Memutuskan untuk menonton drama korea
(drakor) bagi saya lebih kepada sebuah eksperimen ilmiah. Atau boleh juga
disebut sebagai penelitian berupa studi kasus urusan personal. Menonton drama
korea merupakan alternatif memberikan "suplemen" bagi otak saya.
Percayalah!
Minggu
kemarin, saya akhirnya berhasil menyelesaikan satu judul drakor dalam kedaan
sehat walafiat dan baik-baik saja. Sebuah pengalaman yang sebenarnya tidak
berharga karena tega membuat saya begadang untuk menuntaskannya. Setidaknya,
saya tetap tegar hingga episode terakhir. Paling penting, tak sampai menitikkan
air mata. Hahaha!
Siapa yang
tak kenal drakor Descendants of The Sun (DOTS)? Bagi yang belum, kenalan
dululah. Google bisa memberitahu semuanya, karena di sini saya tak sudi menceritakannya panjang
kali lebar.
Sejujurnya,
sudah lama saya ingin menonton DOTS ini. Cerita tentang kisah percintaan anak
manusia berkewarganegaraan Korea–antara tentara yang sok tampan dengan dokter
cantik–membuat saya penasaran. Beberapa teman sepertinya juga tak hentinya
memberikan dukungan dan memotivasi (baca: menjebak) untuk ikut terjun dalam lingkaran
para-pecinta-drama-korea. "Coba-coba saja dulu. Sempat ketagihan,"
begitu katanya.
Kukira, tak
ada salahnya mencoba. Setelah mengumpulkan kekuatan dan yakin akan diri yang
fana ini, Selasa, 30 Agustus malam lalu, saya akhirnya menontonnya. Beberapa
stok film Hollywood kuputuskan tak dinonton untuk sementara. Sesekali
menyelipkan tontonan drama korea yang (katanya) anak-muda-banget itu sepertinya
tak masalah. Maksudnya, saya juga masih muda, tapi drama berbau romantisme saya
pikir tetap perlu diikuti untuk memastikan apakah saya masih punya "sense
of love" atau tidak. Itu!
Saya tak
tahu dari mana rimbanya, tapi banyak orang mengira: mengidap jomblo yang
menahun membuat seseorang mengalami gangguan afeksi: segala hal tentang depresi
yang memicu perbuatan bunuh diri. Mitos tersebut lantas tak membuat saya mudah
percaya. Saya hanya khawatir.
Rasa
kekhawatiran itulah kemudian yang mendorong untuk menonton drama korea. DOTS
adalah pilihan yang benar meski tak baik. Secara umum, ini tontonan yang
menarik. Tidak hanya dibalut kisah cinta yang bikin baper, tapi juga mengundang
lapar karena terlalu menikmati hingga lupa makan. Drama 16 episode ini tidak
melulu soal romantisme antara dokter dan tentara, namun juga membangkitkan jiwa
patriotisme. Kisah cinta mereka kadang dengan terpaksa "digadaikan",
demi sebuah urusan kenegaraan. Hiks, 'kan jadi syedih...
Yah, ini
drama yang sedih, tapi tak sampai membuat saya menangis. Alhamdulillah untuk
itu. Rasa emosional saat menontonnya itu menjadi bukti, kalau saya ternyata
bisa juga merasakan gejolak-gejolak jiwa di dada yang entah karena proses
ilmiah macam apa yang terjadi di dalam sana. Pembuktian saya setidaknya berhasil.
Hati ini–yang kata teman jadi membatu karena betah menjomblo–ternyata tak
benar.
Tolong
jangan berpikir, hati ini jadi dingin membeku, karena sudah lama tak tersentuh
oleh hangat cintamu. Aih! Hey...hey...hey...itu tadi bukan bermaksud bikin puisi.
Tapi pembuktian yang dikemas ke dalam curahan hati bahwa tak menitikkan air
mata saat menonton drama korea bukan berarti menandakan bahwa Syachrul Arsyad adalah
seorang yang kehilangan perasaan atau sisi emosionalnya. Saya baik-baik saja,
walau masih menyukai kamu dengan cara yang seperti biasa: diam-diam dan penuh rahasia.
Aish!
Begitulah,
menonton drama korea mungkin sedikt "menyentil" jiwa-jiwa yang
tertidur di dalam dada. Menonton DOTS adalah suatu kegiatan berbeda bagi saya
secara pribadi, tapi usai menontonnya, saya masih seperti Syachrul Arsyad yang
kalian kenal. Tak berubah menjadi fanboy yang termotivasi ingin membentuk boyband.
Ilmiahnya, menonton drakor hanyalah alternatif memberikan pengalaman baru bagi
otak saya.
Pengalaman
menjalani sesuatu yang berbeda–semisal menonton drakor–ini sangat penting bagi
perkembangan diri saya sendiri. Ketahuilah, sesekali mengubah gaya/selera mampu
melatih zona otak emosi yang terletak di otak depan (lobus frontal). Jika
manusia tidak pernah memiliki pengalaman yang dapat menggoyahkan perasaan atau emosi,
maka manusia tidak dapat berkembang. Weits, saya pikir penjelasan saya ini
sungguh canggih sekali untuk membuat kalian mengerti. Hahaha!
Bukankah
sudah kubeitahu: menonton drama korea bagi saya lebih kepada eksperimen ilmiah
terhadap diri sendiri. Saya memang menikmatinya, tapi belum sampai kepikiran
ingin menjadikan tontonan drakor sebagai gaya hidup atau bahkan pindah haluan
menjadi fans garis keras 'oppa-oppa' (apa sih sebutannya) yang kerjanya menari
dan menyanyi itu. Tidakkah mengidolakan JKT48 saja sudah cukup? Hahaha!
Tapi,
beberapa teman sepertinya menyukai pengalaman baru saya ini. Bahkan banyak yang
kemudian merekomendasikan saya dengan judul-judul drama korea yang (katanya)
asli bikin mewek. Hey, kalian ini mau memberikan referensi pengetahuan tentang
cinta ATAU ingin melihat saya menangis, sih? Aigoooo...