Archive for 2016

CERITA TENTANG BAPAK

No Comments »


Rumah sakit selayaknya membuat Muhammad Arsyad belajar satu hal; ia bukan superhero, yang selalu bisa menang melawan tokoh antagonis. Arsyad tidak harus senantiasa berprinsip seperti jargon produk semen; berdiri keras dan kuat.

Semasa hidup, sependek pengetahuan saya, saya belum pernah melihat bapak selemah seperti saat dirinya berada di rumah sakit. Saya seakan melihat Arsyad yang berbeda di sana. Jarang sekali, saya melihat bapak, dengan wajah menahan nyeri, berusaha memenjarakan erangan yang bisa saja muncul tiap kali jarum suntik menembus kulitnya. Lalu, mengalirkan larutan elektrolit dari infus di urat nadinya.

Selama kurang lebih 20 hari menjalani rawat inap, di dua rumah sakit yang berbeda, Arsyad menjadi "tamu" di sana. Sebuah tempat yang saya yakini, ia benci. Menjadi pasien, seakan membuat harganya dirinya runtuh.

Mengalami cedera cerebrovaskuler adalah kabar buruk dari hari-hari baik yang telah dijalani Arsyad. Sejak didiagnosa terkena stroke hemoragik, 23 November lalu, dirawat di rumah sakit bak penjara bagi bapak. Masuk ICU adalah pilihan baik bagi anak-istrinya yang khawatir akan kesehatannya, tetapi bukan tempat yang benar menurut anggapan pribadinya.

Tapi mau bagaimana lagi, tempat terbaik untuk merawat kesehatan orang keras kepala macam bapak adalah rumah sakit. Entah, barangkali Arsyad phobia dengan hal-hal berbau rumah sakit. Saya belum pernah menanyakannya secara langsung. Saat Aminah, sang istri tercinta juga masuk rumah sakit lebih dulu, tak sekalipun ia menjenguknya ke sana. Di balik itu, sikapnya lantas tidak serta-merta bisa ditafsirkan bahwa ia tak cinta. Arsyad hanyalah manusia biasa yang tak tegaan melihat orang-orang sakit. Apalagi istri sendiri.
* * *
Saya berterima kasih kepada orang-orang baik yang telah datang menjenguk bapak. Tidak hanya membawa satu-dua kaleng khong guan, namun ada doa (yang kini makbul) dengan takaran yang tak bisa diukur demi kesembuhan bapak. Semua berkat keluarga dekat, kerabat, dokter, perawat, dan semua orang yang sebenarnya bisa disebut satu per satu, tapi banyak yang belum kukenal namanya. Hehehe!

Seperti tulisan dalam status ini, beberapa ucapan memang tak selalu terkirim, tapi saya yakin selalu ada doa yang akan sampai kepada orang-orang baik. Tak ada balasan lain dari kami sekeluarga kepada mereka yang telah berbaik hati selain ucapan terima kasih, begitu pula balasan doa; semoga kita semua diberkahi Allah SWT.

Sungguh, rumah sakit juga telah membuat saya dan saudara-saudara lain sadar dan belajar bahwa yang namanya merawat itu memang tidak mudah. Perhatian anak-anak kepada bapaknya selama di rumah sakit, tentu tidak sebanding dengan perlakuan bapak-mamak puluhan tahun “mewakafkan” diri membesarkan dan menyekolahkan anak.

Akan naif jadinya, jika berpikir sudah saatnya anak-anak yang gantian merawat bapak-mamak. Karena mau bagaimanapun, rasa sayang orang tua selalu lebih besar terhadap anaknya. Sekeras apapun kata “sayang” itu kau ucapkan di telinga orang tua, bapak-mamak selalu punya rasa sayang dominan lebih besar; tidak dimulutnya, tapi di dalam hati, melalui perbuatannya. Saya tidak membantah itu!
* * *
Bapak sedang di rumah. Sejak 2 Desember lalu, ia sudah kembali ke kampung halaman. Bertemu istri yang merindukan kehadirannya. Saya yakin betul, dengan terbebasnya bapak dari rumah sakit, pria berusia nyaris 58 tahun ini, ingin langsung menekuni pekerjaannya. Namun, ia mesti mengurungkan niat itu, bekerja bukanlah pilihan tepat bagi orang yang belum direkomendasikan memiliki beban pikir yang banyak.

Beliau memang tipe pekerja keras, cenderung pendiam, sekaligus keras kepala. Beberapa sifat yang dimiliki orang-orang berzodiak Capricorn. Tapi ramalan memang tidak selalu benar, bahkan cenderung acapkali salah. Mamak saya yang merupakan istri Arsyad–yang juga lahir pada tanggal, bulan dan tahun yang sama–malah berkebalikan dari karakter itu.

Berbeda, namun bisa hidup bersama berumah tangga. Bahagia, setia, dan tahan lama. Maksud saya, tidakkah usia 34 tahun pernikahan menjadi bukti bahwa Arsyad dan Aminah adalah sebenar-benarnya jodoh. Sepasang manusia yang ditakdirkan saling menyayangi. Sejak menikah 14 Agustus 1982 silam, tak ada dari mereka berdua yang saling mengingkar janji, sampai sehidup semati.

Saya suka akhir cerita yang baik dan bahagia. Tentu, tidak semua kenangan tergambarkan dengan baik. Tetapi, epilog tadi sudah cukup bagus untuk menyudahi tulisan yang bakal menjadi memori pribadi tentang bapak maupun mamak. Oh iya, terakhir: Selamat Hari Ibu, Bapak! (*)

MEMBINCANGI FACEBOOK

No Comments »


Di facebook, di dalam dunia yang penuh dengan fitnah dajjal, jarang sekali ditemukan diskusi atau perdebatan yang bervisi meluruskan lagi mencerahkan. Kebanyakan muncul hanyalah orang yang tampil sebagai pembeda; mengklaim diri siapa yang pintar dan pantas dibodohi di sana, di sini, dan di mana-mana saja yang ada tulisan (postingan) yang memantik sumbu di kepala.

Saya memilih untuk tidak terlalu menyentuh hal-hal "sensitif" dalam ber-status atau berkomentar di media sosial (medsos). Kalaupun ingin, saya suka menulisnya dalam keadaan bercanda. Bukan karena mau cari aman atau menempatkan diri saya di wilayah abu-abu. Saya merasa belum cukup mumpuni menjadi moderator atau narasumber yang berpotensi menciptakan debat kusir.

Apalagi, tidak ikut terjun ke dalam hal-hal yang lagi populer di facebook, tidak selalu berarti (benar-benar) abai terhadap peristiwa tersebut. Beberapa orang tentu punya pilihan dan berhak selektif, tentang hal apa saja yang mau ditulis dan dibagi (untuk kemudian dilihat atau dibaca orang) di medsos.

Dari awal, saya sendiri hanya berusaha menjadikan media sosial ini sebagai hiburan, sisanya untuk mencari pengetahuan. Saya memilih facebook bukan sebagai sumber, tapi sekadar media sekunder untuk mencari dua hal itu: hiburan dan pengetahuan. Kadang-kadang, cari jodoh juga sih. Hahaha!

Kalori di dalam tubuh saya tidak pernah cukup besar untuk menjadikannya energi dalam sebuah perdebatan sengit di facebook. Saya tidak suka menenggelamkan diri terlalu dalam pada sebuah debat status yang membahas tentang penista agama, roti, dan atau peci(?). Lalu, saling lempar argumen biar dikata pintar—karena telah ikut andil berkomentar di situ.

Facebook memang media yang menawarkan kesenangan. Berbagai macam bentuk pula. Dihadirkannya konten yang menggiurkan. Jemari kita selalu terpantik untuk bergerak lebih cepat; mengetik status, berkomentar, dan membagi hal-hal apa saja—walaupun tanpa filterisasi melalui kepala. Dan itu, candu. Entah kenapa dan bagaimana.

Lihatlah...facebook telah berubah, sejak hoax menyerang. Lalu, kemana sang avatar Mark Zuckerberg saat dunia membutuhkannya? Apa perlu saya bertanya pada rumput tetangga yang sedang bergoyang?

Awalnya adalah menghubungkan jalinan pertemanan. Kini, malah memunculkan permusuhan, pertikaian, judi, miras, dan hal kacau lainnya—yang sebenarnya bisa saya sebutkan satu per satu tapi capek ketiknya. ðŸ˜‚

Sesekali, melihat hal semacam itu, ingin rasanya kulari ke facebook, kemudian teriakku: SANTAI WEH...!


KIMI NO NA WA: Sebuah Anime 'Bajingan'

No Comments »

Makoto Shinkai adalah sosok yang jenius, sekaligus seorang bajingan. Tentu saja, dan biarlah itu berlebihan. Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah anime ini, ia pandai betul membuat penonton merasakan kegalauan.

Sepertinya, Makoto Shinkai terobsesi mempermainkan perasaan orang lain. Melalui karya teranyarnya, Kimi No Na Wa (Your Name), ia menampilkan narasi cinta sederhana dengan skenario yang tidak biasa. Rumit, menyentuh hal terdekat, tapi mengharukan.

Singkatnya, Kimi No Na Wa adalah anime yang bercerita tentang keajaiban cinta anak remaja yang masih SMA. Diceritakan, Mitsuha Miyamizu dan Taki Tachibana saling bertukar tubuh. Dikiranya mimpi, padahal kenyataan. Mereka tak saling mengenal, namun secara bergantian saling berbagi kisah lewat tubuh yang berbeda.

Entah karena apa. Tetapi, kukira memang tidak perlu ada penjelasan ilmiah untuk kejadian itu. Bukankah ketika bicara cinta, semua hal memang sulit untuk dijelaskan dengan rentetan argumentasi ilmiah? Hahaha :p

Saya beruntung tidak meneteskan air mata saat menonton anime saat rehat dari kerjaan di kantor. Namun, menjadi baper adalah sesuatu hal yang pasti. Itulah mengapa saya menyebut Makoto Shinkai adalah seorang brengsek. Saya bahkan hampir membencinya karena nyaris membuat saya merasakan kegamangan akan cinta yang hilang. Hahaha! :v

Menyoal sisi tampilan, dijuluki sebagai animator yang memiliki "sentuhan Midas" mungkin juga tidaklah berlebihan. Kemampuan itu memang ia buktikan dalam setiap karyanya. Tidak banyak anime yang menampilkan permainan pencahayaan dan warna seperti yang disuguhkan makoto Shinkai dalam Kimi No Na Wa ini. Gaya realisme khas Makoto Shinkai. Detail, namun Indah.

Jika kamu adalah seorang wanita yang sensitif atau rentan tersentuh hatinya untuk sebuah film bergenre romantisisme, sediakanlah tisu.

Atau sebenarnya, kamu bisa memilih dengan menonton bersamaku. Dan, tangan saya bisa saja membantu menyeka air mata yang sewaktu-waktu mengalir di pipimu usai menonton film yang mengandung kesedihan, lagi menyebabkan baper ini.

Sudah. Itu saja. Capek ketiknya. *dadaaaaahhhh*

DOCTOR STRANGE "RASA" SHERLOCK

No Comments »


Baru sempat nonton. Saya masuk studio dalam keadaan deg-degan. Berusaha mengumpulkan kekuatan. Tentu tidak mudah bagi saya yang duduk di kursi A-18, melihat kembaran sendiri bermain sebagai pemeran utama dalam film ini. Hahaha! Oke, maafkan saya atas pikiran kotor tadi. Mari kita kembali ke jalan yang benar...

Siapa yang tidak kenal Benedict Cumberbatch? Dengan akting yang mumpuni dan wajah yang gagah, membuatnya popular di kalangan banyak wanita. Tapi sayang sekali, saya tidak sedang mau menceritakan dan membahas lebih jauh sisi itu.

Benedict Cumberbatch adalah Doctor Strange "rasa" Sherlock. Dalam serial TV detektif yang ia bintangi, karakter yang diperankannya mirip dalam film superhero ini: cerdas, ambisius, narsis, keras kepala—dan juga jomblo(?). Yap, watak Benedict Cumberbatch yang memerankan Doctor Stephen Strange tidak beda jauh dengan peran Detektif Sherlock yang ia bintangi dalam serial TV.

Sebelumnya saya belum tahu superhero yang satu ini, bahkan melalui komik Marvel sekalipun. Saya tidak begitu tahu karakter Doctor Strange yang sebenarnya. Tapi, pemilihan Benedict Cumberbatch sebagai pemeran superhero itu sangat pas bagi saya. Tidak perlu lagi diragukan lagi akting Benedict Cumberbatch di film ini.

Benedict Cumberbatch saat memerankan Sherlock dalam serial TV yang bercerita tentang detektif.
Tidak hanya itu, efek visualisasinya juga keren. Mengingatkan saya akan film Inception—yang dibintangi Leonardo Dicaprio. Melihat gedung-gedung berubah-ubah memang cukup memusingkan kepala, tapi sudah cukup membuat mata saya berbinar-binar. Tentu saja, efeknya lebih bagus di sini, ketimbang dalam film Inception. Lebih halus.

Beberapa bagian dialognya pun lucu. Humornya segar. Penempatan “joke-joke” berasa tepat di tiap adegan. Acapkali ada kelucuan di balik ketegangan akan aksi Doctor Strange melawan musuh-musuhnya.

Terakhir, ini film superhero produksi Marvel ini. Jadi ya itu, alur cerita dan karakternya cenderung kuat. Agak berbeda dengan “tetangga sebelah” dalam membuat film superhero—yang kadang-kadang kehilangan arah. Hehehe! Memang sih dalam film Doctor Strange ini ditemukan banyak kebetulan-kebetulan yang (sepertinya) memang sengaja diciptakan agar alur cerita tidak terlalu panjang (masalah durasi).

Salah satunya, saat Doctor Strange ke Kathmandu mencari lokasi Kamar Taj. Dalam kebingungan, secara “kebetulan” ada Baron Mordo (Chiwetel Ejiofor) yang mendengar Strange mencari tempat spiritual tersebut. Meski begitu, tetap saja, kebetulan-kebetulan yang saya maksud itu tidak begitu kentara sebagai sebuah kebetulan. Gitu.

Oh iya, mungkin Doctor Strange akan berkecimpung dalam film Avengers atau film Marvel lain berikutnya. Pada bagian extra-scene yang terdapat di pertengahan credit title, di situ Doctor Strange tengah berbincang dengan Thor, salah satu anggota Avengers.

Yah, Oke sip. Ditunggu kelanjutannya...


Kenang - Kangenan

No Comments »

Mahasiswa Kelas C Prodi Teknik Listrik Jurusan Teknik Elektro '09. Bergambar bersama sebelum benar-benar jadi calon pengangguran. Hahaha!
Potret pada zaman dahulu kala, ketika para manusia cerdas(?), baru saja terbebas dari belenggu pendidikan bernama perguruan tinggi. Selepas menyelesaikan ujian sidang sebelum menyambut wisuda, para bakal calon pengangguran itu memutuskan berfoto bersama. Tujuannya, supaya hasil cetaknya berguna sebagai pengisi ruang kosong di dompet masing-masing. Hahaha!

Itu di tahun 2012 pada bulan November. Secara administrasi, status kita bukan mahasiswa lagi. Sebulan lagi sejak saat itu, kita tinggal menanti prosesi wisuda sebagai upacara seremoni tak begitu penting. Momen dimana hanya mempertegas status dan posisi kita bahwa bakal lahir calon generasi muda yang (insya Allah) akan menambah beban dan menyusahkan negara.

Kini, empat tahun sudah berlalu sejak wisuda memisahkan masing-masing dari kita. Menjadi manusia merdeka mandiri, lepas tanggungan orang tua, tapi masihkah kita menyusahkan negara? Tentu saja iya. Hahaha!

Tak masalah. Tiap-tiap manusia yang terlukis wajahnya di foto itu telah hidup di jalannya masing-masing. Ada yang sudah menikah, lanjut kuliah, sibuk kerja, dan ada pula yang masih resah karena sibuk kerja tapi belum nikah-nikah.

Akan tetapi, jujur saja saya ungkapkan, Alhamdulillah karena tidak ada dari kita yang sampai saat ini berniat jadi politisi. Hal tersebut tentu bakal menjadikan proses reuni yang suci menjadi tercemar karena diisi perbincangan yang kaku dan membosankan. Terlebih lagi bisa mengancam jalinan pertemanan hanya karena berdebat soal kekuasaan. Jika begitu, cukuplah untuk tetap jadi pengangguran yang menyenangkan saja. Hahaha! *eh*

Sudah ya. Kalian salah kalau bilang kangen tidak butuh banyak energi. Akhirulkalam: selamat menunaikan ibadah kangen!

KEMATIAN JOHNY SANG KECOA

No Comments »

Johny yang terbujur kaku.
Johny, seekor kecoa yang telah meninggalkan dunia. Saya tak tahu pukul berapa tepatnya rohnya diangkat oleh malaikat. Raganya terbaring kaku, masih utuh, dan tubuhnya tak mengeluarkan aroma busuk. Subhanallah! Saya curiga, Johny mati syahid.

Entah peristiwa apa yang saya lewatkan semalam. Dalam tidur, saya tak menyadari bagaimana Johny menghadapi masa sakaratul maut. Tetiba saja, di suatu pagi yang seharusnya indah, saya menemukan tubuhnya terbalik tak bernyawa—tanpa tahu sebab kematiannya. Dia meninggal dalam kesendirian, tanpa didampingi kerabatnya. Kupikir, dunia per-kecoa-an kejam juga. Tega.

Johny telah tiada. Pergi tanpa pesan kepada keluarganya yang kini mungkin sedang sibuk mencari. Tubuhnya tak lagi merasakan dinginnya ubin, cerahnya mentari, dan tak lagi bebas mengepakkan sayap, terbang ke sana-kemari mencari alamat.

Selamat jalan, Johny. Kehadiranmu di dunia ini tak ada yang sia-sia. Paling tidak, semasa hidupmu sebagai kecoa, bisa menjadi pengingat kepada manusia-tak-tahu-diri, bahwa ada sesuatu yang perlu kita waspadai kehadirannya. Sesuatu yang tidak kita sadari, dan membuat dada berdebar-debar saking kagetnya saat kemunculannya. Dan itu kau...Johny—dan juga teman sebangsa kecoamu itu.

Akan tetapi, Johny berbeda dengan kecoa lain. Setidaknya, dia punya nama. Sebuah identitas yang sengaja saya sematkan kepadanya, karena belum sempat kenalan semalam.

MENGGUGAT INFERNO (Mungkin Resensi)

No Comments »


Saya tidak mengatakan INFERNO adalah film yang buruk. Hanya saja, sebagai orang yang terlanjur menikmati novelnya, Inferno yang akhirnya diangkat ke dalam versi film saya akui seru, namun agaknya "anu" sekali. Hmmm...

Saya ingat betul alur cerita Dan Brown dalam buku mutakhirnya berjudul Inferno ini. Apalagi, sebelum menontonnya ke dalam versi layar lebar, saya berhasil khatam buku ini sampai dua kali. Novelnya menakjubkan, hanya saja memang cenderung bertele-tele. Terlalu banyak deskripsi yang sebenarnya tidak perlu.

Saya masuk ke bioskop dengan harapan: filmnya bakal lebih menyegarkan dari versi bukunya. Atau setidaknya, lebih bagus dari dua film pendahulunya: Da Vinci Code dan Angels and Demons. Secara umum, saya setuju: Inferno memang tidak lebih buruk dari kedua film sebelumnya itu.

Barangkali memang tidak etis jika hanya selalu membandingkan kualitas film dengan cerita yang ada di dalam buku. Akan tetapi kalau boleh jujur, saya lebih merasakan ketegangan aksi Robert Langdon lewat novelnya. Di film, banyak adegan yang berubah. Begitupun karakter para tokoh penting lainnya yang berbeda. Masalah durasi memang seringkali menjadi salah satu faktor sehingga alur cerita diubah, tidak selalu mengikuti plot dalam buku.



Namun, saya pikir itu juga masalahnya, karena banyaknya adegan dalam novel yang tidak dimasukkan ke film, Inferno kelihat kurang dramatis. Nuansa konspirasi dan teka-teki khas Dan brown tidak berasa di film ini. Di awal film, beberapa adegan sudah cukup memunculkan ketegangan. Tapi makin lama...ah rasanya saya tidak tega mengatakan ini: membosankan.

Sebagai penonton, saya merasa lelah. Melihat pergantian ‘scene’ yang terlalu cepat, seperti tidak ada jeda untuk penonton ikut menganalisa pemecahan masalah yang dihadapi Robert Langdon (Tom Hanks). Agaknya memang banyak kebingungan yang melanda dan membuat saya tak sampai hati mengungkapkan kekecewaan. Adakah istilah yang lebih halus lagi dari kata “kecewa” untuk mengutarakan ketidakpuasan atau ketidaksesuaian terhadap sesuatu? Aih!

Terakhir, saya sendiri bingung, mengapa adegan terakhir film benar-benar dibuat berbeda dengan versi yang ada dalam buku. Epilog yang diciptakan dalam film Inferno tidak lebih baik dari yang ada dalam novel. Menurut saya, terlalu biasa. Kupikir ini saatnya untuk Mario Teduh mendukung penilaian saya dengan mengatakan, “Itu...!”


ULTAH: Tersiksa Dulu, Bahagia Kemudian?

No Comments »


Judul berita (lihat foto) ini saya pikir hanyalah salah satu contoh dari banyak kejadian menggelisahkan dari sebuah cara merayakan hari kelahiran. Niat hati membahagiakan, ujung-ujungnya malah membawa kesedihan atau—bahkan lebih miris lagi—kematian.

Sebenarnya, saya pribadi tak begitu peduli dengan perayaan hari kelahiran atau ulang tahun (ultah). Maksud saya, "tradisi" siram tepung, air got, membuang telur, sampai "menyiksa" teman—dan kelakukan serupa lainnya adalah tindakan "mengerikan" bagi (sebagian besar) orang yang seharusnya diperlakukan "layak" di hari kelahirannya. Kehebohan macam apa itu?!

Apakah tidak ada cara lain yang lebih bernilai luhur untuk mereka yang berulang tahun diperlakukan dengan baik? Dengan melayangkan doa, misalnya. Memberi kado kesukaannya pun tak jadi soal. Malah lebih beretika dan elegan tanpa membuat dia yang berulang tahun harus "tersiksa" lebih dulu.

Jujur saja, saya termasuk pribadi yang tidak respek dengan perayaan ultah seperti itu. Apalagi diperlakukan dengan tindakan yang contohnya sudah saya sebutkan tadi. Kau boleh protes atau tidak setuju denganku. Tapi maaf saja, saya memang tipe orang-yang-tidak-asyik diajak berkecimpung di dalam beberapa hal perkara. (*)

*Link Berita di sini:

Jurnalisme "Brengsek" ala Ryan Holiday

1 Comment »


TRUST ME, I'M LYING adalah buku yang bangsat, namun juga keren. Ini adalah buku yang buruk (yang diharapkan) bisa membuat anda lebih baik (walaupun sebenarnya bisa juga lebih buruk). Bagi saya, buku ini laiknya kacamata. Ryan Holiday (penulis) tidak hanya membantu melihat, tapi juga mengamati lebih dalam apa yang awalnya terlihat kabur di dunia jurnalisme, utamanya di era digitalisasi saat ini.

Ryan Holiday yang bekerja sebagai manipulator media membuka bobrok jurnalisme yang dimanfaatkan oknum tertentu. Buku yang menggelisahkan, karena nyatanya, penulis membeberkan "pekerjaan kotor" yang dilakoninya sendiri. Berita buruknya, bukan cuma Ryan Holiday saja yang melakukan ini. Berita baiknya, paling tidak penulis membuat kita sadar bahwa profesi jurnalisme yang notabene sebagai jalan (atau 'agama' menurut Andreas Harsono) dalam menyampaikan kebenaran, justru ditempuh dengan cara penuh kebohongan dengan gaya yang tak beretika.

Ryan Holiday membuka segala kebobrokan itu. Apa yang terjadi di dapur redaksi sebuah media, nyatanya tidak sesederhana kelihatannya. Ada banyak "praktek" terselubung di sana. Kegiatan jurnalisme tercoreng oleh oknum yang pantas kita sebuat sebagai orang brengsek.

Bagi yang ingin mengetahui "kebenaran" perihal bagaimana informasi tersebar dan "dipelintir" pihak tertentu di sosial media, buku Ryan Holiday sangat dianjurkan untuk dibaca. Buku yang tentu saja tidak hanya dikhususkan bagi para jurnalis (pelaku media), tapi kepada mereka yang siapa saja aktif di media sosial. Ketahuilah, bahkan jurnalisme warga atau akun personal di media sosial banyak disusupi manipulator media yang bisa saja mengubah pola berpikir para netizen.

Lari ke Busan, Hindari Kejaran Zombie

No Comments »


TRAIN TO BUSAN adalah film bergenre horor/thriller yang lumayan bagus. Sekilas mirip konsep film World War Z.

Ini film Korea (bagian selatan), yang dipenuhi spesies 'Oppa-Oppa' yang saya ragu apa pantas disebut tampan atau tidak. Kukira, Korea cuma bisanya bikin film romantis yang bikin nangis. Ternyata, tidak benar begitu. Train to Busan hadir sebagai anti-thesa dari genre film/drama Korea yang mengharu-biru.

Film yang disutradari Yeon Sang-ho ini tidak bertele-bertele dan terkesan tidak ingin mengajak penonton berpikir. Ceritanya mengalir saja, tanpa berkutat pada informasi "virus" yang menerpa masyarakat Korea Selatan ini rimbanya darimana dan penangannya nanti seperti apa. Tahu-tahu dari awal pokoknya orang-orang tetiba menjadi zombie dan itu menular. Saya melihat penyajiannya memang cuma ingin memperlihatkan adegan yang bikin deg-degan dan membuat dada penonton berdebar-debar.

Di luar itu, Train to Busan adalah film yang tidak hanya mengundang nuansa mengerikan, namun juga mengandung nasihat (tersirat) yang bermanfaat. Menontonnya serasa mendapat pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah; memiliki nilai-nilai dan pesan moral Pancasila semisal saling membantu sesama.

Mendengarkan Dilan

1 Comment »


Untuk ukuran novel bergenre romantisisme, "Milea: Suara dari Dilan" termasuk buku yang "canggih". Entah apa yang membuat saya akhirnya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan ketakjuban saya terhadap buku yang ditulis manusia bernama Pidi Baiq ini.

Bagi saya, salah satu indikator buku bagus adalah buku yang membuatmu rela meninggalkan aktivitas lain dan atau sudi kekurangan jadwal istirahat demi fokus menyelesaikan bacaan yang sudah terlanjur kau mulai sejak halaman pertama.

Buku berjudul "Milea: Suara dari Dilan" masuk ke dalam variabel tersebut. Secangkir kopi cukup untuk menuntaskan novel setebal 360 halaman ini. Saya tak tega memberi jeda yang terlalu lama untuk meninggalkan buku ini yang sudah saya mulai baca sejak halaman pertama. Novel yang nikmat untuk membuat saya betah di kamar tidur sekitar empat jam untuk menyelesaikannya.

Buku ini termasuk kemutakhiran novel kisah cinta anak remaja. Sebuah narasi asmara yang hebat: sedih, namun tidak cengeng, lucu tapi tidak sedang melawak, dan penuh "jurus rayuan" yang tidak lebay namun sederhana. Hal ini sama dengan dua buku sebelumnya, yakni "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" dan "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991".

Tentu saja, buku ini tidak dianjurkan bagi anak TK yang belum bisa membaca. Hahaha!


DRAMA KOREA DAN "PLEDOI" TENTANG CINTA

No Comments »


Memutuskan untuk menonton drama korea  (drakor) bagi saya lebih kepada sebuah eksperimen ilmiah. Atau boleh juga disebut sebagai penelitian berupa studi kasus urusan personal. Menonton drama korea merupakan alternatif memberikan "suplemen" bagi otak saya. Percayalah!

Minggu kemarin, saya akhirnya berhasil menyelesaikan satu judul drakor dalam kedaan sehat walafiat dan baik-baik saja. Sebuah pengalaman yang sebenarnya tidak berharga karena tega membuat saya begadang untuk menuntaskannya. Setidaknya, saya tetap tegar hingga episode terakhir. Paling penting, tak sampai menitikkan air mata. Hahaha!

Siapa yang tak kenal drakor Descendants of The Sun (DOTS)? Bagi yang belum, kenalan dululah. Google bisa memberitahu semuanya, karena di  sini saya tak sudi menceritakannya panjang kali lebar.

Sejujurnya, sudah lama saya ingin menonton DOTS ini. Cerita tentang kisah percintaan anak manusia berkewarganegaraan Korea–antara tentara yang sok tampan dengan dokter cantik–membuat saya penasaran. Beberapa teman sepertinya juga tak hentinya memberikan dukungan dan memotivasi (baca: menjebak) untuk ikut terjun dalam lingkaran para-pecinta-drama-korea. "Coba-coba saja dulu. Sempat ketagihan," begitu katanya.

Kukira, tak ada salahnya mencoba. Setelah mengumpulkan kekuatan dan yakin akan diri yang fana ini, Selasa, 30 Agustus malam lalu, saya akhirnya menontonnya. Beberapa stok film Hollywood kuputuskan tak dinonton untuk sementara. Sesekali menyelipkan tontonan drama korea yang (katanya) anak-muda-banget itu sepertinya tak masalah. Maksudnya, saya juga masih muda, tapi drama berbau romantisme saya pikir tetap perlu diikuti untuk memastikan apakah saya masih punya "sense of love" atau tidak. Itu!

Saya tak tahu dari mana rimbanya, tapi banyak orang mengira: mengidap jomblo yang menahun membuat seseorang mengalami gangguan afeksi: segala hal tentang depresi yang memicu perbuatan bunuh diri. Mitos tersebut lantas tak membuat saya mudah percaya. Saya hanya khawatir.

Rasa kekhawatiran itulah kemudian yang mendorong untuk menonton drama korea. DOTS adalah pilihan yang benar meski tak baik. Secara umum, ini tontonan yang menarik. Tidak hanya dibalut kisah cinta yang bikin baper, tapi juga mengundang lapar karena terlalu menikmati hingga lupa makan. Drama 16 episode ini tidak melulu soal romantisme antara dokter dan tentara, namun juga membangkitkan jiwa patriotisme. Kisah cinta mereka kadang dengan terpaksa "digadaikan", demi sebuah urusan kenegaraan. Hiks, 'kan jadi syedih...

Yah, ini drama yang sedih, tapi tak sampai membuat saya menangis. Alhamdulillah untuk itu. Rasa emosional saat menontonnya itu menjadi bukti, kalau saya ternyata bisa juga merasakan gejolak-gejolak jiwa di dada yang entah karena proses ilmiah macam apa yang terjadi di dalam sana. Pembuktian saya setidaknya berhasil. Hati ini–yang kata teman jadi membatu karena betah menjomblo–ternyata tak benar.

Tolong jangan berpikir, hati ini jadi dingin membeku, karena sudah lama tak tersentuh oleh hangat cintamu. Aih! Hey...hey...hey...itu tadi bukan bermaksud bikin puisi. Tapi pembuktian yang dikemas ke dalam curahan hati bahwa tak menitikkan air mata saat menonton drama korea bukan berarti menandakan bahwa Syachrul Arsyad adalah seorang yang kehilangan perasaan atau sisi emosionalnya. Saya baik-baik saja, walau masih menyukai kamu dengan cara yang seperti biasa: diam-diam dan penuh rahasia. Aish!

Begitulah, menonton drama korea mungkin sedikt "menyentil" jiwa-jiwa yang tertidur di dalam dada. Menonton DOTS adalah suatu kegiatan berbeda bagi saya secara pribadi, tapi usai menontonnya, saya masih seperti Syachrul Arsyad yang kalian kenal. Tak berubah menjadi fanboy  yang termotivasi ingin membentuk boyband. Ilmiahnya, menonton drakor hanyalah alternatif memberikan pengalaman baru bagi otak saya.

Pengalaman menjalani sesuatu yang berbeda–semisal menonton drakor–ini sangat penting bagi perkembangan diri saya sendiri. Ketahuilah, sesekali mengubah gaya/selera mampu melatih zona otak emosi yang terletak di otak depan (lobus frontal). Jika manusia tidak pernah memiliki pengalaman yang dapat menggoyahkan perasaan atau emosi, maka manusia tidak dapat berkembang. Weits, saya pikir penjelasan saya ini sungguh canggih sekali untuk membuat kalian mengerti. Hahaha!

Bukankah sudah kubeitahu: menonton drama korea bagi saya lebih kepada eksperimen ilmiah terhadap diri sendiri. Saya memang menikmatinya, tapi belum sampai kepikiran ingin menjadikan tontonan drakor sebagai gaya hidup atau bahkan pindah haluan menjadi fans garis keras 'oppa-oppa' (apa sih sebutannya) yang kerjanya menari dan menyanyi itu. Tidakkah mengidolakan JKT48 saja sudah cukup? Hahaha!


Tapi, beberapa teman sepertinya menyukai pengalaman baru saya ini. Bahkan banyak yang kemudian merekomendasikan saya dengan judul-judul drama korea yang (katanya) asli bikin mewek. Hey, kalian ini mau memberikan referensi pengetahuan tentang cinta ATAU ingin melihat saya menangis, sih? Aigoooo...

SAJAK HUJAN

No Comments »


1.
Musim hujan adalah masa di mana senja berpulang saat petang. Masa di mana gigil dan rindu menginginkan jendela.

2.
Kau tahu? Ada dua hal yang kurindukan saat hujan: guling dan selimut. Kamu boleh memilih menjadi salah satunya. Keduanya sama hangatnya dalam pelukan.

3.
Satu hal yang aku tahu, pelukan itu ibarat senja. Mendekap semesta pada suatu ketika, lalu pergi dari jendela. Entah kemana ...



(Makassar, bulan November 2014 yang sedang hujan)

K A N G E N

No Comments »

Seorang lelaki yang tidak disebut namanya menjadi korban peristiwa kangen. Kejadian wajar namun tak biasa ini belum juga bisa ditangani.

Peristiwa ini berlangsung begitu cepat dan tak diduga. Berdasarkan penuturan korban, kangen itu terjadi saat dirinya hendak masuk ke toilet. Diakuinya, saat itu kepalanya pening. Meski bibir tak pecah-pecah, tapi dada berdebar-debar rasanya.

"Awalnya kukira saya diare. Hingga akhirnya saya yakin kalau ini kangen, namanya," tutur lelaki yang (sok) tampan ini usai dimintai keterangannya, malam tadi.

Sejak diterbitkannya status ini, peristiwa kangen tersebut masih sementara berlangsung. Bahkan saat ini korban masih bingung, (si)apa gerangan yang tega menjeratnya dalam peristiwa hebat tersebut. (*)

"Memaki" Raden Mandasia

No Comments »


RADEN MANDASIA: Si Pencuri Daging Sapi adalah buku yang bangsat. Keterlaluan. Novel sialan. Entah ada berapa kata "anjing"—sebagai bahan ejekan yang dituliskan di buku ini. Saya tak menghitungnya. Tapi jumlahnya terlampau banyak untuk membuat saya yakin bahwa ini bacaan yang menarik.

Maki-makian yang ditampilkan dalam cerita membuatnya seumpama garam dalam hidangan sayur—yang tanpanya, tak ada rasa. Sebenarnya, saya tak begitu suka dengan hal-hal yang tidak baik macam itu. Akan tetapi, di tangan penulis, umpatan itu hadir di momen-momen yang tepat. Anehnya lagi, saya suka dan menjadi percaya kalau penulis sudah melakukan hal yang benar.

Kukira, sudah lama saya tak membaca novel Indonesia sebagus Raden Mandasia. Membacanya malah membuat saya seperti sedang menonton. Kisah perjalanan Sungu Lembu dan Raden Mandasia dengan mudah divisualisasikan di dalam kepala. Saya bahkan sempat ngiler sendiri saat bagian makanan diceritakan. Kenikmatannya hadir di kepala, meski tak dicecap langsung di lidah.

Ah, sudahlah! Tak perlulah saya berpanjang lebar. Pada akhirnya, ini novel yang nikmat sekali. Anjing betul. Hahaha!

Kecewa Karena "Cinta"

No Comments »


Baru bisa menuntaskan ini setelah memutuskan untuk tak menontonnya di bioskop sejak dirilis April lalu. Alasannya sederhana saja, karena Geng Cinta tak lengkap: kurang Ladya 'Alya' Cheryl di situ.

Menunggu dari April hingga bisa melihat Cinta main film di AADC bagian kedua pada bulan Agustus memang cukup lama. Niat awal mau nonton di televisi. Saya menunggu dengan harapan: stasiun televisi milik Harry Tanoesudibjo bisa menayangkan AADC sebagai salah satu film liburan lebaran pada bulan Juni yang lalu. Tapi itu tak terjadi. Kekecewaan itu pun saya pendam sampai malam ini akhirnya wajah Cinta bisa saya nikmati pada layar ukuran tak lebih dari 14 inchi: melalui notebook, sambil ngopi, dan menggaruk kepala karena gatal.

Sebenarnya, saya tak begitu punya niat yang besar menonton AADC yang kedua ini. Lebih tepatnya, rasa-rasanya tak wajib. Hanya saja, sifatnya "mubah": menontonya tak berpahala—tapi menghibur, mengabaikannya pun tak berdosa. AADC—bagi saya—sudah selesai waktu pertama kali hadir 14 tahun lalu.

Film AADC menurut sehemat pandangan saya, malah lebih menjengkelkan ketimbang pendahulunya. Alih-alih ikut terharu dengan alur cerita cinta, yang ada malah muncul kebencian di segenap hati dan jiwa raga. Saya bukannya tak suka melihat kebahagiaan orang lain. Tapi kasus yang ada pada AADC ini memang sungguh keterlaluan. Melihat Cinta dan Rangga balikan sungguh sangat menjengkelkan.

Salah satu adegan Cinta dan Rangga di AADC - 2. Serasa ingin menggantikan peran Rangga di situ. Hahaha! (Sumber Foto: /INT)
Saya mengira kalimat pedas "yang-kamu-lakukan-ke-saya-itu-jahat" oleh Cinta kupikir sudah cukup membuat Rangga putus asa. Bukannya melilit tali di leher dan gantung diri, Rangga malah sok puitis-melankolis sampai mengajak Cinta jalan-jalan: dari makan malam, ngopi bareng, hingga dihadiahi "bogem" mentah dari Cinta. Sebuah "pukulan" telak, tepat di bibir Rangga. Sialan! Hahaha.

Saya curiga, Rangga sepertinya sengaja menjadi lelaki jahat buat Cinta. Lelaki sialan ini sepertinya paham betul, wanita sekarang banyak yang tidak suka—bahkan menolak—lelaki yang terlalu baik baginya. Jawaban "kamu-terlalu-baik-buat-aku" sudah cukup menyakitkan bagi kaum adam yang sedang mengungkapkan isi hati kepada wanita yang disukainya. Rangga, lelaki bermuka datar dan dingin itu..tentunya tak ingin mendapatkan perlakuan ditolak seperih itu, sodara-sodara!

Strategi Rangga mungkin licik, sekaligus tidak bernilai luhur. Akan tetapi, dari AADC (akhirnya) saya belajar: kalimat "yang-kamu-lakukan-ke-saya-itu-jahat" yang dilontarkan wanita secantik Dian Sastrowardoyo di AADC, seakan menjadi awal mula pertanda pencapaian dan kesuksesan Rangga merebut (kembali) hati Cinta. Rangga sudah menjadi jahat. Dan itu, agaknya menjadi sikap yang disukai (mungkin beberapa) wanita—termasuk Cinta.

Rangga...yang kamu lakukan ke Cinta itu...sialan! Hahaha.


Dian Sastro itu...."sesuatu" ya?! (Sumber Foto: /INT)

Beberapa Hal Tentang Sesuatu

No Comments »



1.
Tepat 14 Agustus 2016, pernikahan kedua orang tua sudah menginjak usia 34 tahun. Waktu yang lama dan tidak mudah untuk mempertahankan bahtera rumah tangga meski umur sudah menua.

2.
Tahun 1982, tersebutlah seorang pria muda dan juga tampan. Muhammad Arsyad, namanya. Sabtu, 14 Agustus, menjadi momen sakral baginya. Ia sengaja mengenakan setelan jas, dasi, dan peci yang membuatnya menjadi lelaki (nyaris) sempurna dan berbahagia. Sebentar lagi, ia bakal mempersunting wanita idamannya.

3.
Aminah tersipu malu. Ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang merah merona pada pantulan cermin. Barangkali tak pernah terlintas dipikirannya bakal dirias secantik ini. Tapi hari itu, penampilannya nyaris menyerupai RA Kartini. Dalam gugup ia berdoa, semoga akad nikahnya lancar dan baik-baik saja. Habis akad, terbitlah buku nikah. Semoga!

4.
SAH!!! Mulut Muhammad Arsyad lancar merapal ijab kabul. Sabtu, 14 Agustus 1982, adalah hari dimana ia resmi menyandang gelar "suami". Lalu, siapa wanita paling berbahagia saat dipanggil dengan sebutan "istri" dari lelaki yang mencintainya? Tentu saja, Aminah.

5.
Tak terasa, sekarang tahun 2016 yang sedang Agustus. Muhammad Arsyad dan Aminah dikaruniai anak-anak yang tampan dan juga cantik. Sebuah warisan yang amat berharga—di luar kebaikan hati yang juga menjadi teladan. Sudahkah kalian bahagia? Tentu tidak. Saya pikir, kalian berdua masih sementara bahagia.

6.
Hadiahnya baru saja saya titip kepada Tuhan. Tak ada acara perayaan yang mewah untuk hari pernikahan yang nyatanya sudah berusia 34 tahun. Kadonya dikemas dalam bentuk doa, tapi...insya Allah...isinya diharapkan bisa menjadi pengantar buat ke surga. Untuk Muhammad Arsyad dan Aminah yang tak hadir di dunia maya, tapi berbahagia di dunia nyata: TERIMA KASIH telah menjadi orang tua bagi anak-anak yang beruntung.

Wahai DC, Kelakuan Kamu Itu Jahat!

No Comments »

http://www.moviedeskback.com/wp-content/uploads/2016/01/Suicide_Squad_Wallpaper_1680x1050.jpg

Saya enggan bertele-tela membuat review film ini. Untuk sinopsisnya, saya pikir google bisa menjawab semua itu. Kedua-dua, mari segera akhiri saja tulisan yang mungkin agak-sedikit-panjang ini dengan memulai cerita kegelisahan saya usai menonton film superhero DC ini. Ketiga-tiga...mari mulai dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim....

Mengapa menonton Suicide Squad? Oke, film ini saya nonton sebenarnya gara-gara penasaran cuma mau lihat aksi Joker versi Jared Leto. Namun, agaknya saya kecewa, peran Joker di film ini seolah-olah cuma jadi cameo saja. Hmmm...tapi untunglah kekecewaan itu sedikit tertutupi berkat 'kenakalan' Harley Quinn yang diperankan Margot Robbie. Jadi begini...secara umum—menurut saya—Suicide Squad bukanlah film yang buruk, namun terburu-buru.

Mudah-mudahan pihak DC tidak merasa "tertekan" dengan kepopuleran Marvel saat membuat film ini. Setelah nonton, saya pikir Suicide Squad terlalu cepat hadir sebagai film yang menghadirkan wajah superhero gadungan…eh…maksud saya gabungan "superhero" (supervillain a.k.a anti-hero). Kedalaman dan alur cerita yang dangkal dan terkesan dipaksakan—apalagi tokoh/karakternya belum begitu kuat tertanam di ingatan. Masalah durasi barangkali jadi permasalahan utama, sehingga pengenalan karakter di film ini jadi terbatas. Itulah kenapa saya pikir Suicide Squad muncul terlalu cepat.

Sepertinya pihak DC selalu terkendala dalam membangun cerita yang kuat. Hal ini kurang lebih sama saya perhatikan dalam film sebelumnya, yaitu Batman V Superman (BvS). Kekecewaan seusai menonton BvS belum hilang, muncul lagi Suicide Squad dengan masalah yang kupikir sama saja. Pihak DC tidak bisa memuaskan hasrat penonton.

Kalau saya melihat film-film sebelumnya, DC agaknya piawai membuat trailer film. Di situ kita disuguhkan beberapa potongan adegan film yang memukau dan membuat kita para penonton menaruh harapan besar lalu menjadi tak sabar untuk menontonnya. Tapi...apa yang terjadi, saudara-saudara. Apa yang tersaji pada trailer ternyata tidak sesuai dengan harapan. Pihak DC...yang kamu lakukan ke penonton itu...jahat!

Tapi di sini kita bisa setidaknya belajar, untuk ke depannya...alangkah baiknya tidak terlalu menaruh harapan besar untuk film DC yang bakal tayang ke depannya. Nanti rasa kecewanya juga besar. Saya tidak menyarankan untuk tidak menonton ya, Cuma anjuran untuk tidak berharap besar. Gitu.
Salah satu karakter favorit pada Suicide Squad, Harley Quinn. (Sumber foto: /INT)
Sebagai penonton, saya rasa ada baiknya pihak DC sesekali mencontoh "strategi" Marvel dalam film Avengers-nya. Salah satu misalnya, sebelum memulai debut—atau katakanlah (kalau ada) sekuel—Suicide Squad, tiap karakter "superhero"-nya dibuatkan film solo tersendiri lebih dahulu. Mungkin ini permintaan yang kurang ajar dari seorang yang bisanya cuma nonton, tapi saya rasa dengan begitu ceritanya bisa dimainkan dengan apik.

Batman dan Joker yang muncul dalam film ini mungkin sudah tenar lebih dulu. Banyak yang sudah mengenalnya. Tapi bagaimana dengan karakter yang lain? Semisal Harley Quinn, Katana, Slipknot, Captain Boomerang, dkk. Deadshot mungkin pengecualian, dengan penampilan yang cukup mencolok (begitupun Harley Quinn sebenarnya) di film ini. Wajar...karena Deadshot adalah pemimpin Suicide Squad–di luar Rick Flag.

Sebenarnya, masih banyak yang mesti saya ungkapkan. Tapi cukup sekian dululah. Saya capek ketiknya. Di luar plot cerita yang dangkal itu, Suicide tetaplah film yang menghibur. Dialog-dialognya juga segar. Humor Harley Quinn juga menjadi ‘penyejuk’ di suasana tegang. Dan satu lagi: latar musik film Suicide Squad saya akui memang keren.

Pokoknya sukses buat DC. Semoga rencana film Justice League-nya nanti bisa lebih baik. Dan, untuk film solo Wonderwoman tahun depan, tentu saja harus keren—karena di situ ada Gal Gadot. Hahaha!
SUICIDE SQUAD (Sumber Foto: /INT)

Dilanda Kebingungan, Salah Mengira Lokasi Tujuan

No Comments »

Edisi Menelusuri Keindahan Kaki Gunung Bawakaraeng (Bagian - 3)

Perjalanan malam membuat kami bingung. Niat hati ingin tiba dan menginap di danau yang hendak dituju, malah membuat tenda terpaksa harus didirikan di lokasi yang entah dimana tepatnya.


“Mendingan kita pasang tenda di sini saja,” begitu kata Bang Jack. Lelaki yang menjadi pemimpin rombongan dalam perjalanan menuju danau di kaki Gunung Bawakaraeng. Kami yang berjumlah delapan orang memang mulai lelah. Kebingungan juga melanda kami semua.

Perjalanan malam di kaki Gunung Bawakaraeng mencari danau yang hendak kami tuju belum juga ketemu. Petunjuk jalan pun tidak begitu terlihat oleh mata kami yang mengandalkan bantuan lampu senter. “Besok pagi saja kita lanjut cari,” lanjut Bang Jack.

Tidak hanya Bang Jack, kami semua juga dilanda lapar. Sejak berangkat usai Maghrib dari Desa Lengkese, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, kami belum makan malam. Padahal, waktu saat itu sudah nyaris tengah malam.

Keputusan untuk mendirikan tenda dan akhirnya menginap di tempat yang kami sendiri belum tahu itu, memang sudah tepat. Kami tidak ingin terus-terusan menahan lapar, sementara kita semua belum jelas harus mengarah kemana untuk menuju ke lokasi yang dituju.

Memang belum ada di antara kami yang datang ke tempat wisata alam di kaki Gunung Bawakareng ini. Namanya, Danau Slank. Para pendaki menyebutnya begitu. Suatu ketika saat melakukan perjalanan ke Danau Tanralili, Bang Jack pernah menunjukkan daerah lokasi yang ingin kita tuju tersebut. Namun, lagi-lagi karena baik Bang Jack maupun kami belum mengenal medan dan jalur tidak begitu terlihat saat malam hari, rencana ke Danau Slank tertunda.

Perjalanan Malam

Awalnya, kami yang berdelapan orang memang sudah lebih dulu janjian bertemu di salah satu rumah warga di Desa Lengkese. Tempat yang juga menjadi rumah singgah para pendaki lain sebelum berangkat ke Danau Tanralili atau menuju Lembah Ramma via jalur Lengkese.

Sore hari kami semua sudah berumpul di rumah Tata Rafi. Begitu nama salah seorang warga yang rumahnya kami singgahi sebagai tempat bertemu. Kami memang sudah berencana berangkat selepas Salat Magrib. Berangkat malam menuju Danau Slank merupakan rekomendasi Kak Alam, istri  Bang Jack yang juga ikut dalam perjalanan.

Kami pikir, jalur menuju Danau Slank termasuk mudah dan jalan menuju ke sana sudah diberi tanda khusus. Tapi dalam perjalanan kami salah mengira. Jalur yang terjal kami lewati. Sungai pun diseberangi. Cukup sulit dan menguras tenaga. Penanda jalur menuju ke lokasi pun nyaris tak terlihat. Penanda jalurnya hanya berupa batu yang ditumpuk, bukan yang kami kira papan petunjuk. Itu berarti mata harus jeli melihat penanda tersebut. Apalagi memang karena malam hari dan jalan yang dilalui memang juga banyak longsoran batu.

Beberapa kali di antara kami harus benar-benar memastikan penanda jalur. Begitupun kami kadang-kadang menyebar mencari jalur yang sesuai. Jika dirasa sudah benar, barulah melanjutkan langkah kaki. Perjalanan kami memang agak lambat dikarenakan hal tersebut.

Tak terasa dalam perjalanan yang lambat tersebut, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Belum juga tiba di lokasi yang kami tuju, Danau Slank. Hingga rasa lapar tak tertahankan, kami memutuskan untuk menginap di lokasi yang kami sendiri tak tahu tepatnya dimana.

Tapi melihat ada sumber air dan kontur tanah yang datar, kami memutuskan mendirikan tenda di situ sesuai rekomendasi Bang Jack. Malam hari itu kita lewati dengan makan malam saja. Tidak lama berbincang mengenai perjalanan besok pagi, hingga kami tidur di tenda masing-masing.


Perjalanan yang kami lalui untuk menuju Danau Paranglabbua. Jalan berbatu dan tanah yang bisa saja mengundang longsor membuat para pejalan mesti hati-hati.
Salah Mengira

Esok harinya selepas sarapan, saya bersama Bang Jack mencari jalur yang sesuai sebelum teman-teman lain ikut bersama. Ternyata, tempat kami menginap sudah berada dekat dengan Danau Slank, lokasi yang hendak kami tuju.

Setelah yakin, barulah kami mengajak teman yang lain dan berangkat ke sana membawa barang seperlunya saja. Kami membiarkan tenda tetap di temapt kami menginap agar barang bawaan ke danau tersebut tidak berat.

Sesampainya di sana, kami langsung berfoto keindahan danau di sana. Belum begitu banyak orang yang mengenal tempat ini. Memang belum setenar dengan Danau Tanralili, tapi danau yang kami kunjungi ini tetap tidak bisa diabaikan keindahannya. Perjalanan lelah dan kebingungan kemarin malam, terbayarkan dengan rasa puas menikmati alam di danau tersebut.

Kami pikir danau yang kami kunjungi ini sudah benar adalah Danau Slank. Namun, sepulangnya kami dari danau tersebut dan menyebar foto-fotonya di media sosial, banyak juga yang bilang kalau danau tersebut bukanlah Danau Slank. Tapi, Danau Paranglabbua, namanya. Sepertinya memang bukan Danau Slank.

Warga Desa Lengkese yang kami tanyai juga membenarkan, kalau danau yang kami kunjungi itu bukanlah Danau Slank, tapi Danau Paranglabbua. Lagi-lagi kami salah mengira. Tapi tak mengapa, keindahannya pun tak bisa diabaikan. Mungkin Danau Slank sebenarnya akan kami kunjungi di lain kesempatan. Semoga! (*)


Selain menikmati Danau Paranglabbua, pemandangan pegunungan juga memanjakan mata.