Archive for Februari 2017

KISAH MASA BELIA (Sebuah Cerita Tak Penting)

No Comments »

Siapa yang tidak kenal Syachrul Arsyad? Tentu saja tidak ada. Wajar. Dia bukan artis. Bukan pula sejenis ‘oppa-oppa’ macam manusia Korea. Tetapi...ada sebuah cerita, yang olehnya direkomendasikan jangan dibaca, karena mengandung unsur tidak penting. Begini...

Ada foto. Itu. Penampakan Syachrul Arsyad waktu masih belia. Wajah semasa masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), yang dipotret dalam keadaan jomblo. Ketika masih kanak-kanak dulu, urusan pacaran belumlah terlintas di dalam kepalanya yang masih agak suci itu. Dipakai berpikir menjawab soal Matematika saja susah, apalagi buat memahami logika para wanita. Tetapi, itu dulu. Sekarang, masih... :v

Foto diri ini diambil dari ijazah SD. Di umur yang–kalau tidak salah ingat–sementara 12 tahun tersebut, Syachrul Arsyad belumlah akil baligh. Usia yang menurut kantor dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah kelahirannya tidak bisa dibuatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebuah tanda pengenal memajang foto diri yang menunjukkan betapa kebebasan berekspresi manusia dibelenggu di situ.

Saya tidak mengajak untuk menatap dan menilai potret lelaki kecil yang dosanya belumlah banyak-banyak seperti sekarang. Tetapi, menurut pandangan objektif bapak dan mamaknya, terpampang nyata penampilan sosok lelaki cilik berwajah lucu, polos, lugu, (insya Allah) gagah, dan kalau mau narsis disebut manis juga boleh.

Itu perkataan orang tua. Saya percaya kekuatan kata-kata orang tua. Termasuk pengakuan barusan. Ucapan yang di dalamnya mengandung kejujuran, meski ada pula yang mungkin merasa ingin muntah saking tidak percayanya. Beberapa di antara pembaca yang budiman mungkin mengalami apa yang saya katakan tadi. Tidak ada yang memaksa, toh selera orang fitrahnya memang berbeda-beda.

Semasa SD, cita-cita Syachrul Arsyad termasuk tinggi. Sebab, kata ibu gurunya kala itu, bercita-cita mesti sampai setinggi langit. Kalau hanya setinggi arena panggung dangdutan, jatuhnya jadi Cita Citata. Hahaha! Garing? Iyes!!! *krik...krik...krik*

Menjadi dokter atau tentara termasuk dua dari cukup banyak impian mulia bagi lelaki yang lahir di benua Asia ini. Mengapa dokter dan tentara? Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tetapi kedua profesi ini dipilih atas asas ke-keren-an semata; mulai dari tampilan seragam, hingga pekerjaan yang dilakukan.

Jika saja guru SD yang sama kembali mempertanyakan cita-cita tersebut kepada Syachrul Arsyad yang sekarang, tentu akan sedikit malu jadinya. Impian kerennya itu tidaklah tercapai, sebab dirinya tidak berusaha sekuat Satria Baja Hitam untuk menggapainya.

Akan tetapi, Syachrul Arsyad masih mengharapkan impian tersebut. Kalaupun tidak “menjadi”, paling tidak bisa “merasakan” hidup berdua bersama kekasih hati yang menjalani salah satu profesi tadi. Asem, eh, ehem! Namun, profesi dan dari kalangan manapun sebenarnya tidak jadi soal, asalkan ia perempuan. Dapat Raisa, Alhamdulillah, kebagian Pevita Pearce pun tidak masalah. Hahaha!

Sungguh, waktu begitu terasa sekali jalannya kalau hidup susah. Yang bahagia, pasti bilangnya hidup ini indah dilalui tanpa terasa. Apapun, Syachrul Arsyad wajib bersyukur menjalani masa keduanya. Sebab, ia sudah besar sekarang. Apanya? Itu, tinggi badannya nyaris 170 centimeter. Ia bisa begitu karena masih diberikan kesempatan bernapas oleh Yang Mahakuasa, rajin diberi makan orang tua dan tak lupa minum sehabis kenyang.

Selain tidur dan mandi sendiri, lelaki yang biasa disapa Syachrul ini juga sudah bisa bikin akun facebook dan mengingat password-nya sampai sekarang. Begitulah dia hidup di dua dunia, kini: nyata dan maya. Sebuah dunia di mana masing-masing orang boleh bersandiwara, berbahagia, atau saling menghina.

Entah dengan status tulisan ini–yang kisahnya dijalani di dunia nyata dan disebar ke dunia maya. Sebenarnya tulisan ini untuk konsumsi (arsip) pribadi semata. Tidak ada kepentingan pihak siapapun di dalamnya.

Bahkan sebenarnya saya yakin, impian jadi presiden malah bisa diraih seketika, jika ada orang tidak membuang waktunya membaca kisah seperti ini. Cerita yang tentu saja tidak penting dan jauh dari kesan menarik karena tidak membahas soal pilkada dan perselisihan agama–seperti status kebanyakan di facebook. (*)

TIMBUNAN BUKU TAHUN 2016

No Comments »


Untuk tahun 2016 kemarin, saya mendeteksi ada 49 buku yang saya koleksi. Kupikir, jumlah ini sudah sangat jauh menurun jika dibanding tahun 2015 lalu. Ini berarti, komitmen untuk "puasa" membeli buku mulai berjalan sesuai dengan amanat tabungan tentang kewenangan memiliki sesuatu.

Saya akui, ini cukup sulit. Tidak selalu mudah menghindar dari sesuatu yang disukai. Itu baru urusan buku, belum tentang kamu. Halah!

Perbuatan membeli buku ini memang menyenangkan. Kadang pula meresahkan. Lebih tepatnya, saya menikmatinya. Tiap kali membeli, ada perasaan bahagia berdesir di dalam dada. Meski Pattimura di dompet telah memperingatkan akan datangnya masa tanggal tua.

Kepada perempuan yang senang membeli pakaian ataukah lipstik, apa perasaan saya itu mirip dengan yang kalian rasakan, kah? Hahaha. 

FLAT EARTH

No Comments »


Barusan habis piknik ke Gra**dia. Sebuah toko buku yang menyamar menjadi gerai alat tulis kantor, berkedok jualan peralatan elektronik. Di sana, saya menemukan salah satu buku yang mengguncang jagat dunia maya dan nyata.

Judulnya "The Flat Earth Conspiracy". Titelnya provokatif. Tadinya, kukira buku ini ditulis oleh Princes Syahrini. Sebab, judul buku tersebut bernuansa bombastis, mencengangkan, dan cetar membahana badai. Beberapa indikator karakteristik yang juga persis dimiliki wanita pelantun "Sesuatu" itu.

Tetapi, yah, namanya juga lelaki, saya agaknya selalu salah. Buku yang (katanya) menampilkan fakta-fakta bumi datar itu hasil buah pikir---atau barangkali imajinasi---dari seseorang lelaki bernama Eric Dubay. Mau tahu siapa dia? Coba cari di google.

Buku ini stoknya banyak. Gr****a yakin betul, pembahasan bumi datar bak pengantar dongeng sebelum tidur. Banyak yang suka, namun tidak sedikit pula yang menolak bacaan fantastis itu beredar di toko buku. Alasannya, buku itu mengajak ke dalam pembodohan dan tidak ilmiah. Paling tidak, begitulah komentar-komentar orang di dunia maya.

Saya pribadi menilai 'The Flat Earth Conspiracy' tidak begitu buruk. Maksud saya, bagus untuk orang-orang yang ingin memuaskan hasrat imajinasi liar di kepalanya. Hitung-hitung hiburan. Saya tidak begitu setuju, jika buku ini dilarang beredar. Apalagi dicekal. Alangkah baiknya, ada buku perbandingan lain untuk membantah argumen (atau "fakta") yang disampaikan Eric Dubay.

Kamu boleh tidak setuju denganku. Tapi itu menurutku. Dan, daripadanya saya tidak menyediakan ruang berdebat untuk itu. Capek!

Hanya saja, jika memang ada individu/kelompok yang ingin membuat "buku tandingan", saya sekadar ingin sumbang saran, bagaimana kalau bukunya nanti berjudul: "(INSYA ALLAH) BUMI ITU BULAT". Bukankah orang seringkali tergugah dengan hal-hal yang berbau...ah, sudahlah.

EFEK HUJAN

No Comments »


Lagi. Hujan turun lumayan deras malam ini. Saya yang sedang dalam perjalanan pulang, mesti rela basah-basahan lagi. Sengaja. Saya kehujanan karena memang inginnya begitu.

Saya punya mantel (jas hujan) yang malas kupakai. Perbuatan itu tidak lantas menjadi alasan (dikiranya) saya selalu menyukai hujan. Jujur saja, saya tak punya banyak stok kalimat postif maupun argumen filosofis mengapa saya suka hujan dan rela berbasah-basahan karenanya. Saya hanya malas mengenakan jas hujan. Repot. Itu saja.

Masalahnya adalah, selama perjalanan pulang menikmati hujan, kepala saya suka kepikiran banyak hal. Bukan urusan kenegaraan, sebab itu kapasitas Presiden Jokowi. ðŸ˜… Hujan acapkali menjadi pemantik bagi saya untuk selalu masuk ke "gubuk-pikiran" di dalam kepala.

Biar kuberitahu, "gubuk-pikiran" adalah sebuah nama tempat bagi saya menyimpan cukup banyak pertanyaan aneh di kepala. Bahkan, sebenarnya cukup aneh untuk dijadikan pertanyaan. Itu hadir secara tiba-tiba.

Karena hujan, muncullah pertanyaan aneh seperti ini: apakah dengan jatuh cinta dengan diri sendiri, lantas bisa disebut sebagai golongan spesies-penyuka-sesama-jenis? Maksud saya, 'kan satu jenis Syachrul Arsyad, sesama dirinya sendiri. Termasuk kategori kelainan, kah? Kukira itu aneh bin membingungkan. Setidaknya bagi saya pribadi.

Saya belum menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pun, saya tidak memaksa orang lain untuk memberikan jawaban. Biarlah pertanyaan aneh itu menggantung sampai mak comblang memberinya jawaban yang pas untuk itu.

Apalagi saya cukup yakin, dunia ini kodratnya diciptakan berpasang-pasangan. Seperti pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Pagi dengan malam. Begitupula saya yang berpasangan dengan...woey, dengan siapa woey?! Hahaha. ðŸ˜…

Saat ini, rasa-rasanya ingin kulari ke toilet, kemudian temukan jawabanku.

MALAM MINGGU

No Comments »


Tepat hari ini, Sabtu, 4 Februari 2017, akhirnya diberi kesempatan oleh Tuhan menunaikan malam minggu yang ke-1.346 dalam hidup saya. Tidak ada acara perayaan mewah sebagaimana pasangan ABG kasmaran memperingati hari jadian mereka yang biasanya baru berjalan seminggu atau sebulan.

Entah doa-doa siapa saja yang mustajab malam ini. Maksud saya, malam minggu ini cuaca dingin dan Makassar dilanda hujan. Tidak ada hujan yang terjadi atas doa mujarab jomblo yang terzalimi; doa manusia yang lahir dari ketersiksaan diri melihat kebahagiaan orang lain, atau bisa jadi atas sakit hati karena barusan diputuskan kekasih.

Saya pribadi melalui malam minggu dalam keadaan biasa saja. Kebanyakan malam minggu saya begitu. Seringkali ditunaikan dengan menikmati secangkir kopi di kafe, berdua, bersama sepi. Saking biasanya, sialnya, jadi kebiasaan. Atau kadangkala, nongkrong bersama pacar. Maksud saya, pacar orang lain---yang tentu saja didampingi pacarnya juga. *lambaikan tangan ke kamera* ðŸ˜‚

Tidak ada yang istimewa dari malam minggu yang ke-1.346. Saya menganggap, tak perlu dihadirkan sebuah perayaan mewah untuk sebuah angka. Kecuali, mendengarkan lagu-lagu Raisa dan merawat kegalauan yang kadang saya sendiri bingung datangnya entah darimana.

Raisa dan kegalauan adalah sepaket hadiah malam minggu yang sederhana. Saya suka Raisa. Begitu juga karyanya. Saya tidak tahu pasti, apa dia juga begitu denganku. Sebenarnya saya tidak begitu peduli. Bahkan, saya sudah lebih dulu menolak Raisa sebelum ia menyatakan cinta kepada saya. Sungguh, imajinasi memang suka keterlaluan juga. ðŸ˜…

Lumayan sulit menjadi Syachrul Arsyad. Menjalani malam minggu hingga ke-1.346 tidaklah mudah. Masa-masa di antaranya tidak selalu diselingi tawa, namun ada juga duka. Kebanyakan diisi dengan galau, tetapi kemudian saya penjarakan dengan menulis catatan seperti ini. Dan itu cukup menyenangkan; semacam terapi.

Kukira, malam minggu itu serupa simbol semata. Senang dan bahagia termasuk persoalan substansial yang bisa diraih di hari-hari lain. Malam minggu itu fana, yang abadi seharusnya bahagia.

Saya suka malam minggu yang sederhana saja. Cenderung stasioner, tetapi 'manis'. Kata terakhir barusan itu...kutujukan untukmu!