Gunung Latimojong tidak hanya
bercerita tentang puncak yang kau gapai. Di gunung tertinggi Pulau Sulawesi ini juga
bakal kau temukan hamparan kebun kopi.
Namanya, Ibu
Uni. Sebuah nama yang saya tahu setelah memberikan pertanyaan yang mudah dan
tak berhadiah. "Boleh tahu namanya siapa, Bu?" Pertanyaan itu tidak
langsung dijawabnya. Ada jeda beberapa detik hingga ia merasa mantap menyebut
namanya. "Uni," jawabnya seraya tersenyum.
Manusia
berjenis kelamin perempuan ini tak lagi muda. Umurnya sekitar 40 tahun. Ibu Uni
sendiri sepertinya lupa kapan tepatnya ia dilahirkan di dunia yang fana ini
atas kerjasama yang apik kedua orang tuanya. Kata "sekitar" yang ia
gunakan bisa jadi menunjukkan kalau ia merasa tak punya kesempatan menghitung
selisih tahun sekarang dengan tahun kelahirannya.
Tapi
umur tak jadi soal. Saya tak mempermasalahkannya. Kadang-kadang (berdasarkan
pengalaman) wanita cenderung jadi sensitif terhadap pembahasan soal usia. Tentu
saya tak ingin awal perkenalan saya dengan Ibu Uni jadi rumit hanya karena
mempermasalahkan tak yakinnya ia dengan usianya sekarang.
Sebelum
perkenalan itu, di suatu siang yang sedang mendung menjadi awal pertemuan saya
dengan Ibu Uni. Saat memandangnya pertama kali, cinta itu tak muncul. Dan saya
bersyukur akan hal itu. Hahaha!
Melihat
aktivitas yang dilakukan Ibu Uni membuat langkah kaki saya terhenti. Perjalanan
turun usai dari puncak Rantemario menjadi momen yang tepat untuk saya singgah
sejenak melihat Ibu Uni mengeringkan biji kopi. Saat memulai melakukan
pendakian, hamparan kebun kopi memang menjadi pemandangan menarik di awal
perjalanan ke Gunung Latimojong.
Ibu
Uni hanya salah satu dari sekian banyak orang yang bermatapencaharian sebagai petani
kopi di Desa Karangan, Kecamatan Baraka, Enrekang. Bersama suaminya, ia sudah
puluhan tahun aktif bergelut di dunia yang kini membesarkan nama torabika,
nescafe, maupun kapal api di dunia per-kopi-an. Kalau kau tanya suami Ibu Uni
kemana, percayalah...ia sedang memanen kopi di kebun. Saya sudah menanyakannya
sendiri.
Dia
dan suaminya berbagi tugas. Medan Gunung Latimojong yang cukup berat dengan
jarak tempuh yang jauh dari kebun, membuat suaminya mengambil alih tugas
memetik biji kopi. Ibu Uni sendiri kemudian yang akan memisahkan biji kopi
dengan kulitnya menggunakan mesin tertentu, kemudian dikeringkan seperti yang
ia lakukan siang itu. "Harus dikeringkan dulu sebelum dijual,"
tuturnya. Diketahui, setiap panen, Ibu Uni dan suaminya bisa mengumpulkan sekira
50 kg biji kopi.
Baru
saja mau bertanya untuk hal lain, Ibu Uni tiba-tiba pergi. Masuk ke dalam gubuk
kecilnya–tempat hunian sementara saat ke kebun. Saya seperti merasa diabaikan,
ditinggal tanpa sebuah alasan. Hiks! Niat hati ingin ‘suudzon’ terhadap Ibu
Uni, saya tetiba merasa bersalah sendiri. Tahu-tahu Ibu Uni sudah keluar dari
gubuk membawa sebuah cerek dan gelas.
“Minum
ki’ kopinya,” katanya sembari meletakkan cerek dan gelas di dekat saya duduk.
Sejurus kemudian, beberapa biji markisa yang disimpan di atas piring menyusul.
Markisa yang cukup banyak dan bisa kau hitung sendiri jumlahnya di foto itu.
“Dingin kopinya itu,” sambung Ibu Uni segera sebelum saya mencobanya.
Slurrrppp!
Benar kata Ibu Uni, kopinya dingin. Kopi tegukan pertama, pun rasanya seperti
melihat diri sendiri. Terlalu manis! Hahaha Tapi saya tak protes. Saya tidak
berada di sebuah kedai kopi yang bisa marah karena pesanan tidak sesuai
harapan: harga tak sebanding rasa. “Markisanya hasil kebun sendiri, Bu?” Saya
baru saja menyelesaikan kopi tegukan kedua saat mengajukan sebuah tanya.
“Dijual juga?” lanjut saya.
“He-he-he...tidak
dijual. Dimakan sendiri saja,” jawabnya. Kecuali kopi, sambung Ibu Uni, tentu
dijual. Hasil panen kopi yang sudah dikeringkan itu, nantinya akan dijual ke
pengepul dengan harga Rp13.000,-/liter. “Biasanya harganya Rp15.000. Tapi tidak
tahu kenapa bisa turun harganya,” beber Ibu Uni.
* * *
Gerimis
mulai turun. Saya mempercepat langkah hendak kembali ke desa. Perjalanan turun
dari Pos 1 Gunung Latimojong ke tempat registrasi pendaki setidaknya berjarak 3
kilometer. Masih cukup jauh. Beban bawaan saya pun bertambah, namun tak begitu
signifikan beratnya. Di dalam tas sudah ada beberapa biji markisa.
“Bawa
semua mi itu markisanya,” begitu kata Ibu Uni sewaktu saya mau pamit. Sejak
ditawari bersama teman kopi, saya memang belum makan markisa Ibu Uni di piring
itu. Perbincangan bersamanya seperti tak membuat saya ingin makan, kecuali
menenggak kopi buatan Ibu Uni. Dengan alasan isi tas tak muat lagi, saya hanya
sempat membawa beberapa biji saja. Saya lupa berapa, tapi lebih dari dua.
“Terima kasih, Bu. Mari...,” sebuah kalimat perpisahan yang sama sekali tak
romantis.
Langit
gelap dan gerimis masih berlangsung. Sekira 10 menit berlalu sudah pertemuan
singkat dengan Ibu Uni. Sebenarnya masih ingin berbincang lama, tapi mendung
yang memayungi langit Enrekang sejak tadi membuat saya menyudahi dan segera
pamit untuk pergi.
Dalam
perjalanan, saya jadi kepikiran Ibu Uni. Usahanya mengeringkan biji kopi
belumlah rampung, tapi gerimis sudah turun membasahi tanah, pepohonan, dan
barangkali juga biji-biji kopinya. Yang sabar, Ibu Uni. Mudah-mudahan harga
jual kopi yang menurun, tak menghalangi peningkatkan taraf kebahagiaan Ibu Uni
sekeluarga. Berbahagialah, para petani kopi Indonesia! (*)