Archive for 2015

Lae-Lae Punya Cerita

No Comments »

Chandrawinata melaju dengan kecepatan sedang, namun pasti. Tidak butuh waktu lama bagi perahu rakyat milik Daeng Bontoitu melakukan perjalanan di atas laut dengan membawa10 penumpang. Waktu 15 menit tidak terasa bagi kami yang akhirnya mampu menginjakkan kaki di Pulau Lae-Lae.

 
Pada suatu sore di Pulau Lae-Lae dengan perahu nelayan yang tak bekerja.
Daeng Bonto menyandarkan perahunya di pinggir pantai. Kami lompat satu per satu menuruni perahu. “Jam 7 (malam) jemput di sini lagi, Pak,” kata salah seorang teman mengingatkan Daeng Bonto. Urusan pembayaran kapal, katanya, nanti belakangan setelah pulang. Sesuai perjanjian, kami harus membayar setidaknya Rp10.000 per orang untuk pulang-pergi pulau.
Kunjungan ke Pulau Lae-Lae memang sudah direncanakan tidak bakal menginap. Berarti, kami hanya punya beberapa jam saja menikmati keindahan tempat ini yang baru berangkat dari Dermaga Kayu Bangkoa Makassar sekitar pukul setengah tiga siang. Kami tidak mengetahui apakah Daeng Bonto menunggu di pulau atau kembali ke tempat awal kami dijemput. Kami tidak memperhatikannya lagi, sebab kami mulai masuk ke dalam pulau.
“Selamat datang di Pulae Lae-Lae”. Sebuah ucapan sambutan tak bersuara dari sebuah gapura. Sebagai tanda memasuki pulau. Jejeran pohon kelapa mengerubungi kami yang berjalan memasuki kawasan Kecamatan Ujung Pandang, Kelurahan Lae-Lae. Beberapa spanduk peringatan dan imbauan untuk menjaga kebersihan pulau juga menjadi pemandangan yang tentunya tidak boleh kami indahkan begitu saja.
Sudut lain pemandangan Pulau Lae-Lae.
Kami berjalan jauh ke dalam. Mencari tempat yang pas untuk beristirahat dan bersantai selama di sana. Memilih sebuah tempat yang agak jauh dari perumahan warga. Sepanjang tempat itu berjejer pohon yang mulai mengering dan juga beberapa pondok sederhana yang memang disediakan bagi para pengunjung.
“Mau nginap di sini? Kita tempati mi ini tiga pondok. Bayar 50.000 mi saja.” Seorang perempuan mendatangi kami yang baru saja melepas lelah. Ia salah satu warga yang mengaku bertanggung jawab terhadap pondok yang disediakan warga yang notabene memang disewakan.
Kami sempat meminta pengecualian kepada Daeng Singara—begitu kemudian nama perempuan yang kami tahu—untuk tidak memungut pembayaran kepada kami. Dengan alasan tidak menginap di pulau. Pada akhirnya kami pun patungan bersama teman-teman untuk membayar tempat sewa. Itu pun setelah Daeng Singara bersikeras meminta, karena barang-barang kami menempati pondok tersebut. “Nanti saya beri sekalian pisang goreng di sini,” begitu tambah Daeng Singara kemudian seperti sebuah usaha negoisasi antara kami supaya tetap menyewa tempat tersebut.
Kopi, biskuit, dan pisang goreng menjadi awalmemulai hari.Teman-teman sudah bergerak memanfaatkan pohon untuk mengantungkan hammock-nya masing-masing. Sebuah ayunan yang terbuat dari kain pilihan untuk menahan beban orang yang duduk atau tiduran di atasnya.
Meninggalkan teman-teman yang bersantai di atas hammock sambil foto-foto, saya sendiri memilih untuk berjalan-jalan di sekitar pulau. Sekadar mengumbar senyum, menyapa dan bersosialisasi dengan warga di sana. Saya seringkali merasa tidak tenang sepulang di rumah jika mengunjungi tempat yang baru, namun tidak menyempatkan waktu bersosialisasi dengan warga asli. Meskipun itu hanya sebuah perbincangan singkat.
Saya nyaris mengeliling pulau dengan luas 0,04 km2 ini. Tetapi saya berhenti dan tidak melanjutkannya lagi. Saya tertarik melihat aktivitas anak-anak. Mereka sedang memancing ikan. Cukup di pinggir pantai saja mencarinya.
“Lagi cari ikan, Kak. Ikan Pocci’, namanya,” salah seorang anak yang saya temui menjawab rasa penasaran saya perihal yang mereka lakukan. Saya mangggut-manggut saja mendengarnya seolah-olah mengerti.Padahal belum begitu tahu jenis-jenis ikan. Tapi ikan yang mereka tangkap kecil bentuknya, punya gigi-gigi kecil yang runcing, dan bercorak kecoklatan. Sekilas saya mengamati itu setelah meminta salah satu anak memperlihatkannya kepada saya.
Memperlihatkan ikan kecil dari hasil memancing di pinggir laut. Ikan tersebut, kata anak kecil itu, diketahui sebagai Ikan Pocci’ yang ditangkap dengan cara memanah.
Cara memancingnya pun menarik dengan alat yang sederhana. Menggunakan sebuah besi agak panjang dan kecil. Ujungnya sengaja diruncingkan, lalu ujung lainnya diikatkan sebuah karet. Penggunaannya mirip saat sedang memanah, tapi tanpa busur.
“Mappatte’ ini,” lanjut kata anak itu merujuk kepada penggunaan alat tersebut. Namun pemakaiannya ternyata tidak sesederhana alatnya.Dibutuhkan pengamatan dan kesabaran. Tetapi bagi anak-anak itu, Mappatte’ tidak begitu sulit untuk mendapatkan ikan.
Meski sempat beberapa kali gagal, anak-anak ini tidak kehilangan semangat untuk tetap memancing. Siang hari cukup terik, membakar kulit jika berlama-lama di bawah sinar matahari. Namun anak-anak tak kenal lelah dan seperti mengabaikan cuaca.Mereka hanya mau bahagia dengan caranya masing-masing.
Seperti di sudut lain pulau. Sekumpulan anak lelaki yang dengan semangat menendang bola ke gawang lawan dan perempuan yang asyik bermain lompat tali. Cucuran keringat di wajah menjadi tanda bahwa mereka bersemanagat dan bersenang-senang.Tidak disibukkan dengan aplikasi game atau media sosial di smartphone. Mereka bermain sebagaimana cara bermain untuk menciptakan kenangan masa kecil mereka sendiri.
Dua orang anak yang tersenyum saat di foto. Mereka sedang beristirahat di sebuah balai-balai dekat rumah.
Saya sempat mengambil gambar kegiatan anak-anak tersebut sebelum kembali bersama rombongan teman. Di tempat kami bersantai, hammock masih menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati. Menanti matahari tenggelam di ufuk barat.
Kami pun bersenang-senang, menikmati suasana pulau dan mengabadikan perjalanan kami dengan berfoto. Selepas senja di Pulau Lae-Lae, kami bersiap-siap. Saatnya untuk menemui Daeng Bonto, nahkoda perahu “Chandrawinata” yang akan memulangkan kami ke Dermaga Kayu Bangkoa. Kembali ke kota dengan keriuhannya pada Sabtu, 29 Agustus malam itu.

Kini, di hadapan kami, dari kejauhan tersaji pemandangan kerlap-kerlip lampu di kota Makassar. Menandakan aktivitas malam yang berpusat di Pantai Losari baru dimulai di sana. Kontras dengan Pulau Lae-Lae. Angin tidak begitu kencang di laut, tapi cukup membuat gigil. Dari atas perahu “Chandrawinata”, Daeng Bonto memulangkan kami; pergi dari keteduhan suasana, kembali ke keramaian kota. (*)
Anak-anak pulau yang memanfaatkan waktu sorenya dengan berenang di dekat dermaga.

Bersama Menikmati Alam Bahari Sehari Semalam

No Comments »

Siang yang cerah dan panas, perahu sudah bersandar dan menunggu di pelabuhan Maccini Baji. Sebentar lagi siap mengantarkan kami ke seberang, menuju Pulau Cambang-cambang. Perahu yang sudah kami pesan sehari sebelum berangkat ke tempat wisata yang berlokasi di desa Mattiro Baji, kecamatan Liukang Tupabiring Utara, Kabupaten Pangkep.
Kabupaten Pangkep, selain dikenal salah satu daerah penghasil ikan bandeng, juga memiliki begitu banyak potensi pariwisata. Terutama pulau-pulau eksotis yang memiliki keindahannya masing-masing.
Berkunjung ke Pulau Cambang-cambang, kami menyewa perahu rakyat atau dikenal dengan sebutan jolloro’ dengan tarif Rp150 ribu untuk pulang pergi ke pulau. Sambil menunggu pemberangkatan, beberapa orang teman dibantu satu awak yang punya perahu, terlebih dahulu membelikan dan beberapa persediaan makanan untuk dinikmati di pulau nanti.
Mesin perahu berderu, satu per satu dari kami sudah mengambil posisi ternyaman masing-masing di perahu yang ukurannya sudah cukup menampung kami sekitar 17 orang. Selasa,2 Juni lalu, kru FAJAR PENDIDIKAN memang mengagendakan jadwal liburan ke salah satu destinasi wisata bahari andalan di kabupaten Pangkep itu.
BERANGKAT. Mengatur posisi di duduk dalam perahu yang akan membawa kami ke Pulau Cambang-cambang
Tidak cukup lama kami berada di lautan, sekitar 15 menit, perahu yang kami tumpangi sudah tiba di lokasi yang kami tuju. Ramai. Begitulah suasana Pulau Cambang-cambang hari itu. Di dermaga sudah banyak wisatawan lain yang tengah sibuk lalu-lalang untuk mengangkut dan mempersiapkan barangnya untuk segera menikmati suasana pulau.
Hal yang pertama kami lakukan usai tiba di dermaga adalah segera mencari tempat yang nyaman untuk kami tempati di pulau itu. Di sana memang sudah banyak tersedia gazebo yang secara khusus disediakan bagi wisatawan.
Siapa cepat, dia yang dapat. Sepertinya, begitulah “hukum” yang berlaku di sana jika ingin menempati salah satu gazebo di sana. Maklum, belum ada peraturan khusus bagi wisatawan untuk menggunakan fasilitas tersebut, dengan menyewa, misalnya. Kami sendiri memilih salah satu gazebo yang berada di tepipulau. Itupun sesaat pengguna sebelumnya baru saja berberes dan meninggalkan tempat tersebut.


Pulau Cambang-cambang saat ini tengah memasuki tahap revitalisasi. Destinasi wisata di kabupaten ini digadang-gadang bakal menjadi salah satu kawasan wisata terbesar di Pangkep, bahkan Sulawesi Selatan. Master plan Pulau Cambang-cambang yang sudah tersebar di internet pun menampilkan betapa megahnya dan banyaknya fasilitas menarik yang bakal disuguhkan di tempat ini nantinya.
Penginapan di Pulau Cambang-cambang pun bisa digunakan secara bebas oleh pengunjung. Tempat yang diperuntukkan bagi para wisatawan ini belum dikomersilkan pemerintah setempat alias masih gratis. “Asalkan melapor dan meminta izin dulu sebelumnya ke petugas yang berjaga di pulau”. Begitu salah satu kata pria paruh baya yang menjajakan air tawar ke pengunjung untuk dipakai mandi usai berenang atau konsumsi air minum.
VILLA. Fasilitas penginapan (villa) yang disediakan di PulauCambang-cambang belum dikomersilkan pemerintah daerah setempat. Pengunjung (wisatawan) boleh menikmati fasilitas tersebut asalkan sebelumnya melapor ke petugas yang berjaga di pulau itu.
Setiap pengunjung punya caranya masing-masing menikmati Pulau Cambang-cambang. Ada yang menggelar lomba karaoke kecil-kecilan bersama keluarganya, berenang, atau hanya sekadar duduk memanfaatkan nikmat dan anugerah Tuhan yang dititipkan di pulau itu. Yang paling penting adalah bisa menikmati ikan bakar yang kami beli sebelum berangkat ke pulau. Semua serba sederhana namun terasa luar biasa.
Belum selesai juga berenang-renang atau sekadar bermain air usai menyantap ikan bakar, hujan akhirnya mengguyur Pulau Cambang-cambang. Bukannya berteduh, kami malah lanjut bermain bola. Apalagi lapangan dan gawangnya sudah tersedia di sana. Setelah membeli bola plastik, permainan pun dimulai. Hujan turun cukup lama, tapi kami baru berhenti setelah hujan reda. Lelah memang, tapi menyenangkan.
Hari sudah sore, kapal yang kami tumpangi sudah bersandar kembali di dermaga. Bersiap mengantar kami pulang. Namun, beberapa dari kami memutuskan menetap. Ingin merasakan bermalam di PulauCambang-cambang.Tenda dan beberapa peralatan penunjang memang sudah disiapkan. Ada lima orang dari kami yang memutuskan menginap di sana.
NIKMAT. Makan siang di Pulau Cambang-cambang dengan menyantap ikan bakar yang sebelumnya dibeli di pelabuhan Maccini Baji.
Kami mendirikan tenda tidak jauh dari gazebo yang kami tempati sebelumnya. Tepatnya di bawah lampu penerangan yang ada di sana. Kami juga bersegera membeli beberapa persediaan makan malam di salah satu toko yang tersedia. Pasalnya, toko yang ada di Pulau Cambang-cambang bakal tutup dan pemiliknya pulang ke seberang pulau.

Bisa dibilang, Pulau Cambang-cambang malam itu, serasa milik kami berlima. Sepi. Hanya desir dan deburan ombak yang menemani kami yang tengah asyik bermain kartu remi. Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan malam itu. Dinginnya udara membuat kami ngantuk dan bersegera tidur di dalam tenda dengan tujuan terbangun esok pagi untuk menikmati sunrise. (*)

Menunggu sunrise (matahari terbit) di Pulau Cambang-cambang.

Menikmati Panorama Alam Air Terjun Wae Sai

No Comments »

Perjalanan pulang dari Soppeng ke Makassar sepertinya bakal merugikan jika tidak singgah ke tempat wisata. Lelah menjalankan tugas kantor seharian, sepertinya pas untuk menikmati keindahan alam di salah satu destinasi yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.


Begitulah kira-kira pemikiran yang terlintas di dalam benak saya usai menjalankan tugas peliputan kantor di daerah berjuluk “Kota Kalong”. Kabupaten Soppeng. Dalam perjalanan pulang ke Makassar, saya dan seorang teman yang berboncengan motor memutuskan untuk pergi ke salah satu tempat wisata di kabupaten Barru. Air terjun Wae Sai, namanya. “Hitung-hitung itu menyegarkan diri dan menghilangkan stres usai bekerja,” pikirku. Sore itu, Selasa, 9 Juni lalu, kami berdua memutuskan pergi ke sana.
Destinasi wisata ini saya tahu, setelah sebelumnya memeroleh sedikit informasi di salah satu grup pejalan di media sosial bernama Makassar Backpacker. Sebuah grup di facebook. Baik saya maupun teman, sama-sama tidak pernah mengunjungi tempat itu. Namun air terjun Wae Sai terdengar begitu menarik untuk tidak dilewatkan. Apalagi, perjalanan pulang ke Makassar, melewati jalur menuju lokasi air terjun tersebut.

Pemandangan desa Libureng. Daerah di mana lokasi air terjun Wae Sai berada didukung pemandangan alam yang indah dan udara yang sejuk serta bersih.

Jujur saja, Saya kurang ahli memberikan petunjuk penjelasan mengenai lokasi keberadaan air terjun Wae Sai. Untuk bisa tiba di air terjun yang berjarak 40 km dari Kota Barru ini, perlu menempuh jalur pegunungan menuju Kabupaten Soppeng. Tapi berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah satu orang yang pernah ke air terjun Wae Sai menjelaskannya di grup FB Makassar Backpacker seperti ini;

Ikuti jalur trans Sulawesi sampai ketemu kota Barru di perempatan pertama. Dapat tugu adipura, belok kanan. Ikuti jalur itu sepanjang kurang lebih 20 km. Sebelum tanjakan ke Buludua, ada percabangan ke kanan. Ada plang (papan informasi, red) masuk ke lokasi air terjun sebelah kanan. Dari sini jalan mulai menanjak sampai sekitar 5-7 km. Ikuti jalan terus yang berganti dari aspal ke beton dan jalan berbatu. Sepanjang jalur ini kita disuguhkan pemandangan yang “wuiihh!”
Di ujung jalan, ada rumah sebelah kanan berwarna kuning. Nah, kendaraan bisa diparkir sekitar area situ. Trip dilanjutkan dengan jalan kaki melintasi sawah dan bamboo kurang lebih 10 menit. Setelah melewati sawah hutan bamboo akan tampak dua bangunan peristirahatan yang sudah tidak terurus.
Kita bisa menikmati indahnya air terjun Waisae dari sini atau turun menikmati hempasan airnya atau mencelupkan badan di area air terjun. Tergantung cara kita bermain,, main main main,, huraaa!


Informasi itulah kemudian yang saya jadikan petunjuk dan menjadi tertarik menuju tempat tersebut. Namun, petunjuk yang saya sadur dari grup Makassar Backpacker tersebut ternyata tidak semudah membacanya. Yah, perjalanan memasuki kawasan air terjun Wae Sai masih jauh.
“Masih ada sekitar 4-5 km masuk itu.” Begitu kata salah seorang perempuan paruh baya di sana yang kami temui saat hendak memarkir motor di salah satu rumah warga. Dikarenakan ada perbaikan jalan, motor harus diparkir dan mengharuskan kami berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan.
Usai melalui jalan yang menanjak dan berbatu, kami pun sudah memasuki sebuah daerah yang kelihatannya minim pemukiman warga. Di daerah di mana air terjun Wae Sai terletak. Tepatnya, di desa Libureng, kelurahan Lamporiaja, kecamatan Tanete Riaja di Kabupaten Barru. Namun, lokasi yang hendak kami tuju ini benar-benar masih jauh.

ANTAR. Akses jalan untuk melihat air terjun Wae Sai lebih dekat, sempat membuat bingung. Jadinya, salah seorang warga berbaik hati mengantar kami menuju jalan yang tepat.
Perkataan perempuan yang kami temui tadi, yang mengaku lokasi air terjun Wae Sai masih jauh itu terbayang-bayang di kepala. Sempat ada rasa putus asa untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kami khawatir, malam akan tiba saat kami baru saja berada di lokasi itu nanti. Namun, rasa penasaran akan air terjun yang belum kami kunjungi sebelumnya mengalahkan niat untuk menghentikan perjalanan. Jadilah kami terus berjalan melewati jalan yang baru dibeton beberapa ratus meter, kemudian jalan berbatu di sepanjang jalan setelahnya.
Saya pikir, perjalanan panjang yang ditempuh dengan jalan kaki tidak ada ruginya juga. Selama perjalanan, kami disuguhi keindahan alam yang masih natural di desa itu. Hijau dari sawah dan pepohonan, awan putih, serta langit yang masih cerah membiru menaungi kami.

TEDUH. Suasana sore itu cerah tapi tak panas, namun meneduhkan.
Di tempat ini, jika kota nyaris jadi neraka, maka di desa ini boleh dikata nyaris jadi surga. Tak ada gedung-gedung tinggi yang berani mencakar langit, yang ada cuma gunung dan pepohonan yang menjulang tinggi melengkapi cerahnya pemandangan langit.
Selang berjalan cukup lama, pemandangan air terjun yang ingin kami kunjungi mulai terlihat dari kejauhan. Diapit oleh dua tebing tinggi. Menemukan air terjun Wae Sai benar-benar tidak mudah bagi saya dan teman. Niat menuju air terjun dan melihat lebih dekat, cukup membuat kami bingung. Entah berapa kali kami menjalani jembatan gantung yang ada di sana, dan melewati jalan menanjak yang sama untuk melihat puncak air terjun Wae Sai dari dekat.

KUDA. Meski tidak sedang berkunjung ke kebun binatang, menemui dan memotret seekor kuda juga menjadi kesenangan tersendiri.
Di tengah kebingungan, ada salah satu warga yang kebetulan melewati kami. Setelah bertanya padanya, ia mengantar kami sebentar meski tak sampai di lokasi. Tak lama berjalan, kami pun akhirnya bisa menemukan dan sampai ke tempat yang kami mau. Yeah! Melihat air terjun Wae Sai dari dekat. Menikmati dan mencintai alam ciptaan Tuhan begitu lekat. (*)

AIR TERJUN WAE SAI. Ketinggian air terjun ini mencapai puluhan meter. Akses menuju lokasi harus ditempuh berjalan kaki sekitar 20 menit ke titik air terjun.
MENGALIR. Air terjun Wae Sai berasal dari sungai Waruwue yang letaknya berada di dusun Wae Sai. Tak heran jika air terjun ini juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi warga.