Archive for 2017

Dilema Guru Terhadap Perang

No Comments »

Saya baru saja membaca "Dua Belas Pasang Mata". Judul aslinya, Nijushi No Hitomi. Karya Sakae Tsuboi, sudah difilmkan, dan saya punya rencana untuk menontonnya (kalau file-nya ketemu). Novel ini menghadirkan cerita yang luar biasa, bikin gelisah, sedikit-banyak menyisakan luka.

Novel ini menceritakan tentang Miss Oishi, seorang guru yang bertugas di daerah terpencil bernama ... (*sinopsis lengkapnya cari di google. Saya capek ketiknya di sini*) ðŸ˜…


Sebagai sebuah karya imajiner, 'Dua Belas Pasang Mata' menawarkan berbagai permasalahan kemanusiaan dan kehidupan. Pada dasarnya, ini adalah novel anti-perang. Konfliknya cukup kompleks, sebagaimana kisah-kisah guru sejak dulu sampai sekarang.

Miss Oishi dilema. Sekian lama mengajar, ia memutuskan ingin berhenti menjalani profesinya. Sebagai sosok penyayang, Miss Oishi merasa gagal dan tak tega melihat sebagian besar muridnya ingin menjadi tentara. Menjadi tentara tentu tak masuk ke dalam hitungan Miss Oishi. Ia tak pernah mau murid-muridnya kelak mati muda, karena begitu naif memperjuangkan konsep menyelamatkan negara lewat perang.

Suasana perang pada masa itu memang membuat Miss Oishi gelisah. Meski tak mampu menghalangi niat muridnya berperang, tiada lain yang bisa ia berikan selain menitipkan pesan (kurang lebih begini): "Jangan mati cepat, pulanglah dengan selamat."

Bagi Miss Oishi, seharusnya tak perlu ada yang mati di medan perang. Orang-orang harus perjuangkan hidup dan segera pulang.

EFEK PIKNIK

No Comments »

Air Terjun Barassang agaknya punya efek terapi. Lokasi wisata yang berada di desa Bissoloro, kecamatan Bungaya, kabupaten Gowa ini menjadi ruang relaksasi. Semacam tempat yang menstimulus seseorang untuk melupakan utang.

Cobalah tengok sekumpulan pria ketjeh ini, sodara-sodara. Para bidadara yang turun ke bumi entah dari kayangan mana. Dengan percaya diri, masing-masing dari mereka menunjukkan sebagian lekuk tubuh yang nyaris tak pernah terlatih dan dibentuk di tempat fitness. Hahaha!

Mereka mandi di air terjun dengan suasana hati riang gembira. Padahal, perjalanan untuk menggapai lokasi ini, lumayan jauh dengan medan yang cukup berat. Perjalanan yang rawan mengundang lelah di tubuh.

Saya tidak tahu, apakah mereka punya tunggakan kredit di bank atau ada utang sama teman. Tetapi, jelas sekali raut mereka tidak setegang saat seseorang didatangi rentenir di rumahnya yang menagih pinjaman yang lewat dari jatuh tempo.

Hanya saja, saya selalu khawatir. Tiap kali sebuah perjalanan wisata berakhir, efek piknik itu hanya berlaku sebentar saja. Seharian ceria, dan besok tensi harus naik kembali. Tapi biarlah ya. Hidup memang begitu; kadang bahagia, asal jangan keseringan susah. ðŸ˜‚

PEMBERONTAKAN VEGETARIAN

No Comments »

VEGETARIAN adalah pengalaman pertama saya membaca buku dari Korea Selatan. Setelah sempat beberapa kali "tersihir" akan 'produk budayanya' yang lain lewat lagu atau film dramanya yang lumayan bikin termehek-mehek.

Membaca Vegetarian berangkat dari rasa penasaran. Saya sering mengira, Korea Selatan hanya mampu memproduksi film drama, dan menciptakan spesies "oppa-oppa" yang berhasil bikin histeris wanita Indonesia. Ternyata saya salah sangka. Sastra Korsel juga berkembang. Penulis novel ini bahkan menjadi pemenang Man Booker International Prize 2016.

Buku ini berpusat pada karakter Kim Yeong Hye, seorang perempuan yang mendadak jadi vegetarian karena mimpi buruk. Kepribadiannya itu justru tidak hanya merusak dirinya sendiri, namun juga kehidupan keluarganya.

Novel yang ditulis Han Kang ini sebenarnya agak memusingkan saya. Ceritanya ganjil, dan bernuansa gelap. Kisahnya sangat jauh berbeda dengan skenario yang biasa saya temukan dalam bentuk film drama Korea yang romantis dan penuh cinta. Tokoh dan sifat dalam buku ini pun digambarkan tidak seideal macam artis Lee Min Ho dan atau Song Hye-Kyo.

Meski begitu, saya cukup menikmatinya. Tokoh utamanya mungkin terkesan menakutkan dengan tingkahnya yang aneh. Hanya saja di satu sisi saya merasa iba dengan konsep "kebebasan" yang ia terapkan. Memberontak hanya karena ingin berubah: keluar dari kebiasaan dirinya yang lain, walau dengan cara yang ekstrim.

I S R A

No Comments »

Lelaki dalam potret ini bernama Isra. Salah satu dari sekian banyak anak yang rindu bersekolah. April lalu, saat berkunjung ke daerah tempat tinggalnya bersama para sukarelawan di komunitas sedekah buku, Isra dan teman-temannya sudah sekitar sebulan tidak mengenyam bangku pendidikan.

Dusun Cindakko, desa Bontoramba, kecamatan Tompobulu, kabupaten Maros, hanyalah salah satu daerah yang terkena imbas dari tidak meratanya akses pendidikan. Sekitar setahun lalu, daerah ini memang sudah punya sekolah darurat--walaupun jauh dari bentuk sekolah kebanyakan di perkotaan.

Saya belum begitu mengenal Isra. Tapi saya tahu, remaja yang bermimpi menjadi seorang guru ini, tentu tak mahir membolos. Sekolahnya hanya 'libur' secara terpaksa. Untuk banyak perkara yang begitu pelik, anak-anak pasrah menerima keadaan.

Agenda pada roster mata pelajaran nyaris tak ditepati. Kurikulum yang sering diganti kementerian pendidikan itu, agaknya tak berlaku di sini. Nyaris tidak ada jadwal yang pasti kapan materi pembelajaran itu diberi.

Dua guru bantu di sekolah itu, kata anak dusun Cindakko, jarang betul masuk mengajar. Ada cukup banyak masalah yang membuat saya menerka-nerka sebab-musababnya; bisa jadi akses jalan yang rusak lagi jauh, dan atau persoalan gaji guru. Itu baru dugaan. Masalahnya terlalu kompleks hingga tak etis bila menyalahkan seseorang secara sepihak.

Padahal, gairah bersekolah Isra begitu tinggi. Anak-anak dusun Cindakko punya impian yang ingin digapai. Menuju ke sekolah menempuh perjalanan kaki 3-7 km sepertinya sudah biasa. Semua demi menggapai cita-cita yang mulia.

Sekarang...Isra tak perlu menunggu waktu libur untuk tak masuk sekolah. Kabar yang datang dari seorang teman beberapa hari yang lalu mengatakan, gangguan kesehatan yang lambat ditangani, mengharuskan Isra berhenti menggapai cita-cita. Ia telah tiada; kembali ke sisi Yang Mahakuasa.

KEKECEWAAN PRIA ATAS RAISA (SEBUAH CURHAT)

No Comments »

Pertama-tama, selamat atas pernikahan Raisa dengan lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya. Peresmian jalinan asmara yang membuat suasana perayaan Iduladha semakin bermakna. Pada akhirnya, saya harus bersedia mengorbankan perasaan demi Raisa, untuk kemudian digantikan dengan lelaki yang tentu saja jauh lebih tampan dari saya.

Ketika saya sedang dalam puncak mengidolakan Raisa, lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya itu tiba-tiba datang menikahinya. Dulu, saat Presiden Jokowi menghadiahkan Raisa sebuah sepeda, saya masih bisa memakluminya. Namun ketika lelaki itu datang mengucapkan ijab kabul di hadapan orang tuanya, saya dibikin gelisah jadinya.

Lalu, yang kedua...kebetulan belum ada. Capek mikirnya. Maka dari itu, langsung saja pada poin ketiga: ungkapan perasaan betapa saya ikut bahagia melihatnya menikah. Sebagai lelaki yang senantiasa dibikin terluka, saya hanya bisa pasrah. Dan tak lupa berkaca sambil bertanya-tanya, "siapa saya?!" ðŸ˜‚

Pernikahan Raisa mungkin akan sedikit mengurangi kadar kecintaan saya kepadanya. Tapi tak lantas menjadikan saya membenci dirinya.

Raisa akan tetap jadi idola. Sosok perempuan paripurna. Publik figur yang perangai buruknya tak sekali pun kulihat terekspos di media massa. Pemilik wajah rupawan dengan pesona yang bikin minder Cleopatra. Berbakat di bidang tarik suara--yang entah kenapa--membuat saya terkenang Nike Ardilla.

Saya cuma bisa berdoa, semoga mereka berdua diberkahi keturunan yang cantik jelita seperti ibunya. Saya tidak ingin mendahului kehendak Yang Mahakuasa. Namun, barangkali saja, anaknya kelak adalah jodohku yang sebenarnya.

Sembari menunggu keajaiban itu tiba, dunia alternatif di dalam kepala saya saat ini sudah membayangkan Raline Shah, Isyana, sekalian Pevita. Hanya saja, untuk sebuah perjuangan menggaet ketiga wanita ini, saya harus siap menanggung sakit hati. Sekali lagi. ðŸ˜‚

Sodara-sodara...hari ini, momen pernikahan Raisa dianggap sebagai #HariPatahNasional (Edisi Kedua). Saya tidak tahu, apakah oleh pemerintah momen ini nanti bakal dimasukkan dalam kurikulum ilmu sejarah di sekolah. Tetapi kukira, tak ada salahnya dijadikan pelajaran. Karena di balik hati yang patah, (katanya) ada perasaan yang jauh lebih sempurna. *Alhamdulillah...akhirnya catatan ini ada pesan moralnya juga.* 


BUKAN KISAH KASIH DI SEKOLAH

No Comments »

Foto ini diambil ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Menampilkan kondisi wajah saya dan tujuh teman lain saat masih remaja. Masa muda--yang menurut Rhoma Irama--masa yang berapi-api. Pemotretan menggunakan kamera beresolusi VGA, namun hasilnya tetap membuat kami terlihat gagah.

Kalian boleh protes. Saya tak mempermasalahkannya. Namanya juga darah muda. Yang maunya menang sendiri. Walau salah tak peduli. Darah muda. *jreeenggg!* Demikian menurut Rhoma Irama kembali menegaskan lewat lagunya.

Ketika SMA, jumlah lelaki di kelas hanya delapan orang. Dengan total siswa keseluruhan--kalau tidak salah ingat--sekitar 25-30 murid. Dominasi wanita di kelas tak membuat kita risih, malah bikin senang dan menentramkan hati. Sebab atas kondisi demikian, para pria punya peluang yang terbuka lebar untuk memilih dan tidak saling berebut wanita yang disukai. Hahaha!

Begitulah salah satu ciri lingkungan kelas eksakta yang terbangun sejak dulu; sedikit pria, banyak wanitanya. Tidak hanya itu. Siswa di kelas IPA mesti menanggung beban moral yang luar biasa kurang ajarnya. Siswa di kelas IPA dipandang "kaum terpelajar"; cerdas, berwibawa, berbudi pekerti (dan juga lebih gagah ðŸ˜…). Pokoknya, setingkat di atas dengan mereka yang di IPS.

Entah mulai dari mana hadirnya pemahaman cilaka ini. Ada upaya stigmatisasi yang dibangun di sana. Syukurlah, saat SMA dulu belum pernah sekali pun saya dengar ada pria yang ditolak wanita IPA karena ia IPS. "Maaf, kamu terlalu ke-IPS-an buat aku." Sungguh jawaban ngeri, mengundang rasa ingin bunuh diri. ðŸ˜·

Namun, berbeda dengan teman yang lain. Di kelas jurusan IPA, saya bukanlah jenis siswa yang menonjol. Tidak begitu pandai tapi juga tak banyak-banyak bodohnya. Saya tidak memiliki bakat terpendam, kecuali kemampuan menyimpan perasaan; lama dan dalam-dalam. Woey!

Setidaknya dengan begitu, saya bisa menjadi salah satu orang yang berusaha mematahkan stigma orang-cerdas-selalu-lahir-dari-jurusan-eksakta. Kukira, ini bentuk lain dari 'prestasi' yang tak pantas dipamer dan tidak patut untuk dibanggakan. Dipilih menjadi ketua kelas juga tak perlu diumbar. Sebab dulu kukira jabatan ini bisa dimanfaatkan menggaet wanita idaman. Ternyata, tidak! ðŸ˜‚

Kini...dari delapan orang di foto tersebut, Alhamdulillah...sudah dua orang yang menikah. Bahkan punya anak yang lucu lagi menggemaskan. Lima kawan yang lain masih sibuk kerja, sambil menghitung jumlah tabungan dalam rangka membeli mahar buat bakal calon istrinya.

Satu orang lainnya lagi sebenarnya tidak begitu penting, tapi ia sungguh berharap bantuan doa; semoga diberi kekuatan untuk segera 'move on' dari Raisa. Duh!

BEBERAPA CATATAN TENTANG SEPTEMBER (YANG TIDAK) CERIA

No Comments »

#1
Beberapa hari belakangan ini, di bulan September, kronologi facebook saya dipenuhi pembahasan yang cukup berat untuk diserap kepala saya. Kata kunci, seperti: “komunis”, “PKI”, dan istilah “[–isme]-[–isme]” lainnya itu ... sungguh mengganggu sensitivitas humor saya dalam ber-media sosial (medsos) yang notabene sekadar mau mencari hiburan. Sok! Hahaha ðŸ˜‚

#2
Dalam rangka pencitraan, biar kesannya berintelektual–meski tanggung–dalam bermedsos, saya mencatat (merangkum?) beberapa hal dari banyak status dan bacaan yang berseliweran di internet. Beberapa pendapat orang lain, yang saya jadikan referensi untuk diri sendiri---yang kalau mau dibaca orang lain juga tidak masalah. Rasa bingung ditanggung masing-masing! 

#3
Sejarawan Perancis, Pierre Norran dalam karyanya, “Between Memory and History” menyebut, ingatan tidak pernah dikenali melebihi dua bentuk legitimasinya; ingatan sebagai sejarah (history), dan ingatan sebagai cerita/kisah (story).

#4
Untuk mengerti sebuah bangsa, ada dua medium “ingatan” yang bisa digunakan, yakni melek “sejarah” dan juga membaca “kisah”. Apa yang hilang dari ‘sejarah’, bisa ditemukan dalam ‘cerita’ yang kadang berwujud sastra/literasi, seperti esai, atau bahkan dalam bentuk puisi.

#5
Sejarah selalu ditulis untuk kepentingan kekuasaan. Selalu ada muatan politis tertentu yang direncanakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Target awal, membentuk kesamaan-ingatan di masyarakat. Tujuannya bisa beragam, tetapi biasanya selalu berkaitan dengan kekuasaan yang lebih besar. *au ah gelap!*

#6
Ingatan bersifat absolut, sejarah bersifat relatif.

#7.
Masyarakat saat ini dijejali “fakta” sejarah dari satu sudut pandang saja. Ingatan kita ingin diseragamkan. Sialnya, kita cukup menikmatinya dan jadi malas mencari sumber lain. Cara ini cukup ampuh dengan diproduksinya film “Pengkhianatan G30S-PKI” yang hampir tiap tahun selalu ditayangkan. Padahal, sumber sejarah yang seragam sering kali menjadi “senjata” bagi reproduksi kebencian masyarakat Indonesia.

#8
Tidak ada yang penting di bagian ini. Tetapi sengaja saya tulis biar status catatannya menjadi lebih panjang dan orang-orang jadi malas membacanya. Hahaha!

#9
Semoga saya terhindar dari segala debat kusir yang terkutuk!

KISAH CINTA PEMUJA RAHASIA

No Comments »

Saya tidak sedang terjebak dalam lingkaran "spesies oppa-oppa". Saya hanyalah seseorang yang merasa harus mendedikasikan diri agar menyelingi waktu menikmati drama Korea (drakor). Kini mulai lebih teragenda; dalam kurun waktu minimal dua kali sebulan, saya harus "belajar" menuntaskan satu film atau serial drama Korea.

Bagi kebanyakan orang, drama Korea punya konten yang "berbahaya". Dampaknya lebih ke perasaan, cenderung dialami perempuan. Efeknya menimbulkan tangisan. Minimal teringat mantan yang gagal diajak ke pernikahan pas lagi sayang-sayangnya. Bahkan, pada tingkatan yang paling lebay, tiba-tiba berhasrat ingin memiliki pacar berwajah tampan.

Saya sendiri, menonton drama Korea sebagai medium untuk menemukenali perasaan sendiri. Kupikir, drakor bisa menjadi alternatif meningkatkan kepekaan manusia. Bukan karena ingin terjerumus pada standar: kecantikan wajah berkiblat pada diri perempuan Korea.

Saya kira alasan tersebut sudah cukup keren untuk meminimalisir pertanyaan bernada ejekan, "laki-laki kok nonton drama Korea?!" Hahaha ðŸ˜‚

Saya habis menonton 'Daisy'. Sebagaimana pendapat umum terhadap drakor, film ini pun menawarkan romantisisme yang jarang sekali ditemukan pada sinetron Indonesia. Plot film ini dibangun dari tiga sudut pandang para tokoh utama yang menjadi awal bermulanya kisah cinta yang salah sasaran.

Singkat cerita, Hye Young (Jeon Ji-Hyeon) adalah seorang pelukis yang tiap pagi mulai menerima kiriman bunga Daisy. Tanda cinta dari seorang pemuja rahasia. Ia tak tahu, Park Yi (Jung Woo Sung), seorang pembunuh pembayaran itulah yang mengirimkan sekuntum bunga sebagai ungkapan rasa cinta terhadap wanita yang diidamkannya.

Sungguh tidak enak menjadi pemuja rahasia. Kebanyakan menjadi korban perasaan dan keadaan. Karena suatu skenario yang tidak diharapkan, datanglah Jeong Woo (Lee Seong Jae), seorang petugas interpol yang membuat Hye Young salah mengira bahwa lelaki itulah pemuja rahasianya. Dan begitulah kemudian, cinta segitiga antara pembunuh bayaran dan petugas interpol yang 'memperebutkan' seniman jalanan.

Menonton film ini, saya jadi teringat penuturan filsuf, Friedrich W. Nietsche. Salah satu kutipan favorit saya setiap menemukan film roman menggelisahkan seperti 'Daisy'. Dikatakan Nietsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

MENGADU DOMBA SETAN

No Comments »

Baru kali ini saya menonton film horor yang efeknya bukan memunculkan efek ketakutan, namun lebih kepada rasa kasihan. Saya sedih, melihat ada hantu diadu-domba. Arwah yang seharusnya tenang di akhirat sana, malah diajak berkompetisi dalam rangka menyelesaikan masalah manusia di dunia.

Dasar ... manusia memang makhluk paling bajingan. Gemar bikin ulah, banyak khilafnya. Bukan cuma perkara di dunia nyata, sampai pada urusan gaib sekali pun, tingkahnya tak ketulungan. Kekejamannya tak terkira dan sulit diterka.

Tidak seperti film horor kebanyakan, saya melihat (secara tersirat) Sadako dan Kayako di sini ditampilkan sebagai "korban". Siapa sangka, kelihaian dan kelicikan dalam ukuran yang pas, manusia mampu memutar-balikkan realita yang telah ada. Di mana, manusia membuat dua demit ikon Jepang ini berselisih satu sama lain. Manusia yang punya masalah, malah setannya yang diajak bersengketa. Hahaha!

Sebagai bentuk provokasi yang terbilang sukses, tindakan ini sulit dimengerti, sodara-sodara! Entah, saya tak tahu ini termasuk tindak kejahatan atau bukan. Namun, saya merasa kelakuan manusia dalam film tersebut adalah sebuah penistaan; merendahkan eksistensi setan sebagai makhluk astral.

Kondisi tersebut membuat saya iba. Semacam muncul rasa empati-lintas-dimensi. Untuk sebuah produk sinema anti-mainstream yang mengeskploitasi ikon legenda horornya, film produksi Jepang ini keterlaluan kurang ajarnya. ðŸ˜‚

Intinya, "Sadako VS Kayako" nyaris menjadi film komedi. Terserahlah!

Lompobattang dalam Pusaran Badai

No Comments »

Berfoto dalam badai di puncak Gunung Lompobattang.
Dulu...saat pendakian pertama ke Gunung Lompobattang. Berkesan dan bikin tak enak perasaan.

Saya tidak selalu yakin dengan apa yang dinyanyikan Chrisye. Berharap pada tembang populernya "Badai Pasti Berlalu", nyatanya tidak selalu sesuai ekspektasi di gunung. Saat pergi mau pun pulang, pendakian ke Gunung Lompobattang, terus diterjang hujan dan badai.

Selama tiga hari dua malam, piknik ceria ke Gunung Lompobattang lebih banyak dihabiskan di dalam tenda. Hujan dan badai seakan tak ada jeda. Membuat jadwal pendakian, tak sesuai rencana. Niat menghasilkan foto-foto ketjeh yang instragamable...pupus sudah. Kecewa? Ya, tentu. Tetapi kecewa secukupnya saja.

Hingga perjalanan pulang, hujan badai masih mengiringi langkah yang bikin lelah. Turun gunung dengan medan yang terjal dari ketinggian 2.874 mdpl disertai hujan dan angin kencang, tidaklah mudah. Dada berdegup kencang yang daripadanya, kuyakin itu bukan cinta. Tetapi, perjalanan seolah ingin mengantar nyawa kepada Yang Mahakuasa.

Untunglah, masih bisa selamat sampai turun gunung. Dingin badan menggigil, tak berubah menjadi hiportemia. Syukur Alhamdulillah...karena masih ada kesempatan untuk nikah, meski pernah khawatir mati muda. ðŸ˜‚

Sekian lama setelah itu, pada rencana selanjutnya, masih di Gunung Lompobattang pada edisi perjalanan yang kedua...kebahagiaan itu mampir juga. Cuaca cerah dan sangat mendukung untuk bikin foto-foto saya tampak gagah. Hahaha!

Berdoa sebelum turun puncak. Pulang!

Pengabdi Setan, Penantian Panjang Film Horor Indonesia

No Comments »

Poster Film Pengabdi Setan
Ada kecenderungan, film bergenre horor agak susah "move on" dari beberapa hal: rumah kayu di tengah hutan, pohon besar di depan rumah, lalu bunyi engsel pintu yang jarang diminyaki. Bukan cuma Hollywood, sedikit banyak, karakteristik yang juga saya temukan di film Indonesia, seperti film "Pengabdi Setan" ini.

Abaikan sajalah 'tanda-tanda' tersebut. Saya mau mengaku, film yang disutradarai Joko Anwar ini semacam oase di tengah gurun. Akhirnya bisa memuaskan "rasa haus" saya akan sinema bergenre horor Indonesia. Serasa penantian yang cukup lama.

Beberapa tahun belakangan ini, banyak film horor Indonesia yang mengecewakan. Hanya sedikit sekali yang membekas di kepala. Sampai 'Pengabdi Setan' hadir, rasa ketakutan itu muncul juga. Memicu efek ketegangan yang hampir sama saya rasakan sejak terakhir kali menonton 'Tusuk Jelangkung' yang diproduksi tahun 2003 silam.

Saya hanya punya sedikit pengalaman dalam menonton film horor. Tetapi saya cukup yakin, 'Pengabdi Setan' ini salah satu film horor terbaik Indonesia. Film yang menarik untuk ukuran film "remake" (diproduksi ulang).

Sekilas, film ini sepertinya "terpengaruh" dari tiga film horor luar negeri: Insidious, Conjuring, dan Annabelle. Bahkan, setan yang ditampilkan nyaris menyerupai Valak. Tetapi karena ini film Indonesia, maka boleh dibilang versi 'Pengabdi Setan' menampilkan Valak dengan kearifan lokal. Hahaha! 

salah satu adegan film Pengabdi Setan.

Menjelajahi Cartensz

No Comments »

Saya menamatkan buku ini kemarin malam. Tuntas dalam sehari. Novel tentang rencana pendakian ke Puncak Cartensz di Papua. Namun, dalam perjalanan berubah menjadi...(*lihat selengkapnya di google*).

Saya kira, tidak banyak novel perjalanan yang saya baca dengan latar gunung dan skenario pendakian yang menarik seperti dikisahkan dalam buku setebal 324 halaman ini. Cerita yang disuguhkan keren, isinya informatif, dan mungkin tak berlebihan kalau saya sebut sebagai novel yang cerdas meski bergenre fiksi.

Konflik yang ditawarkan pun tak biasa. Tentang persahabatan, namun semakin kompleks dengan adanya persekongkolan terselebung yang menyeret-nyeret pemerintah dan pabrik tambang sekelas Freeport. Tema percintaan yang ditawarkan pun bukan sesederhana perasaan hubungan sentimentil antara pria dan wanita, tapi lebih jauh lagi melibatkan urusan kecintaan kepada negara.

Membaca The Secret of Cartensz membuat saya ingin mengenal Papua lebih jauh lagi secara langsung. Impian terbang ke wilayah paling Timur Indonesia dan mendaki ke salah satu puncak tertinggi di dunia, Cartensz...semakin "unchunchunch"!

[KOLEKSI] IL PRINCIPE - Niccolo Machiavelli

No Comments »

Kalau sudah terlanjur jatuh cinta dengan isi sebuah buku, rasanya saya tak puas jika hanya membacanya dua atau tiga kali. Entah "kelainan" macam apa ini, tetapi saya senang betul dan seringkali terpanggil mengoleksi buku yang saya senangi dalam bentuk maupun versi yang berbeda.

Seperti halnya buku yang ditulis Niccolo Machiavelli ini. Untuk buku dengan judul serupa, saya sudah punya tiga versi dari penerbit yang berbeda. Selain tampilan sampul yang tidak sama, salah satu dari tiga buku yang saya punya ini ada pula yang dikemas dalam bentuk manga (komik).

Sudah. Itu saja dulu. ðŸ˜„

MAJALAH NATGEO EDISI JUNI 2017

1 Comment »

Dunia ini sepertinya dibangun dari sekumpulan kebohongan. Dipenuhi orang-orang yang sejak lahir berbakat berpura-pura. Berdusta adalah bagian dari sifat dan perilaku yang mendarah daging dalam diri manusia. Demikian kesimpulan yang saya peroleh dari Majalah Natgeo Indonesia seharga Rp60.000/eksamplar ini. *Eh, endorse ya, Sist?!* ðŸ˜‚

Dijelaskan, berdusta agaknya sudah menjadi kebutuhan. Kita melakukannya sebab itu mudah. Manusia senang "mengeksploitasi" kebohongan demi keuntungan pribadi; menyembunyikan kekurangan, menjaga perasaan, dan untuk urusan pencitraan. Intinya, berbohong itu candu!

Ada cukup banyak kajian dan hasil penelitian ilmiah yang membeberkan betapa kebohongan itu begitu sulit dihindari. Sebab, seperti belajar berjalan atau berbicara, berbohong merupakan tonggak perkembangan manusia yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Setidaknya, begitu menurut Kang Lee, psikolog University of Toronto.

Jadi, apa cara terbaik untuk menghambat gerak lincah kebohongan? Sayang sekali, jawabannya: tidak jelas. Layaknya cinta, dusta pun terlalu kompleks untuk masuk di ranah pembahasan ilmiah. Hahaha!

MERDEKA(?)

No Comments »

[POS 12] Gunung Lompobattang, Sulawesi Selatan

Hari ini, sosial media sedang meriah. Semua status nyaris sama; satu tema tentang hari merdeka.

Berbagai macam harapan dibagi di dunia maya. Pasang status betapa cantik dan gagahnya mereka yang ikut upacara. Ada pula yang menyebar foto memegang bendera. Hormat merasa bangga menjadi Indonesia.

Maklum, Indonesia tengah bergembira. Tahun ini merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72. Peringatan sakral yang menurut Soekarno dan Hatta pada tahun 1945, telah diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Semua orang tentu ingin merdeka. Dari hal apa saja yang menyiksa dirinya. Termasuk lepas dari tuntutan tanya, "kapan kamu menikah?"

Kalau pun ada yang tanya, apa yang sudah saya berikan kepada negara(?), setidaknya...tadi pagi, saya sudah ikut upacara. ðŸ˜‚ Sebenarnya masih ada, tapi itu saja dulu. Hahaha!

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya ucapkan: Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga wajahnya senantiasa ceria. Walau masih ada rakyatnya yang pura-pura bahagia. (*)

Semalam Bersama Gaspar

No Comments »


Tidurku semalam nyenyak betul. Menyenangkan sekali membaca novel ini sebagai pengantar tidur. "24 JAM BERSAMA GASPAR" adalah anti-tesa dari sebuah cerita detektif kebanyakan.

Alih-alih menampilkan kesan mengerikan bagi pembaca, bagi saya, ceritanya malah jadi menggemaskan. Ditambah lagi diisi berbagai tokoh yang penamaannya cukup aneh dengan karakter yang ganjil.

Namun, baik tokoh dan peristiwa,dikemas dengan rapi sehingga saya tak perlu membolak-balikkan halaman untuk kembali mengingat-ingat alur kejadian.

Siapapun yang berniat menjadi salah satu tokoh dalam cerita ini, kayaknya hanya menunggu waktu sebelum dirinya menjadi gila.


Dan salah satu kutipan favorit dalam buku: "Semua orang terlahir untuk menjadi keparat, dan siapa pun yang berkata sebaliknya pastilah delusional--atau kalau tidak, ya pendusta kelas berat." (Hlmn. 170)

RAISA (MANTAN TERINDAH)

No Comments »

sumber foto: instagram

Tulisan ini bukan dalam rangka ikut-ikutan menanggapi tulisan adek Afi maupun kakak Gilang yang--katanya--lagi numpang tenar dengan mengkritik tulisan perempuan muda yang tengah duduk di bangku SMA itu.

Ada perihal yang lebih kompleks dari bahasan itu saya kira. Bukan urusan yang jauh dari singgungan soal agama yang memantik sumbu di kepala. Tetapi, murni perkara cinta yang gaungnya bikin sesak dada. Ini soal kabar pertunangan Raisa!

Tanpa mengurangi kegalauan saya, izinkan saya mengucapkan selamat berbahagia atas pertunangan Raisa dengan lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya. Ucapan yang ingin kuutarakan langsung lewat video call, tapi sayang nomor HP-nya pun saya tak punya. Ungkapan tak ikhlas yang sebenarnya ingin saya sampaikan melalui DM (direct message) via instagram atau twitter milik Raisa, namun khawatir tak dijawabnya.

Jadi, demi meminimalisir rasa sakit hati berkelanjutan, saya tuliskan saja di sini. Raisa sepertinya tak punya waktu untuk sekadar membaca pesan personal dari salah satu dari sekian ratus juta penggemarnya di seluruh tanah air Indonesia.

Sebagai salah satu fans-garis-lembut Raisa, saat ini saya berada dalam keadaan yang ambigu. Perasaan jadi cenat-cenut rasanya. Sejak menerima kabar pertunangan ini semalam, makan serasa tak enak, tapi Alhamdulillah tidur tetap nyenyak. Saya bahagia melihat Raisa, lalu menjadi marah tiap kali membaca berita tentang lelaki yang kini bersamanya.

Saya tak ada niat mencaci-maki lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya itu. Tunangan Raisa ini kayaknya hanyalah lelaki kemarin sore. Baru muncul dan mendekati Raisa ketika putus dengan Keenan, saudara Pevita Pearce.

Saya bahkan sudah mengikuti Raisa sejak follower IG-nya masih berkisar di angka 150K. Saya mengaguminya jauh sebelum lagu "Jatuh Hati" diciptakan dan dinyanyikan di banyak televisi swasta. Entahlah, apakah ini sebuah bentuk kesombongan yang pantas dipamer atau tidak, tetapi saya sedang kesal, galau, dan butuh bahu untuk bersandar.

Rasa-rasanya, saya tak sanggup lagi mau bilang apa. Kalau mau lebay, kata-kata, kini...nyaris menjadi air mata. Cinta seakan kehilangan defenisi. Kehilangan ruang untuk sekadar singgah di hati. *omong kosong apa ini?!*

Raisa...adalah kamu yang bikin saya belajar. Seperti bahagia, galau juga sepertinya sederhana; cukup dengan melihat kabar pertunanganmu dengannya.

Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu. Engkau di sana, aku di sini, meski hatiku memilihmu. Yang telah kau buat sungguhlah indah, buat diriku susah lupa.

Lagu "Mantan Terindah" tidak seperti biasanya. Malam ini, syair dan iramanya serasa bikin pedas telinga, menyayat sanubari di dalam dada, kemudian ingin menangis dari balik jendela. (*)



#HariPatahHatiNasional

*p.s.: tulisan ini tidak untuk ditanggapi atau dikritik. Buang-buang waktu!

JOMBLO, NASIBMU KINI...

No Comments »

Jomblo itu tercipta sebagai pengamat. Ya, pengamat hubungan orang lain. Tak heran, jomblo itu kadang-kadang lebih tahu (atau lebih tepatnya getol berkomentar) persoalan pelik dunia per-pacaran yang adil dan beradab.

Mengapa demikian? Sebab, jomblo tidak berada dan menjadi laiknya katak dalam tempurung. Posisi "bebas" membuat jomblo bisa melihat banyak masalah dari berbagai sudut pandang. Tanpa harus terganggu atau diintervensi pacar ataupun selingkuhan orang lain.

Jomblo itu independen. Berdiri sendiri. Bukan keputusan yang keliru, jika ada lelaki atau wanita kasmaran yang sedang bermasalah dalam soal asmara, meminta saran dan kalimat-kalimat super dari kaum jomblo. Sebagai pengamat yang dituntut berpandangan obyektif, jomblo selayaknya adil sejak dalam pikiran dan perbuatan.

Soal memberi solusi hubungan percintaan orang lain, jangan ditanya lagi. Jomblo bisa menjelma bak Pegadaian; mengatasi masalah tanpa masalah. Berbagai pengalaman "mengamati" etika dan tata cara pacaran orang lain, akan diakumulasikan menjadi sebuah saran yang konstruktif bagi pasangan Anda. Mau pisah atau menikah, insya Allah, jomblo siap diajak bekerjasama.

Jomblo itu kuat, tetapi juga sosok yang mudah lelah. Ya iyalah, karena banyak hal yang mesti diurusi dan diteliti. Mulai dari agenda kerja menguntit (stalking) di sosmed ataukah mencuri-dengar sebab-musabab pertengkaran pasangan orang lain. Sungguh, program kerja yang menghabiskan kuota (internet) dan tenaga.

Saking banyaknya energi yang meluap-luap, jomblo sengaja menjadi pengamat. Sebuah "pekerjaan" yang menjadi medium pengalihan energi melimpah yang seharusnya digunakan untuk pacaran, lalu sibuk mengantar pasangan ke sana-ke mari mencari alamat dan tempat makan.

Menjadi pengamat bukan pilihan mudah bagi jomblo. Jalan kehidupannya rumit. Hinaan dan cacian bagai makanan sehari-hari yang senantiasa berpaket dengan kesabaran. Tetapi, tidak banyak yang tahu, beberapa orang memutuskan sendiri sebab inginnya begitu. Jomblo adalah jalan hidup. Bukan makhluk jalang, lagi hidup. Hahaha.

Alih-alih memutuskan pacaran, spesies jomblo punya alasan atas konsistennya dalam kesendirian. Kau tahu kenapa? Karena jomblo adalah makhluk berbudi luhur. Merebut pacar orang lain atau mengganggu seseorang yang ingin membangun sebuah mahligai pacaran, hanya akan mencoreng status dan nama baik jomblo.

Kau boleh tidak percaya, tapi mari saya beritahu, cukup banyak jamaah jomblo yang sudah tercerahkan hidupnya. Kaum jomblo jenis ini boleh dikata telah mencapai taraf makrifat kehidupan. Mementingkan kebahagiaan seseorang dengan membukakannya jalan menuju hati orang lain--walaupun sebenarnya dia pun punya kesempatan besar untuk itu. Sungguh sebuah tujuan mulia dengan dalih yang cukup sialan rasanya. Boleh muntah? Ya. Hahaha.

Jadi, wahai...kalian-kalian makhluk-berpasangan...berhentilah kiranya menghina jomblo. Sekali kau caci, jomblo punya 1.001 macam cara untuk membuatmu putus dengan kekasih hati. Ancaman yang cukup menyeramkan, memang. Tetapi, itu pun akan dilakukan kalau insan jomblo yang semoga dirahmati Tuhan, merasa terdesak.

Kau tahu?! Ibarat sabar, jomblo (sendiri) juga ada batasnya.

---ALHAMDULILLAH TAMAT---

SELFIE (SWAFOTO)

No Comments »

Siapa yang tak mengenal Elvi Sukaesih? Salah satu penyanyi legendaris berkebangsaan Indonesia yang dijuluki Ratu Dangdut. Kenal tidaknya, tak masalah. Saya tidak sedang membahas tentangnya dan betapa merdu suaranya. Status ini tentang selfie (swafoto). Memotret diri sendiri.

Ada cukup banyak indikator untuk menjadi orang baik. Sedikit di antaranya (menurut sebagian warga Indonesia) minimal memenuhi dua parameter ini: rajin menabung dan tidak makan sabun. Saya tidak yakin, apakah rajin ber-selfie termasuk ke dalam variabel tersebut. Tetapi, sependek sepengetahuan saya, beberapa perempuan menolak lelaki dengan alasan terlalu baik, bukan karena sedikit-banyaknya koleksi foto selfie di telepon genggamnya. *bahas apa ini, woey?!*

Ada berapa banyak koleksi foto selfie (swafoto) di telepon genggammu? Tidak usah dijawab. Cuma basa-basi. Saya pribadi belum menghitungnya, tetapi bisa dipastikan, jumlah koleksi foto selfie saya tak lebih dari hitungan jari tangan dan kaki. Sedikit saja, memang. Apakah itu sebuah bentuk ketertinggalan saya di era kekinian? Entahlah.

Hanya saja, saya seringkali berpikir, swafoto (bisa jadi) adalah sebuah bakat. Di luar dari jenis kamera, agaknya hanya orang berkemampuan khusus sajalah yang bisa melakukannya. Jika benar begitu, kayaknya saya tidak dianugerahi bakat dari Tuhan untuk ber-swafoto.

Saya suka iri dengan kawan lain yang memiliki kemampuan itu. Wajah bahagia, tanpa beban, lepas, dan bebas. Seperti itulah interpretasi saya melihat foto-foto selfie teman-teman. Dengannya, membuat saya terprovokasi untuk ikut melakukannya.

Pernah suatu waktu saya menyiapkan jadwal khusus untuk latihan selfie. Mengasah kemampuan agar tercipta foto pribadi yang ketjeh, beradab, dan berketampanan sosial. Perbuatan ini dilakukan secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan keluarga, teman, kecuali Tuhan.

Salah satu foto yang saya unggah ini, termasuk salah satu swafoto dari cukup banyak percobaan yang tidak diharapkan. Di mana, saat kulihat hasil jepretannya, ada perasaan berdesir di dada. Kuyakin itu bukan cinta, tetapi semacam perasaan ingin menonjok muka sendiri. Fotonya sengaja saya edit sedemikian rupa, agar tak tampak hina. Sungguh, saya kelihatan bangsat kalau lagi selfie. Seperti bukan Syachrul Arsyad yang kalem sebagaimana biasanya. Hahaha *muntah*

Barangkali saya termasuk generasi yang patut dikasihani, karena tak berkompeten menghasilkan foto selfie yang bisa mendulang banyak tanda "love" di instagram. Disebut kurang percaya diri mungkin ada benarnya. Tetapi, selfie sepertinya memang bukan gayaku. Pegang tongsis saja, tangan saya bisa sampai gemetaran.

Kini kau tahu, selfie bukan bakatku. Tapi kalau diajak wefie sama kamu, sepertinya saya mau.

KISAH MASA BELIA (Sebuah Cerita Tak Penting)

No Comments »

Siapa yang tidak kenal Syachrul Arsyad? Tentu saja tidak ada. Wajar. Dia bukan artis. Bukan pula sejenis ‘oppa-oppa’ macam manusia Korea. Tetapi...ada sebuah cerita, yang olehnya direkomendasikan jangan dibaca, karena mengandung unsur tidak penting. Begini...

Ada foto. Itu. Penampakan Syachrul Arsyad waktu masih belia. Wajah semasa masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), yang dipotret dalam keadaan jomblo. Ketika masih kanak-kanak dulu, urusan pacaran belumlah terlintas di dalam kepalanya yang masih agak suci itu. Dipakai berpikir menjawab soal Matematika saja susah, apalagi buat memahami logika para wanita. Tetapi, itu dulu. Sekarang, masih... :v

Foto diri ini diambil dari ijazah SD. Di umur yang–kalau tidak salah ingat–sementara 12 tahun tersebut, Syachrul Arsyad belumlah akil baligh. Usia yang menurut kantor dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah kelahirannya tidak bisa dibuatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebuah tanda pengenal memajang foto diri yang menunjukkan betapa kebebasan berekspresi manusia dibelenggu di situ.

Saya tidak mengajak untuk menatap dan menilai potret lelaki kecil yang dosanya belumlah banyak-banyak seperti sekarang. Tetapi, menurut pandangan objektif bapak dan mamaknya, terpampang nyata penampilan sosok lelaki cilik berwajah lucu, polos, lugu, (insya Allah) gagah, dan kalau mau narsis disebut manis juga boleh.

Itu perkataan orang tua. Saya percaya kekuatan kata-kata orang tua. Termasuk pengakuan barusan. Ucapan yang di dalamnya mengandung kejujuran, meski ada pula yang mungkin merasa ingin muntah saking tidak percayanya. Beberapa di antara pembaca yang budiman mungkin mengalami apa yang saya katakan tadi. Tidak ada yang memaksa, toh selera orang fitrahnya memang berbeda-beda.

Semasa SD, cita-cita Syachrul Arsyad termasuk tinggi. Sebab, kata ibu gurunya kala itu, bercita-cita mesti sampai setinggi langit. Kalau hanya setinggi arena panggung dangdutan, jatuhnya jadi Cita Citata. Hahaha! Garing? Iyes!!! *krik...krik...krik*

Menjadi dokter atau tentara termasuk dua dari cukup banyak impian mulia bagi lelaki yang lahir di benua Asia ini. Mengapa dokter dan tentara? Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tetapi kedua profesi ini dipilih atas asas ke-keren-an semata; mulai dari tampilan seragam, hingga pekerjaan yang dilakukan.

Jika saja guru SD yang sama kembali mempertanyakan cita-cita tersebut kepada Syachrul Arsyad yang sekarang, tentu akan sedikit malu jadinya. Impian kerennya itu tidaklah tercapai, sebab dirinya tidak berusaha sekuat Satria Baja Hitam untuk menggapainya.

Akan tetapi, Syachrul Arsyad masih mengharapkan impian tersebut. Kalaupun tidak “menjadi”, paling tidak bisa “merasakan” hidup berdua bersama kekasih hati yang menjalani salah satu profesi tadi. Asem, eh, ehem! Namun, profesi dan dari kalangan manapun sebenarnya tidak jadi soal, asalkan ia perempuan. Dapat Raisa, Alhamdulillah, kebagian Pevita Pearce pun tidak masalah. Hahaha!

Sungguh, waktu begitu terasa sekali jalannya kalau hidup susah. Yang bahagia, pasti bilangnya hidup ini indah dilalui tanpa terasa. Apapun, Syachrul Arsyad wajib bersyukur menjalani masa keduanya. Sebab, ia sudah besar sekarang. Apanya? Itu, tinggi badannya nyaris 170 centimeter. Ia bisa begitu karena masih diberikan kesempatan bernapas oleh Yang Mahakuasa, rajin diberi makan orang tua dan tak lupa minum sehabis kenyang.

Selain tidur dan mandi sendiri, lelaki yang biasa disapa Syachrul ini juga sudah bisa bikin akun facebook dan mengingat password-nya sampai sekarang. Begitulah dia hidup di dua dunia, kini: nyata dan maya. Sebuah dunia di mana masing-masing orang boleh bersandiwara, berbahagia, atau saling menghina.

Entah dengan status tulisan ini–yang kisahnya dijalani di dunia nyata dan disebar ke dunia maya. Sebenarnya tulisan ini untuk konsumsi (arsip) pribadi semata. Tidak ada kepentingan pihak siapapun di dalamnya.

Bahkan sebenarnya saya yakin, impian jadi presiden malah bisa diraih seketika, jika ada orang tidak membuang waktunya membaca kisah seperti ini. Cerita yang tentu saja tidak penting dan jauh dari kesan menarik karena tidak membahas soal pilkada dan perselisihan agama–seperti status kebanyakan di facebook. (*)