Lae-Lae Punya Cerita

Chandrawinata melaju dengan kecepatan sedang, namun pasti. Tidak butuh waktu lama bagi perahu rakyat milik Daeng Bontoitu melakukan perjalanan di atas laut dengan membawa10 penumpang. Waktu 15 menit tidak terasa bagi kami yang akhirnya mampu menginjakkan kaki di Pulau Lae-Lae.

 
Pada suatu sore di Pulau Lae-Lae dengan perahu nelayan yang tak bekerja.
Daeng Bonto menyandarkan perahunya di pinggir pantai. Kami lompat satu per satu menuruni perahu. “Jam 7 (malam) jemput di sini lagi, Pak,” kata salah seorang teman mengingatkan Daeng Bonto. Urusan pembayaran kapal, katanya, nanti belakangan setelah pulang. Sesuai perjanjian, kami harus membayar setidaknya Rp10.000 per orang untuk pulang-pergi pulau.
Kunjungan ke Pulau Lae-Lae memang sudah direncanakan tidak bakal menginap. Berarti, kami hanya punya beberapa jam saja menikmati keindahan tempat ini yang baru berangkat dari Dermaga Kayu Bangkoa Makassar sekitar pukul setengah tiga siang. Kami tidak mengetahui apakah Daeng Bonto menunggu di pulau atau kembali ke tempat awal kami dijemput. Kami tidak memperhatikannya lagi, sebab kami mulai masuk ke dalam pulau.
“Selamat datang di Pulae Lae-Lae”. Sebuah ucapan sambutan tak bersuara dari sebuah gapura. Sebagai tanda memasuki pulau. Jejeran pohon kelapa mengerubungi kami yang berjalan memasuki kawasan Kecamatan Ujung Pandang, Kelurahan Lae-Lae. Beberapa spanduk peringatan dan imbauan untuk menjaga kebersihan pulau juga menjadi pemandangan yang tentunya tidak boleh kami indahkan begitu saja.
Sudut lain pemandangan Pulau Lae-Lae.
Kami berjalan jauh ke dalam. Mencari tempat yang pas untuk beristirahat dan bersantai selama di sana. Memilih sebuah tempat yang agak jauh dari perumahan warga. Sepanjang tempat itu berjejer pohon yang mulai mengering dan juga beberapa pondok sederhana yang memang disediakan bagi para pengunjung.
“Mau nginap di sini? Kita tempati mi ini tiga pondok. Bayar 50.000 mi saja.” Seorang perempuan mendatangi kami yang baru saja melepas lelah. Ia salah satu warga yang mengaku bertanggung jawab terhadap pondok yang disediakan warga yang notabene memang disewakan.
Kami sempat meminta pengecualian kepada Daeng Singara—begitu kemudian nama perempuan yang kami tahu—untuk tidak memungut pembayaran kepada kami. Dengan alasan tidak menginap di pulau. Pada akhirnya kami pun patungan bersama teman-teman untuk membayar tempat sewa. Itu pun setelah Daeng Singara bersikeras meminta, karena barang-barang kami menempati pondok tersebut. “Nanti saya beri sekalian pisang goreng di sini,” begitu tambah Daeng Singara kemudian seperti sebuah usaha negoisasi antara kami supaya tetap menyewa tempat tersebut.
Kopi, biskuit, dan pisang goreng menjadi awalmemulai hari.Teman-teman sudah bergerak memanfaatkan pohon untuk mengantungkan hammock-nya masing-masing. Sebuah ayunan yang terbuat dari kain pilihan untuk menahan beban orang yang duduk atau tiduran di atasnya.
Meninggalkan teman-teman yang bersantai di atas hammock sambil foto-foto, saya sendiri memilih untuk berjalan-jalan di sekitar pulau. Sekadar mengumbar senyum, menyapa dan bersosialisasi dengan warga di sana. Saya seringkali merasa tidak tenang sepulang di rumah jika mengunjungi tempat yang baru, namun tidak menyempatkan waktu bersosialisasi dengan warga asli. Meskipun itu hanya sebuah perbincangan singkat.
Saya nyaris mengeliling pulau dengan luas 0,04 km2 ini. Tetapi saya berhenti dan tidak melanjutkannya lagi. Saya tertarik melihat aktivitas anak-anak. Mereka sedang memancing ikan. Cukup di pinggir pantai saja mencarinya.
“Lagi cari ikan, Kak. Ikan Pocci’, namanya,” salah seorang anak yang saya temui menjawab rasa penasaran saya perihal yang mereka lakukan. Saya mangggut-manggut saja mendengarnya seolah-olah mengerti.Padahal belum begitu tahu jenis-jenis ikan. Tapi ikan yang mereka tangkap kecil bentuknya, punya gigi-gigi kecil yang runcing, dan bercorak kecoklatan. Sekilas saya mengamati itu setelah meminta salah satu anak memperlihatkannya kepada saya.
Memperlihatkan ikan kecil dari hasil memancing di pinggir laut. Ikan tersebut, kata anak kecil itu, diketahui sebagai Ikan Pocci’ yang ditangkap dengan cara memanah.
Cara memancingnya pun menarik dengan alat yang sederhana. Menggunakan sebuah besi agak panjang dan kecil. Ujungnya sengaja diruncingkan, lalu ujung lainnya diikatkan sebuah karet. Penggunaannya mirip saat sedang memanah, tapi tanpa busur.
“Mappatte’ ini,” lanjut kata anak itu merujuk kepada penggunaan alat tersebut. Namun pemakaiannya ternyata tidak sesederhana alatnya.Dibutuhkan pengamatan dan kesabaran. Tetapi bagi anak-anak itu, Mappatte’ tidak begitu sulit untuk mendapatkan ikan.
Meski sempat beberapa kali gagal, anak-anak ini tidak kehilangan semangat untuk tetap memancing. Siang hari cukup terik, membakar kulit jika berlama-lama di bawah sinar matahari. Namun anak-anak tak kenal lelah dan seperti mengabaikan cuaca.Mereka hanya mau bahagia dengan caranya masing-masing.
Seperti di sudut lain pulau. Sekumpulan anak lelaki yang dengan semangat menendang bola ke gawang lawan dan perempuan yang asyik bermain lompat tali. Cucuran keringat di wajah menjadi tanda bahwa mereka bersemanagat dan bersenang-senang.Tidak disibukkan dengan aplikasi game atau media sosial di smartphone. Mereka bermain sebagaimana cara bermain untuk menciptakan kenangan masa kecil mereka sendiri.
Dua orang anak yang tersenyum saat di foto. Mereka sedang beristirahat di sebuah balai-balai dekat rumah.
Saya sempat mengambil gambar kegiatan anak-anak tersebut sebelum kembali bersama rombongan teman. Di tempat kami bersantai, hammock masih menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati. Menanti matahari tenggelam di ufuk barat.
Kami pun bersenang-senang, menikmati suasana pulau dan mengabadikan perjalanan kami dengan berfoto. Selepas senja di Pulau Lae-Lae, kami bersiap-siap. Saatnya untuk menemui Daeng Bonto, nahkoda perahu “Chandrawinata” yang akan memulangkan kami ke Dermaga Kayu Bangkoa. Kembali ke kota dengan keriuhannya pada Sabtu, 29 Agustus malam itu.

Kini, di hadapan kami, dari kejauhan tersaji pemandangan kerlap-kerlip lampu di kota Makassar. Menandakan aktivitas malam yang berpusat di Pantai Losari baru dimulai di sana. Kontras dengan Pulau Lae-Lae. Angin tidak begitu kencang di laut, tapi cukup membuat gigil. Dari atas perahu “Chandrawinata”, Daeng Bonto memulangkan kami; pergi dari keteduhan suasana, kembali ke keramaian kota. (*)
Anak-anak pulau yang memanfaatkan waktu sorenya dengan berenang di dekat dermaga.

This entry was posted on 10 September 2015 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply