Archive for Oktober 2017

Dilema Guru Terhadap Perang

No Comments »

Saya baru saja membaca "Dua Belas Pasang Mata". Judul aslinya, Nijushi No Hitomi. Karya Sakae Tsuboi, sudah difilmkan, dan saya punya rencana untuk menontonnya (kalau file-nya ketemu). Novel ini menghadirkan cerita yang luar biasa, bikin gelisah, sedikit-banyak menyisakan luka.

Novel ini menceritakan tentang Miss Oishi, seorang guru yang bertugas di daerah terpencil bernama ... (*sinopsis lengkapnya cari di google. Saya capek ketiknya di sini*) ðŸ˜…


Sebagai sebuah karya imajiner, 'Dua Belas Pasang Mata' menawarkan berbagai permasalahan kemanusiaan dan kehidupan. Pada dasarnya, ini adalah novel anti-perang. Konfliknya cukup kompleks, sebagaimana kisah-kisah guru sejak dulu sampai sekarang.

Miss Oishi dilema. Sekian lama mengajar, ia memutuskan ingin berhenti menjalani profesinya. Sebagai sosok penyayang, Miss Oishi merasa gagal dan tak tega melihat sebagian besar muridnya ingin menjadi tentara. Menjadi tentara tentu tak masuk ke dalam hitungan Miss Oishi. Ia tak pernah mau murid-muridnya kelak mati muda, karena begitu naif memperjuangkan konsep menyelamatkan negara lewat perang.

Suasana perang pada masa itu memang membuat Miss Oishi gelisah. Meski tak mampu menghalangi niat muridnya berperang, tiada lain yang bisa ia berikan selain menitipkan pesan (kurang lebih begini): "Jangan mati cepat, pulanglah dengan selamat."

Bagi Miss Oishi, seharusnya tak perlu ada yang mati di medan perang. Orang-orang harus perjuangkan hidup dan segera pulang.

EFEK PIKNIK

No Comments »

Air Terjun Barassang agaknya punya efek terapi. Lokasi wisata yang berada di desa Bissoloro, kecamatan Bungaya, kabupaten Gowa ini menjadi ruang relaksasi. Semacam tempat yang menstimulus seseorang untuk melupakan utang.

Cobalah tengok sekumpulan pria ketjeh ini, sodara-sodara. Para bidadara yang turun ke bumi entah dari kayangan mana. Dengan percaya diri, masing-masing dari mereka menunjukkan sebagian lekuk tubuh yang nyaris tak pernah terlatih dan dibentuk di tempat fitness. Hahaha!

Mereka mandi di air terjun dengan suasana hati riang gembira. Padahal, perjalanan untuk menggapai lokasi ini, lumayan jauh dengan medan yang cukup berat. Perjalanan yang rawan mengundang lelah di tubuh.

Saya tidak tahu, apakah mereka punya tunggakan kredit di bank atau ada utang sama teman. Tetapi, jelas sekali raut mereka tidak setegang saat seseorang didatangi rentenir di rumahnya yang menagih pinjaman yang lewat dari jatuh tempo.

Hanya saja, saya selalu khawatir. Tiap kali sebuah perjalanan wisata berakhir, efek piknik itu hanya berlaku sebentar saja. Seharian ceria, dan besok tensi harus naik kembali. Tapi biarlah ya. Hidup memang begitu; kadang bahagia, asal jangan keseringan susah. ðŸ˜‚

PEMBERONTAKAN VEGETARIAN

No Comments »

VEGETARIAN adalah pengalaman pertama saya membaca buku dari Korea Selatan. Setelah sempat beberapa kali "tersihir" akan 'produk budayanya' yang lain lewat lagu atau film dramanya yang lumayan bikin termehek-mehek.

Membaca Vegetarian berangkat dari rasa penasaran. Saya sering mengira, Korea Selatan hanya mampu memproduksi film drama, dan menciptakan spesies "oppa-oppa" yang berhasil bikin histeris wanita Indonesia. Ternyata saya salah sangka. Sastra Korsel juga berkembang. Penulis novel ini bahkan menjadi pemenang Man Booker International Prize 2016.

Buku ini berpusat pada karakter Kim Yeong Hye, seorang perempuan yang mendadak jadi vegetarian karena mimpi buruk. Kepribadiannya itu justru tidak hanya merusak dirinya sendiri, namun juga kehidupan keluarganya.

Novel yang ditulis Han Kang ini sebenarnya agak memusingkan saya. Ceritanya ganjil, dan bernuansa gelap. Kisahnya sangat jauh berbeda dengan skenario yang biasa saya temukan dalam bentuk film drama Korea yang romantis dan penuh cinta. Tokoh dan sifat dalam buku ini pun digambarkan tidak seideal macam artis Lee Min Ho dan atau Song Hye-Kyo.

Meski begitu, saya cukup menikmatinya. Tokoh utamanya mungkin terkesan menakutkan dengan tingkahnya yang aneh. Hanya saja di satu sisi saya merasa iba dengan konsep "kebebasan" yang ia terapkan. Memberontak hanya karena ingin berubah: keluar dari kebiasaan dirinya yang lain, walau dengan cara yang ekstrim.

I S R A

No Comments »

Lelaki dalam potret ini bernama Isra. Salah satu dari sekian banyak anak yang rindu bersekolah. April lalu, saat berkunjung ke daerah tempat tinggalnya bersama para sukarelawan di komunitas sedekah buku, Isra dan teman-temannya sudah sekitar sebulan tidak mengenyam bangku pendidikan.

Dusun Cindakko, desa Bontoramba, kecamatan Tompobulu, kabupaten Maros, hanyalah salah satu daerah yang terkena imbas dari tidak meratanya akses pendidikan. Sekitar setahun lalu, daerah ini memang sudah punya sekolah darurat--walaupun jauh dari bentuk sekolah kebanyakan di perkotaan.

Saya belum begitu mengenal Isra. Tapi saya tahu, remaja yang bermimpi menjadi seorang guru ini, tentu tak mahir membolos. Sekolahnya hanya 'libur' secara terpaksa. Untuk banyak perkara yang begitu pelik, anak-anak pasrah menerima keadaan.

Agenda pada roster mata pelajaran nyaris tak ditepati. Kurikulum yang sering diganti kementerian pendidikan itu, agaknya tak berlaku di sini. Nyaris tidak ada jadwal yang pasti kapan materi pembelajaran itu diberi.

Dua guru bantu di sekolah itu, kata anak dusun Cindakko, jarang betul masuk mengajar. Ada cukup banyak masalah yang membuat saya menerka-nerka sebab-musababnya; bisa jadi akses jalan yang rusak lagi jauh, dan atau persoalan gaji guru. Itu baru dugaan. Masalahnya terlalu kompleks hingga tak etis bila menyalahkan seseorang secara sepihak.

Padahal, gairah bersekolah Isra begitu tinggi. Anak-anak dusun Cindakko punya impian yang ingin digapai. Menuju ke sekolah menempuh perjalanan kaki 3-7 km sepertinya sudah biasa. Semua demi menggapai cita-cita yang mulia.

Sekarang...Isra tak perlu menunggu waktu libur untuk tak masuk sekolah. Kabar yang datang dari seorang teman beberapa hari yang lalu mengatakan, gangguan kesehatan yang lambat ditangani, mengharuskan Isra berhenti menggapai cita-cita. Ia telah tiada; kembali ke sisi Yang Mahakuasa.

KEKECEWAAN PRIA ATAS RAISA (SEBUAH CURHAT)

No Comments »

Pertama-tama, selamat atas pernikahan Raisa dengan lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya. Peresmian jalinan asmara yang membuat suasana perayaan Iduladha semakin bermakna. Pada akhirnya, saya harus bersedia mengorbankan perasaan demi Raisa, untuk kemudian digantikan dengan lelaki yang tentu saja jauh lebih tampan dari saya.

Ketika saya sedang dalam puncak mengidolakan Raisa, lelaki-yang-tidak-disebutkan-namanya itu tiba-tiba datang menikahinya. Dulu, saat Presiden Jokowi menghadiahkan Raisa sebuah sepeda, saya masih bisa memakluminya. Namun ketika lelaki itu datang mengucapkan ijab kabul di hadapan orang tuanya, saya dibikin gelisah jadinya.

Lalu, yang kedua...kebetulan belum ada. Capek mikirnya. Maka dari itu, langsung saja pada poin ketiga: ungkapan perasaan betapa saya ikut bahagia melihatnya menikah. Sebagai lelaki yang senantiasa dibikin terluka, saya hanya bisa pasrah. Dan tak lupa berkaca sambil bertanya-tanya, "siapa saya?!" ðŸ˜‚

Pernikahan Raisa mungkin akan sedikit mengurangi kadar kecintaan saya kepadanya. Tapi tak lantas menjadikan saya membenci dirinya.

Raisa akan tetap jadi idola. Sosok perempuan paripurna. Publik figur yang perangai buruknya tak sekali pun kulihat terekspos di media massa. Pemilik wajah rupawan dengan pesona yang bikin minder Cleopatra. Berbakat di bidang tarik suara--yang entah kenapa--membuat saya terkenang Nike Ardilla.

Saya cuma bisa berdoa, semoga mereka berdua diberkahi keturunan yang cantik jelita seperti ibunya. Saya tidak ingin mendahului kehendak Yang Mahakuasa. Namun, barangkali saja, anaknya kelak adalah jodohku yang sebenarnya.

Sembari menunggu keajaiban itu tiba, dunia alternatif di dalam kepala saya saat ini sudah membayangkan Raline Shah, Isyana, sekalian Pevita. Hanya saja, untuk sebuah perjuangan menggaet ketiga wanita ini, saya harus siap menanggung sakit hati. Sekali lagi. ðŸ˜‚

Sodara-sodara...hari ini, momen pernikahan Raisa dianggap sebagai #HariPatahNasional (Edisi Kedua). Saya tidak tahu, apakah oleh pemerintah momen ini nanti bakal dimasukkan dalam kurikulum ilmu sejarah di sekolah. Tetapi kukira, tak ada salahnya dijadikan pelajaran. Karena di balik hati yang patah, (katanya) ada perasaan yang jauh lebih sempurna. *Alhamdulillah...akhirnya catatan ini ada pesan moralnya juga.* 


BUKAN KISAH KASIH DI SEKOLAH

No Comments »

Foto ini diambil ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Menampilkan kondisi wajah saya dan tujuh teman lain saat masih remaja. Masa muda--yang menurut Rhoma Irama--masa yang berapi-api. Pemotretan menggunakan kamera beresolusi VGA, namun hasilnya tetap membuat kami terlihat gagah.

Kalian boleh protes. Saya tak mempermasalahkannya. Namanya juga darah muda. Yang maunya menang sendiri. Walau salah tak peduli. Darah muda. *jreeenggg!* Demikian menurut Rhoma Irama kembali menegaskan lewat lagunya.

Ketika SMA, jumlah lelaki di kelas hanya delapan orang. Dengan total siswa keseluruhan--kalau tidak salah ingat--sekitar 25-30 murid. Dominasi wanita di kelas tak membuat kita risih, malah bikin senang dan menentramkan hati. Sebab atas kondisi demikian, para pria punya peluang yang terbuka lebar untuk memilih dan tidak saling berebut wanita yang disukai. Hahaha!

Begitulah salah satu ciri lingkungan kelas eksakta yang terbangun sejak dulu; sedikit pria, banyak wanitanya. Tidak hanya itu. Siswa di kelas IPA mesti menanggung beban moral yang luar biasa kurang ajarnya. Siswa di kelas IPA dipandang "kaum terpelajar"; cerdas, berwibawa, berbudi pekerti (dan juga lebih gagah ðŸ˜…). Pokoknya, setingkat di atas dengan mereka yang di IPS.

Entah mulai dari mana hadirnya pemahaman cilaka ini. Ada upaya stigmatisasi yang dibangun di sana. Syukurlah, saat SMA dulu belum pernah sekali pun saya dengar ada pria yang ditolak wanita IPA karena ia IPS. "Maaf, kamu terlalu ke-IPS-an buat aku." Sungguh jawaban ngeri, mengundang rasa ingin bunuh diri. ðŸ˜·

Namun, berbeda dengan teman yang lain. Di kelas jurusan IPA, saya bukanlah jenis siswa yang menonjol. Tidak begitu pandai tapi juga tak banyak-banyak bodohnya. Saya tidak memiliki bakat terpendam, kecuali kemampuan menyimpan perasaan; lama dan dalam-dalam. Woey!

Setidaknya dengan begitu, saya bisa menjadi salah satu orang yang berusaha mematahkan stigma orang-cerdas-selalu-lahir-dari-jurusan-eksakta. Kukira, ini bentuk lain dari 'prestasi' yang tak pantas dipamer dan tidak patut untuk dibanggakan. Dipilih menjadi ketua kelas juga tak perlu diumbar. Sebab dulu kukira jabatan ini bisa dimanfaatkan menggaet wanita idaman. Ternyata, tidak! ðŸ˜‚

Kini...dari delapan orang di foto tersebut, Alhamdulillah...sudah dua orang yang menikah. Bahkan punya anak yang lucu lagi menggemaskan. Lima kawan yang lain masih sibuk kerja, sambil menghitung jumlah tabungan dalam rangka membeli mahar buat bakal calon istrinya.

Satu orang lainnya lagi sebenarnya tidak begitu penting, tapi ia sungguh berharap bantuan doa; semoga diberi kekuatan untuk segera 'move on' dari Raisa. Duh!

BEBERAPA CATATAN TENTANG SEPTEMBER (YANG TIDAK) CERIA

No Comments »

#1
Beberapa hari belakangan ini, di bulan September, kronologi facebook saya dipenuhi pembahasan yang cukup berat untuk diserap kepala saya. Kata kunci, seperti: “komunis”, “PKI”, dan istilah “[–isme]-[–isme]” lainnya itu ... sungguh mengganggu sensitivitas humor saya dalam ber-media sosial (medsos) yang notabene sekadar mau mencari hiburan. Sok! Hahaha ðŸ˜‚

#2
Dalam rangka pencitraan, biar kesannya berintelektual–meski tanggung–dalam bermedsos, saya mencatat (merangkum?) beberapa hal dari banyak status dan bacaan yang berseliweran di internet. Beberapa pendapat orang lain, yang saya jadikan referensi untuk diri sendiri---yang kalau mau dibaca orang lain juga tidak masalah. Rasa bingung ditanggung masing-masing! 

#3
Sejarawan Perancis, Pierre Norran dalam karyanya, “Between Memory and History” menyebut, ingatan tidak pernah dikenali melebihi dua bentuk legitimasinya; ingatan sebagai sejarah (history), dan ingatan sebagai cerita/kisah (story).

#4
Untuk mengerti sebuah bangsa, ada dua medium “ingatan” yang bisa digunakan, yakni melek “sejarah” dan juga membaca “kisah”. Apa yang hilang dari ‘sejarah’, bisa ditemukan dalam ‘cerita’ yang kadang berwujud sastra/literasi, seperti esai, atau bahkan dalam bentuk puisi.

#5
Sejarah selalu ditulis untuk kepentingan kekuasaan. Selalu ada muatan politis tertentu yang direncanakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Target awal, membentuk kesamaan-ingatan di masyarakat. Tujuannya bisa beragam, tetapi biasanya selalu berkaitan dengan kekuasaan yang lebih besar. *au ah gelap!*

#6
Ingatan bersifat absolut, sejarah bersifat relatif.

#7.
Masyarakat saat ini dijejali “fakta” sejarah dari satu sudut pandang saja. Ingatan kita ingin diseragamkan. Sialnya, kita cukup menikmatinya dan jadi malas mencari sumber lain. Cara ini cukup ampuh dengan diproduksinya film “Pengkhianatan G30S-PKI” yang hampir tiap tahun selalu ditayangkan. Padahal, sumber sejarah yang seragam sering kali menjadi “senjata” bagi reproduksi kebencian masyarakat Indonesia.

#8
Tidak ada yang penting di bagian ini. Tetapi sengaja saya tulis biar status catatannya menjadi lebih panjang dan orang-orang jadi malas membacanya. Hahaha!

#9
Semoga saya terhindar dari segala debat kusir yang terkutuk!

KISAH CINTA PEMUJA RAHASIA

No Comments »

Saya tidak sedang terjebak dalam lingkaran "spesies oppa-oppa". Saya hanyalah seseorang yang merasa harus mendedikasikan diri agar menyelingi waktu menikmati drama Korea (drakor). Kini mulai lebih teragenda; dalam kurun waktu minimal dua kali sebulan, saya harus "belajar" menuntaskan satu film atau serial drama Korea.

Bagi kebanyakan orang, drama Korea punya konten yang "berbahaya". Dampaknya lebih ke perasaan, cenderung dialami perempuan. Efeknya menimbulkan tangisan. Minimal teringat mantan yang gagal diajak ke pernikahan pas lagi sayang-sayangnya. Bahkan, pada tingkatan yang paling lebay, tiba-tiba berhasrat ingin memiliki pacar berwajah tampan.

Saya sendiri, menonton drama Korea sebagai medium untuk menemukenali perasaan sendiri. Kupikir, drakor bisa menjadi alternatif meningkatkan kepekaan manusia. Bukan karena ingin terjerumus pada standar: kecantikan wajah berkiblat pada diri perempuan Korea.

Saya kira alasan tersebut sudah cukup keren untuk meminimalisir pertanyaan bernada ejekan, "laki-laki kok nonton drama Korea?!" Hahaha ðŸ˜‚

Saya habis menonton 'Daisy'. Sebagaimana pendapat umum terhadap drakor, film ini pun menawarkan romantisisme yang jarang sekali ditemukan pada sinetron Indonesia. Plot film ini dibangun dari tiga sudut pandang para tokoh utama yang menjadi awal bermulanya kisah cinta yang salah sasaran.

Singkat cerita, Hye Young (Jeon Ji-Hyeon) adalah seorang pelukis yang tiap pagi mulai menerima kiriman bunga Daisy. Tanda cinta dari seorang pemuja rahasia. Ia tak tahu, Park Yi (Jung Woo Sung), seorang pembunuh pembayaran itulah yang mengirimkan sekuntum bunga sebagai ungkapan rasa cinta terhadap wanita yang diidamkannya.

Sungguh tidak enak menjadi pemuja rahasia. Kebanyakan menjadi korban perasaan dan keadaan. Karena suatu skenario yang tidak diharapkan, datanglah Jeong Woo (Lee Seong Jae), seorang petugas interpol yang membuat Hye Young salah mengira bahwa lelaki itulah pemuja rahasianya. Dan begitulah kemudian, cinta segitiga antara pembunuh bayaran dan petugas interpol yang 'memperebutkan' seniman jalanan.

Menonton film ini, saya jadi teringat penuturan filsuf, Friedrich W. Nietsche. Salah satu kutipan favorit saya setiap menemukan film roman menggelisahkan seperti 'Daisy'. Dikatakan Nietsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

MENGADU DOMBA SETAN

No Comments »

Baru kali ini saya menonton film horor yang efeknya bukan memunculkan efek ketakutan, namun lebih kepada rasa kasihan. Saya sedih, melihat ada hantu diadu-domba. Arwah yang seharusnya tenang di akhirat sana, malah diajak berkompetisi dalam rangka menyelesaikan masalah manusia di dunia.

Dasar ... manusia memang makhluk paling bajingan. Gemar bikin ulah, banyak khilafnya. Bukan cuma perkara di dunia nyata, sampai pada urusan gaib sekali pun, tingkahnya tak ketulungan. Kekejamannya tak terkira dan sulit diterka.

Tidak seperti film horor kebanyakan, saya melihat (secara tersirat) Sadako dan Kayako di sini ditampilkan sebagai "korban". Siapa sangka, kelihaian dan kelicikan dalam ukuran yang pas, manusia mampu memutar-balikkan realita yang telah ada. Di mana, manusia membuat dua demit ikon Jepang ini berselisih satu sama lain. Manusia yang punya masalah, malah setannya yang diajak bersengketa. Hahaha!

Sebagai bentuk provokasi yang terbilang sukses, tindakan ini sulit dimengerti, sodara-sodara! Entah, saya tak tahu ini termasuk tindak kejahatan atau bukan. Namun, saya merasa kelakuan manusia dalam film tersebut adalah sebuah penistaan; merendahkan eksistensi setan sebagai makhluk astral.

Kondisi tersebut membuat saya iba. Semacam muncul rasa empati-lintas-dimensi. Untuk sebuah produk sinema anti-mainstream yang mengeskploitasi ikon legenda horornya, film produksi Jepang ini keterlaluan kurang ajarnya. ðŸ˜‚

Intinya, "Sadako VS Kayako" nyaris menjadi film komedi. Terserahlah!

Lompobattang dalam Pusaran Badai

No Comments »

Berfoto dalam badai di puncak Gunung Lompobattang.
Dulu...saat pendakian pertama ke Gunung Lompobattang. Berkesan dan bikin tak enak perasaan.

Saya tidak selalu yakin dengan apa yang dinyanyikan Chrisye. Berharap pada tembang populernya "Badai Pasti Berlalu", nyatanya tidak selalu sesuai ekspektasi di gunung. Saat pergi mau pun pulang, pendakian ke Gunung Lompobattang, terus diterjang hujan dan badai.

Selama tiga hari dua malam, piknik ceria ke Gunung Lompobattang lebih banyak dihabiskan di dalam tenda. Hujan dan badai seakan tak ada jeda. Membuat jadwal pendakian, tak sesuai rencana. Niat menghasilkan foto-foto ketjeh yang instragamable...pupus sudah. Kecewa? Ya, tentu. Tetapi kecewa secukupnya saja.

Hingga perjalanan pulang, hujan badai masih mengiringi langkah yang bikin lelah. Turun gunung dengan medan yang terjal dari ketinggian 2.874 mdpl disertai hujan dan angin kencang, tidaklah mudah. Dada berdegup kencang yang daripadanya, kuyakin itu bukan cinta. Tetapi, perjalanan seolah ingin mengantar nyawa kepada Yang Mahakuasa.

Untunglah, masih bisa selamat sampai turun gunung. Dingin badan menggigil, tak berubah menjadi hiportemia. Syukur Alhamdulillah...karena masih ada kesempatan untuk nikah, meski pernah khawatir mati muda. ðŸ˜‚

Sekian lama setelah itu, pada rencana selanjutnya, masih di Gunung Lompobattang pada edisi perjalanan yang kedua...kebahagiaan itu mampir juga. Cuaca cerah dan sangat mendukung untuk bikin foto-foto saya tampak gagah. Hahaha!

Berdoa sebelum turun puncak. Pulang!

Pengabdi Setan, Penantian Panjang Film Horor Indonesia

No Comments »

Poster Film Pengabdi Setan
Ada kecenderungan, film bergenre horor agak susah "move on" dari beberapa hal: rumah kayu di tengah hutan, pohon besar di depan rumah, lalu bunyi engsel pintu yang jarang diminyaki. Bukan cuma Hollywood, sedikit banyak, karakteristik yang juga saya temukan di film Indonesia, seperti film "Pengabdi Setan" ini.

Abaikan sajalah 'tanda-tanda' tersebut. Saya mau mengaku, film yang disutradarai Joko Anwar ini semacam oase di tengah gurun. Akhirnya bisa memuaskan "rasa haus" saya akan sinema bergenre horor Indonesia. Serasa penantian yang cukup lama.

Beberapa tahun belakangan ini, banyak film horor Indonesia yang mengecewakan. Hanya sedikit sekali yang membekas di kepala. Sampai 'Pengabdi Setan' hadir, rasa ketakutan itu muncul juga. Memicu efek ketegangan yang hampir sama saya rasakan sejak terakhir kali menonton 'Tusuk Jelangkung' yang diproduksi tahun 2003 silam.

Saya hanya punya sedikit pengalaman dalam menonton film horor. Tetapi saya cukup yakin, 'Pengabdi Setan' ini salah satu film horor terbaik Indonesia. Film yang menarik untuk ukuran film "remake" (diproduksi ulang).

Sekilas, film ini sepertinya "terpengaruh" dari tiga film horor luar negeri: Insidious, Conjuring, dan Annabelle. Bahkan, setan yang ditampilkan nyaris menyerupai Valak. Tetapi karena ini film Indonesia, maka boleh dibilang versi 'Pengabdi Setan' menampilkan Valak dengan kearifan lokal. Hahaha! 

salah satu adegan film Pengabdi Setan.

Menjelajahi Cartensz

No Comments »

Saya menamatkan buku ini kemarin malam. Tuntas dalam sehari. Novel tentang rencana pendakian ke Puncak Cartensz di Papua. Namun, dalam perjalanan berubah menjadi...(*lihat selengkapnya di google*).

Saya kira, tidak banyak novel perjalanan yang saya baca dengan latar gunung dan skenario pendakian yang menarik seperti dikisahkan dalam buku setebal 324 halaman ini. Cerita yang disuguhkan keren, isinya informatif, dan mungkin tak berlebihan kalau saya sebut sebagai novel yang cerdas meski bergenre fiksi.

Konflik yang ditawarkan pun tak biasa. Tentang persahabatan, namun semakin kompleks dengan adanya persekongkolan terselebung yang menyeret-nyeret pemerintah dan pabrik tambang sekelas Freeport. Tema percintaan yang ditawarkan pun bukan sesederhana perasaan hubungan sentimentil antara pria dan wanita, tapi lebih jauh lagi melibatkan urusan kecintaan kepada negara.

Membaca The Secret of Cartensz membuat saya ingin mengenal Papua lebih jauh lagi secara langsung. Impian terbang ke wilayah paling Timur Indonesia dan mendaki ke salah satu puncak tertinggi di dunia, Cartensz...semakin "unchunchunch"!

[KOLEKSI] IL PRINCIPE - Niccolo Machiavelli

No Comments »

Kalau sudah terlanjur jatuh cinta dengan isi sebuah buku, rasanya saya tak puas jika hanya membacanya dua atau tiga kali. Entah "kelainan" macam apa ini, tetapi saya senang betul dan seringkali terpanggil mengoleksi buku yang saya senangi dalam bentuk maupun versi yang berbeda.

Seperti halnya buku yang ditulis Niccolo Machiavelli ini. Untuk buku dengan judul serupa, saya sudah punya tiga versi dari penerbit yang berbeda. Selain tampilan sampul yang tidak sama, salah satu dari tiga buku yang saya punya ini ada pula yang dikemas dalam bentuk manga (komik).

Sudah. Itu saja dulu. ðŸ˜„

MAJALAH NATGEO EDISI JUNI 2017

1 Comment »

Dunia ini sepertinya dibangun dari sekumpulan kebohongan. Dipenuhi orang-orang yang sejak lahir berbakat berpura-pura. Berdusta adalah bagian dari sifat dan perilaku yang mendarah daging dalam diri manusia. Demikian kesimpulan yang saya peroleh dari Majalah Natgeo Indonesia seharga Rp60.000/eksamplar ini. *Eh, endorse ya, Sist?!* ðŸ˜‚

Dijelaskan, berdusta agaknya sudah menjadi kebutuhan. Kita melakukannya sebab itu mudah. Manusia senang "mengeksploitasi" kebohongan demi keuntungan pribadi; menyembunyikan kekurangan, menjaga perasaan, dan untuk urusan pencitraan. Intinya, berbohong itu candu!

Ada cukup banyak kajian dan hasil penelitian ilmiah yang membeberkan betapa kebohongan itu begitu sulit dihindari. Sebab, seperti belajar berjalan atau berbicara, berbohong merupakan tonggak perkembangan manusia yang dimulai sejak masa kanak-kanak. Setidaknya, begitu menurut Kang Lee, psikolog University of Toronto.

Jadi, apa cara terbaik untuk menghambat gerak lincah kebohongan? Sayang sekali, jawabannya: tidak jelas. Layaknya cinta, dusta pun terlalu kompleks untuk masuk di ranah pembahasan ilmiah. Hahaha!