya tak mau mengarang cerita, karena apa yang
saya tuliskan ini adalah sebuah kejadian nyata yang nama dan peristiwanya
bukanlah kebetulan seperti sinetron di TV. Tapi saya tak mau menuliskannya
terlalu panjang. Bukan karena khawatir tidak dibaca, namun lebih karena kemauan
saya sendiri. Sesederhana itu! Jadi beginilah ceritanya...
Saya tiba di puncak Gunung Latimojong pada Senin, 11 Juli lalu.
Sebuah hari yang membahagiakan untuk tersenyum di pegunungan—dimana bagi
sebagian besar orang, Senin adalah hari yang menjengkelkan untuk memelihara
kerutan di dahi. Maklum, pada hari itu, sudah banyak orang yang memulai kerja
sehabis liburan hari raya. Sementara saya, masih betah berwisata dan berbahagia
di sana.
Senin sementara siang saat saya dan dua kawan seperjalanan tiba
di ketinggian 3.478 mdpl. Di atas sana, sudah ada banyak pendaki lain yang asik
berfoto di tiang tranggulasi bertuliskan "Rantemario". Tunggu...saya
mau ngos-ngosan dulu sebelum lanjut. Capek! Oke, sudah.
Saya duduk di sebuah batu. Penting?! Tentu saja, karena itu
untuk duduk dan melepas lelah. Selain duduk, saya sibuk melihat telepon genggam
dan kamera jenis DSLR sibuk berpindah tangan. Orang-orang saling bergantian
merekam momen dirinya masing-masing. Dulu, kukira berfoto hanya terjadi di
momen penting saat acara di pernikahan. Nyatanya, pun di pegunungan juga bisa.
Dari selfie, wefie, hingga foto bareng, semua dilakukan sampai kartu memori tak
sanggup lagi menyimpan wajah mereka.
Di puncak Gunung Latimojong saya juga berfoto. Itupun baru saya
lakukan setelah pendaki lain nyaris menghabiskan satu buku gambar berukuran A3
untuk menuliskan titipan pesan dan ajakan kepada teman atau pasangannya untuk
ke tempat dimana ia sedang berada.
"Kapan kamu ke sini?" dan atau "I Love You,
Sayang!" adalah contoh kalimat mainstream yang mereka tuliskan, difoto,
lalu akan dikirimkan kelak ketika sinyal internet sudah menjangkau smartphone.
Manis sekali perbuatan mereka. Serasa ingin menirunya walau tanpa pengawasan
orang tua. Namun, saat itu saya tak membawa kertas. Bukan karena lupa. Atau
malu meminta kepada mereka. Hanya saja, dasarnya memang saya tak suka.
Sesederhana itu (lagi)!
Singkat cerita, saya pun berfoto atas bantuan teman yang sabar
dimintai tolong mencari sudut pandang gambar. Foto yang sekarang ini adalah
salah satu dari sekian banyak foto yang telah diseleksi berdasarkan penglihatan
mata dan perasaan hati. Halah! Foto yang menampilkan seorang saya yang sedang
ngopi, sendiri, tanpa kekasih. Hahaha!
Tak mudah untuk bisa ngopi di puncak Rantemario. Segelas kopi
yang diracik dari langkah kaki yang berat, napas yang tak beraturan, dan tanpa
larutan gula. Kopi yang dinikmati dalam keadaan tak mandi selama dua malam.
Namun, saya dan kawan seperjalanan tetap percaya, kita-nya dalam kondisi sehat
dan tampan-tampan saja. Hahaha! Apakah foto membuktikan itu? (*)
Liar biasa bossku.
BalasHapus