Matahari baru saja terbenam. Tenggelam atas izin Allah SWT. Perjalanan
dengan terpaksa dihentikan, tenda harus segera didirikan.
“Nginap di sini saja deh. Tidak bisa mka lanjut jalan,” keluh Akbar. Dia adalah salah satu teman mendaki
ke Gunung Latimojong. Termasuk saya, ada satu lagi lelaki yang disapa Aan. Perjalanan
kita mulai Minggu, 10 Juli lalu. “Besok pagi pi lagi baru lanjut jalan,”
tambahnya sambil melakukan usaha mengurut kakinya yang sakit.
Sebelumnya, kami sudah berada selama semalam di Gunung Latimojong
usai menggapai puncak Rantemario, Senin 11 Juli, siang. Kami menginap di Pos 5
untuk pergi ke puncak di pagi dimana matahari belum juga kelihatan di sana.
Dalam perjalanan pulang (turun gunung),
Akbar tetiba tak bisa melanjutkan perjalanan. Langkah kakinya tertatih. Ia
mengeluh langkahnya berat untuk dilanjutkan lagi.
Sejak turun gunung dari pos 5, saya memang sudah mulai
melihat Akbar kesakitan. Saya yang berjalan membelakanginya acapkali mendengar
ia kesakitan saat kakinya bertumpu. Bahkan sempat jatuh walaupun jalanan
cenderung datar-datar saja. Tapi erangannya terdengar lebih besar dalam
perjalanan yang berbatu dan menurun. “Aaakkk!” erang Akbar setiap kakinya
bertumpu di tanah.
Beberapa kali, kami berdua yang berajalan di belakang Akbar
menyarankan untuk beristirahat sebentar.
Tapi, ia kadang-kadang cenderung keras kepala, merasa sanggup dan ingin
perjalanan dilanjutkan saja. Hingga tiba di Pos 4, sepertinya Akbar mulai putus
asa. Lelah, haus, dan sakit kakinya adalah satu paket keputusasaan yang
membuatnya berhenti melangkah.
Foto kaki Akbar |
Tak Ada Air Minum
Perjalanan pulang (turun gunung) dari Pos 5 menuju Desa
Karangan, kami bermaksud untuk singgah istirahat di Pos 2. Sejak tiba di Pos 4
saat Akbar mulai tak bisa menahan sakit di kakinya itu, Aan sempat menyarankan
untuk melanjutkan perjalanan malam hari. “Besok pagi saja baru lanjut jalan,”
kata Akbar. “Besok ini tidak sakit mi,” tambahnya lagi meyakinkan.
Saya melihat, Aan juga seakan gusar tiba di Pos 4 dengan
rencana mendirikan tenda di sana. Saya juga berpikir begitu. Bukan apa-apa,
persedian air yang kami bawa saat turun dari Pos 5 hanya sebotol saja. Kami
benar-benar tak ada perencanaan dan persediaan. Tentu ada pikiran untuk ambil
air ke Pos 2. Tapi perjalanan turun ke sana bukanlah perjalanan yang dekat dan
bisa kembali lagi ke Pos 4 dalam waktu yang singkat. Duh!
Akbar sementara memijit kakinya yang sakit saat Aan mulai
bersiap mengambil tenda di dalam tas untuk didirikan. Akbar mengeluh nyeri di
paha. Tiap kali hendak melangkah, pun lututnya gemetar. Hal itulah yang
membuatnya tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.
Saya membantu Aan mendirikan tenda. Di Pos 4, kami juga
menemui beberapa pendaki yang lebih dulu mendirikan tenda. Setidaknya ada dua
tenda. Mereka hendak baru naik ke puncak, tapi memilih menginap lebih dulu di
Pos 4. Sepertinya, hujan pun akan turun. Flysheet
(sejenis penutup tenda yang melindungi dari hujan) juga segera dipasang untuk
melindungi tenda yang sudah berdiri dari hujan. “Masuk mi ke dalam istirahat,
Akbar,” tutur Aan saat tenda sudah siap. Tidak lama setelah itu, kami berdua juga
memutuskan masuk ke dalam tenda. Gerimis mulai turun.
Di dalam tenda, kami membagi persediaan air minum yang
tersisa. Kami masih haus sebenarnya. Berbagi masing-masing seteguk air dari
botol belumlah cukup. Kita juga enggan meminta persediaan air kepada pendaki
lain. Kita merasa tidak enak meminta air kepada pendaki yang juga baru melakukan
pendakian.
Dengan terpaksa, kami memutuskan tidur saja. Berharap waktu
berlalu cepat, hingga matahari muncul membangunkan kami esoknya. Ini cukup
sulit. Bukan hanya haus, makan malam juga harus tertunda karena tak ada air minum.
Saya sendiri belum bisa memaksakan kehendak untuk segera
tidur. Barangkali waktu saat itu baru menunjukkan pukul 8 malam saat hujan
deras akhirnya turun. Du aorang teman yang tidur di samping saya sepertinya
sudah tidur. Tak banyak bergerak dan seakan teang-tenang saja.
Saya gusar. Resah di dalam tenda. Hujan memang tidak secara
langsung membasahi kami. Tapi genangan air yang turun dan belum menyerap
sempurna ke tanah seakan masuk melalui dasar tenda. Saya merasakan basah di
kepala. Matras yang dipasang di dalam tenda hanya cukup untuk melapisi badan
hingga paha saja. Tidak begitu basah, memang. Tapi cukup mengganggu.
Di tengah hujan masih deras, sayup-sayup saya mendengar
suara aktivitas pendaki begitu dekat di tenda kami. Sepertinya mereka ikutan “numpang”
berteduh di bawah flysheet yang memang cukup lebar bukan hanya untuk melindungi
tenda kami. “Mungkin mereka tak punya flysheet untuk tendanya sendiri,”
pikirku.
Saya sama sekali tak menegur mereka. Selama tak mengganggu,
biarkan saja. Toh, mereka barangkali hanya kurang beruntung tak membawa
peralatan (entah karena lupa atau sengaja) sehingga tak mengantisipasi cuaca,
seperti datangnya hujan yang asik mengguyur malam itu.
Oh, matahari pagi...bisakah menyapa lebih cepat lagi?! Saya
belum bisa tidur, tapi ingin segera melanjutkan perjalanan lagi. (*)
Kaki yang sakit membuat Akbar melangkah dengan tertatih. Jika perjalanan yang cukup sulit, kadang kami memasang tali webbing sebagai bantuan untuknya. |