Archive for Juli 2016

Terpukau Keindahan Lembah Lowe

3 Comments »

Edisi Menelusuri Keindahan Kaki Gunung Bawakaraeng (Bagian - 2)

Cahaya matahari masih muda. Teman di luar tenda yang sudah bangun lebih dulu lantas meneriaki kami yang masih betah tidur merawat gigil di tubuh. Perjalanan masih berlanjut.


“Bangun...bangun...bangun! Sudah pagi. Ayo jalan,” begitu teriak seorang lelaki yang akrab disapa Bang Jack. Beberapa kali teriakan itu menggema di telinga. Saya terbangun, mencari telepon genggam dan melihat waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Sepagi ini, saya dan termasuk teman-teman seperjalanan lain sudah harus siap-siap untuk melanjutkan perjalanan kami ke tempat menarik lainnya.

“Ayo, bangun mi siap-siap pergi ke Lembah Lowe,” Bang Jack kembali mengimbau kami untuk bersegera bangkit dari tidur yang cuma beberapa jam saja. Perjalanan malam menuju Danau Tanralili cukup menguras tenaga. Lalu, pagi ini kami sudah mesti melanjutkan perjalanan yang memang sudah kami rencanakan sebelumnya: menuju Lembah Lowe.

Sayup-sayup di luar tenda sudah ramai terdengar orang berbincang-bincang. Rombongan kami yang berjumlah 10 orang sebagian sudah bangun dan sudah ada yang gesit menyiapkan sarapan. Membiarkan asap kopi mengepul di cangkir gelas dan menikmati bakwan yang digoreng oleh istri Bang Jack: Kak Alam, begitu namanya kami sapa.

Bang Jack beserta istrinya memang menjadi orang yang pertama kali merencanakan perjalanan ke kaki gunung Bawakareng. Selain mengunjungi Danau Tanralili, sepasang suami-istri ini juga yang menjadi “pelopor” perjalanan menuju keindahan tersembunyi di Lembah Lowe. Bang Jack sendiri menjadi leader dalam perjalanan karena lebih mengenal lokasi tersebut dibanding kami yang lain.

Menikmati secangkir kopi dan makanan ringan serta bakwan yang digoreng Kak Alam menjadi hidangan sarapan kami sebelum berangkat. Persiapan yang kami lakukan pun tidak serepot saat berangkat ke Danau Tanralili. Menuju Lembah Lowe kami sekadar mempersiapkan barang-barang seadanya yang diperlukan saja, semisal kamera untuk foto, begitupun makan dan minum selama perjalanan. Tenda dan beberapa peralatan pendakian lainnya sengaja kami simpan di dalam tenda biar barang bawaan tidak berat.

Dari Danau Tanralili menuju Lembah Lowe, kata Bang Jack, akan memakan waktu paling lambat dua jam perjalanan. “Itupun kalau jalannya santai,” sambungnya. Di sekitar Danau Tanralili, orang-orang di tendanya masing-masing masih menikmati sarapannya. Menikmati bincang-bincang pagi mereka, lalu kami yang bersegera menuju tempat yang oleh Bang Jack sebut “surga” tersembunyi lainnya di kaki Gunung Bawakaraeng.



Lembah Hijau

Lokasi Danau Tanralili berada di ketinggian 1.454 mdpl. Dari sini, perjalanan kami tentu bakal cukup panjang. Daerah yang bakal kami tuju bakal berada di ketinggian cukup jauh dari lokasi pemberangkatan kami. Menemui jalan tanjakan adalah hal yang pasti kami lalui.

Belum juga menapakkan kaki begitu jauh, kami sudah harus harus jalan mendaki. Baru saja menyeberangi sungai di dekat Danau Tanralili, kami harus siap menapaki jalan tanjakan nan licin. Tidak ingin memaksakan diri, kadang-kadang belum juga lama berjalan, kami harus berhenti sebentar karena kewalahan di perjalanan awal itu.

Meski lelah, kami senantiasa memotivasi diri sendiri: awal perjalanan yang berat akan berakhir dengan tempat tujuan yang indah. Yah, Lembah Lowe memang disebut-sebut sebagai keindahan tersembunyi di sini. Pesona Gunung Bawakaraeng tidak hanya sebatas keindahan puncak, lekukan gunung yang menarik dan pepohonan hijau yang tumbuh subur. Di kaki gunungnya saja, sudah banyak menawarkan destinasi wisata yang membuat para pejalan (wisatawan) tak betah tinggal di rumah. Lembah Lowe, salah satunya.

Lembah Lowe adalah sebuah lembah tersembunyi dan jarang terekspose, terletak di Gowa Sulawesi Selatan. Wisata alam ini sebenarnya berada di himpitan dua gunung yakni Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang. Karena belum begitu jelasnya jalur pendakian menuju Lembah Lowe, maka disarankan untuk tidak melakukan perjalanan malam dan dianjurkan untuk didampingi oleh pemandu yang telah mengenal medan ini.

Belum juga sampai di lokasi yang dituju, mata kami beberapa kali dimanjakan dengan pemandangan indah. Momen untuk berfoto tentu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Lembah hijau yang luas. Saya kira mirip lapangan sepak bola, hanya saja lebih luas dan indah karena dikelilingi deretan gunung. Selain Danau Tanralili, kami juga melewati setidaknya dua danau lagi (yang entah namanya apa) menuju Lembah Lowe.


Lupa Peralatan

Tak perlu khawatir kekurangan air minum. Di daerah pegunungan, terlebih dalam perjalanan menuju Lembah Lowe, sungai yang jernih menjadi sumber air yang mampu melegakan dahaga dari lelah  selama menempuh perjalanan. Tinggal mengisi botol yang kosong, lalu rasakan kesegaran air sungai di pegunungan yang dinginnya alami dibanding lemari es yang ada di rumah.

“Sudah dekat mi ini. Ayo jalan lagi,” Bang Jack beberapa kali mengimbau untuk tidak terlalu lama beristirahat. Imbauannya itu sebenarnya lebih kepada memberi kami semangat agar terus melangkahkan kaki. Lembah Lowe memang sudah dekat, tapi kalimat itu sudah beberapa kali disampaikan Bang Jack meski sebenarnya yang kami rasakan masih cukup jauh. “Berapa lagi jauhnya, Bang?” tanya saya dalam hati.

Saya baru yakin dan percaya kalau Lembah Lowe memang sudah tidak jauh lagi sejak lokasi yang kami tuju itu sudah berada di depan mata. Perasaan senang menyeruak di dalam dada. Rasa bahagia mengalahkan lelah di tubuh kami.

Lembah lowe, lembah hijau yang dipenuhi rerumputan, sepaket dengan aliran sungai dan pepohonan yang mengelilinya menjadi tempat istirahat paling pas. Sepi dan damai rasanya. Hanya kami yang berada di lembah hijau nan luas ini.

“Keluarkan makanan. Ayo memasak. Lapar!” ucap salah seorang teman saat tiba di sebuah pohon dekat sungai untuk beristirahat. Namun, kekecewaan segera saja menyelimuti kami semua. Peralatan masak tertinggal di dalam tenda di Danau Tanralili. Sekali lagi, kami memeriksa tas masing-masing. Memang tak ada yang membawa barang tersebut. Jadilah kami hanya menikmati makanan ringan yang kami dan sisa bakwan yang digoreng Kak Alam pagi tadi di Danau Tanralili.


Di Lembah Lowe, kami menertawakan kealpaan masing-masing. Tak ada yang mengecek. Tidak ada yang saling mengingatkan kalau peralatan masak seharusnya tak luput dari tas bawaan kami. Mau bagaimana lagi, Lembah Lowe sudah terlanjur membuat kami terpesona. Segala hal yang membuat lelah dan kecewa tidak menjadi alasan bagi kami untuk tidak berlama-lama menikmati keindahan Lembah Lowe. (*)


Menyapa Pagi di Danau Tanralili

No Comments »

Edisi Menelusuri Keindahan Kaki Gunung Bawakaraeng (Bagian - 1)

Pagi hari di Danau Tanralili, udara cukup membuat tubuh menggigil. Sleeping bag (kantong tidur) seakan tak cukup menghindarkan diri dari suhu dingin. Dari luar tenda, terdengar beberapa percakapan tentang pagi dan juga teriakan mencari secangkir kopi.


Mata enggan tertutup lagi. Suhu dingin tak cukup ampuh membuat saya betah di dalam kantong tidur. Cahaya matahari masih muda. Belum begitu terik, tapi cukup sebagai penanda dari dalam tenda kalau pagi telah tiba. Saya beranjak keluar, bangun dari lelap usai mengistirahatkan lelah dari perjalanan malam hari yang menguras tenaga.

Saya bukan orang pertama yang bangun pagi hari itu. Beberapa orang sudah lebih dulu beranjak dari tendanya masing-masing. Bahkan, banyak di antaranya yang sudah membuka pagi dengan percakapan, memainkan musik, menyiapkan sarapan, dan memasak air panas untuk menyeduh teh maupun kopi.

Di tempat saya sendiri memasang tenda, teman rombongan yang melakukan perjalan bersama ke tempat ini pun juga mulai melakukan hal yang sama. Menikmati pagi di Danau Tanralili terlalu singkat jika hanya menikmati air putih dan sepotong roti.

Pagi yang indah. Segelas teh dan juga kopi mengawali aktivitas kami di tempat ini. Kami mengisinya dengan perbincangan tentang rencana perjalanan selepas sarapan nanti. Tapi, pengalaman melakukan perjalanan untuk sampai mendirikan tenda beristirahat di Danau Tanralili tak luput dari pembicaraan kami.


Waspada! Jalur Terjal

Perjalanan menuju Danau Tanralili memang tak mudah. Letaknya di daerah pegunungan, tepatnya di kaki Gunung Bawakaraeng. Meski sebutannya di “kaki gunung”, bukan berarti kita tidak melakukan pendakian. Beberapa trek agak curam dan terjal. Perlu kehati-hatian dan kewaspadaan mencari pijakan kaki yang pas. Salah-salah menginjak batu dan tanah yang licin, bisa-bisa kaki terpleset.

Akan tetapi, sulitnya trek menuju Danau Tanralili serta-merta tak membuat para pengunjung melewatkan “surga” di kaki Gunung Bawakaraeng. Beberapa pendaki bahkan ada yang menyebut; Danau Tanralili di kaki Gunung Bawakaraeng adalah “Ranu Kumbolo”-nya Gunung Semeru, tapi versi Kabupaten Gowa, Sulsel. Entahlah, saya sendiri belum pernah berkunjung ke Jawa Timur di mana Danau Ranu Kumbolo berada.

Sejak keindahan lokasi wisata alam ini mulai terekspos ke masyarakat luas berkat bantuan internet dan media sosial, orang-orang mulai tertarik ke tempat yang berlokasi di Desa Lengkese, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini. Jika dari Makassar menuju Malino, menghabiskan waktu kurang lebih 2-3 jam perjalanan hingga tiba di Desa Lengkese.

Di desa inilah, para pendaki yang hendak ke Danau Tanralili memarkir kendaraannya di rumah warga yang memang menyediakan lahan parkir. Di Desa Lengkese merupakan tempat para pengunjung melakukan registrasi (pendaftaran). Biaya masuk pendakian dikenakan tarif Rp2.000 per orang. Di tempat ini pula, barang-barang bawaan pengunjung yang berpotensi menjadi sampah akan dicatat untuk kembali diperiksa sepulang pendakian.

Saya bersama teman rombongan lain yang berjumlah delapan orang juga melakukan alur registrasi yang sama. Sebelumnya, kami sudah bersepakat akan melakukan pendakian pada malam hari. Beberapa teman di antara rombongan kami berujar, melakukan pendakian di malam hari lebih dinikmati dan tidak begitu menguras tenaga ketimbang pagi hari. Salah satu alasannya, katanya, trek perjalanan yang terjal itu tidak mengganggu psikologis diri (khawatir atau mungkin ketakutan) selama melakukan pendakian.

Lelah dan rasa haus beberapa kali membuat kami harus singgah. Ada beberapa tanjakan yang memang cukup tinggi dan sulit dicapai. Menguras tenaga–dan tentu saja juga pikiran–karena  tetap saja rasa khawatir itu muncul. Di beberapa rute perjalanan memang bisa membuat kita rawan jatuh ke dalam jurang jika tak hati-hati. Tanah di sini rawan mengundang longsor. Beberapa petugas yang bertanggung jawab terhadap Danau Tanralili bahkan memagari beberapa lokasi jalan yang dianggap rawan bagi para pendaki.


Mendirikan Tenda

Ada sekitar dua jam waktu yang kami habiskan dari tempat registrasi di Desa Lengkese dengan berjalan hingga akhirnya tiba di Danau Tanralili. Saya menyempatkan diri melihat telepon genggam dan melihat waktu menunjukkan pukul setengah 12 malam. Sebelum mencari tempat mendirikan tenda, kami menunggu teman yang ketinggalan.

Tak mudah mencari lokasi tempat kami menginap di sini. Apalagi sudah tengah malam. Beberapa pendaki yang lebih dulu tiba di lokasi ini, sudah mendirikan tendanya di tempat terbaik untuk beristirahat. Kami agak bingung juga rasanya. Segera ingin mengistirahatkan lelah, tapi masih mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tak mau berlama-lama, kami akhirnya menetapkan tempat. Beberapa meter dari Danau Tanralili. Kontur tanahnya memang tidak rata dan sedikit berbatu. Tak mau ambil pusing, tenda akhirnya didirikan.

Tidak luput, bahan makanan dan peralatan masak-memasak juga segera dikeluarkan dari tas. Lapar menjalar di perut kami sedari tadi. Teman dalam rombongan kami yang berstatus suami-istri sengaja menyiapkan makanan yang istimewa. Ada ayam yang bersiap digoreng, sayur-sayuran yang bakal dibuat bakwan, dan atau ditumis, serta beberapa penganan kue sebagai pengganjal perut sebelum menyantap makan malam kami yang sudah kelewatan waktunya.

Begitulah kami melewatkan perjalanan malam menuju Danau Tanralili. Makan malam telah tandas, usai dengan sabar merawat lapar selama perjalanan melelahkan. Tidak ada yang lebih nikmat selain melewati malam dengan menyeduh secangkir kopi sambil menikmati dinginnya malam Danau Tanralili.

Di tempat ini, malam terasa panjang. Rombongan kami baru mulai beristirahat menjelang subuh. Kondisi Danau Tanralili yang tak pernah hening dari keramaian dan perbincangan para pendaki lain saat itu, membuat saya salah mengira pagi nyatanya hampir menyapa kembali. Tubuh juga butuh istirahat. Rencana perjalanan di pagi hari masih akan berlanjut.

Meski tersisa beberapa jam lagi hingga pagi tiba, tidur menjadi salah satu agenda penting untuk memulai aktivitas baru. Agenda perjalanan pagi hari akan jauh lebih seru tentunya. Selain menikmati Danau Tanralili, rombongan kami berencana mengunjungi “surga” di kaki Gunung Bawakaraeng yang lain. Lembah Lowe, namanya. (*)



Melepas Penat di Air Terjun Pelangi

No Comments »

Kabupaten Gowa boleh dibilang surganya wisata air terjun. Entah sudah ada berapa air terjun yang di sana. Tapi yang jelas semuanya indah dan menarik minat pengunjung. Melalui Air Terjun Pelangi, daerah Gowa ini lagi-lagi menunjukkan pesonanya.


Berwisata sudah menjadi tren. Bahkan seolah berubah menjadi life style anak muda atau bersama keluarga. Melakukan perjalanan mencari, menemukan, dan menikmati keindahan alam seakan kebutuhan; beristirahat dari kepenatan pekerjaan nyaris seminggu atau mencoba menghibur diri sendiri.

Air Terjun Pelangi bukanlah pilihan terburuk untuk mengentaskan stres yang anda alami. Destinasi wisata di Kabupaten Gowa ini menawarkan pemandangan alam yang masih asri dan alami. Wajar saja, lokasi ini baru dibuka dan diperkenalkan sekitar sebulan yang lalu. Destinasi wisata ini terletak di Desa Jonjo, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa. Jika dari Makassar, jarak tempuh menuju lokasi ini sekitar 60 km atau sekitar 2 jam dengan berkendara motor atau mobil.

Setiba di Desa Jonjo, sebelum memasuki daerah Air Terjun Pelangi, kendaraan harus diparkir di pekarangan rumah yang dimanfaatkan warga. Biaya parkir sebesar Rp3.000. Itu belum termasuk biaya karcis masuk Rp5.000.

Meski tergolong destinasi wisata baru, akses jalan menuju Air Terjun Pelangi sudah agak baik. Berkat swakelola warga desa di sana. “Biasanya kan yang dikeluhkan pengunjung itu kalau ke tempat (wisata) baru jalan masuknya yang susah, makanya itu dulu yang kita perbaiki,” tutur salah seorang warga yang ditemui di sana.

Nama ‘pelangi’ untuk air terjun ini sendiri, menurut penuturan salah seorang warga asli di sana, sengaja diambil untuk menarik minat perhatian warga. Bisa jadi, keindahan pelangi juga menjadi representasi tempat wisata ini. “Sebenarnya biasa ada juga muncul pelangi di sekitar air terjun itu, makanya dinamakan Air Terjun Pelangi,” tuturnya.

Bahkan, pondok-pondok bambu tempat warga berjualan dan sebagai tempat peristirahatan pengunjung telah dibangun. Sesampai di sini, pondok sederhana sebagai tempat peristirahatan itu disewakan Rp20.000 setiap petaknya. Pun disediakan ban karet untuk berenang bagi dengan harga sewa Rp10.000.

Bagi anda yang ingin berenang diharapkan tetap hati-hati. Sebab ke dalaman air di dekat air terjun mencapai 6-7 meter. Papan peringatan di sekitar air terjun sengaja dipasang untuk mengingatkan warga maupun para wisatawan. (*)

Di lokasi Air Terjun Pelangi, sudah banyak berdiri kios/warung sederhana dan juga gazebo bagi para pengunjung yang ingin beristirihat.
Seusai makan siang, beristirahat dan menikmati aliran sungai yang berada di sekitar Air Terjun Pelangi.

TNI Jadi Pejuang Literasi

No Comments »

Siapa bilang TNI hanya sekadar berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa dengan senjata api di daerah konflik? Di Kabupaten Sinjai, TNI Angkatan Darat juga bisa menjadi pejuang literasi: membawa buku, menebar ilmu.
Salah satu kendaraan Babinsa Koramil 1424-01/Sinjai yang dijadikan perpustakaan keliling. (*FOTO: Kiriman Kasdim 1424/Sinjai)
Motor dinas yang dijadikan kendaraan operasional TNI Angkatan Darat dimodifikasi sedemikian rupa. Motor berbalut cat hijau tua itu diberi tambahan rak mini di bagian jok belakang. Rak itu berisi buku-buku yang akan dibawa berkeliling di wilayah terpencil.

Adalah Kodim 1424/Sinjai. Melalui Bintara Pembina Desa (Babinsa) Koramil 1424/Sinjai, motor yang disulap jadi perpustakaan keliling itu berkeliling di tiap kecamatan Kabupaten Sinjai. Menebarkan “virus” literasi.

Budaya literasi memang menjadi agenda penting dalam membangun peradaban bangsa, khusunya bagi para generasi muda. Hal ini jugalah yang kemudian memotivasi TNI untuk ikut terjun langsung di lingkungan masyarakat menyediakan bahan bacaan bagi anak-anak yang belum memiliki perpustakaan di daerahnya. “Program ini sebenarnya program Kodam VII/Wirabuana. Bukan hanya di Sinjai saja, di beberapa kodim di Sulsel juga sudah mulai menjalankan perpustakaan keliling ini,” tutur Kepala Staf Kodim 1424/Sinjai, Mayor Infanteri Mansur saat diwawancara via selulernya, Selasa (19/7) lalu.

Dituturkan Mansur, perpustakaan keliling oleh Kodim 1424/Sinjai ini sudah berjalan sejak 14 Juli lalu. Setidaknya, masing-masing koramil memiliki satu motor yang dijadikan perpustakaan keliling. “Motor yang jalan untuk sementara ini ada enam. Masing-masing koramil 1 motor. Ke depannya, kita harap semua Babinsa sudah harus punya,” ungkapnya.

Perpustakaan Babinsa Kodim 1424/Sinjai ini beraktivitas tiap hari. Kunjungannya memang diutamakan ke wilayah-wilayah terpencil. Hal itu melihat di daerah terpencil belum banyak buku bacaan yang menjangkau anak-anak di sana.

“Kita juga jalan di sekolah. Tapi fokus di wilayah terpencil. Masyarakat kita tentu butuh ilmu pengetahuan, namun buku-buku bacaan seringkali tak menjangkau wilayah terpencil,” beber Mansur. “Makanya, kita membantu membawakan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat.

Setidaknya ada puluhan judul buku dalam satu motor yang dibawa dengan genre yang berbeda pula. Tidak hanya anak-anak, orang tua pun diharapkan bisa terbantu dengan gerakan ini. Bagi masyarakat yang berprofesi sebagai petani, misalnya, juga disediakan buku tentang pertanian ataukah perkebunan. Pun buku tentang pengetahuan agama. Untuk bantuan buku-bukunya sendiri, Kodim 1424/Sinjai bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sinjai, Perpustakaan Daerah, dan Kemenag Sinjai.

Perpustakaan keliling ini, lanjut Mansur, juga punya misi mengalihkan perhatian anak-anak dari dunia game di smartphone. “Sekarang inikan banyak game yang membuat anak-anak tergiur. Makanya dengan program ini kita berusaha untuk mengalihkan perhatian anak-anak dengan menjalankan program perpustakaan keliling. Membaca lebih baik daripada hanya bermain game. Dengan membaca, waktu tidak terbuang sia-sia,” terangnya.
Kehadiran perpustakaan keliling oleh Babinsa Kodim 1424/Sinjai inipun disambut baik. Animo masyarakat, khususnya anak-anak cukup tinggi. “Anak-anak senang. Selama inikan anak-anak mungkin lihatnya yang pakai motor di daerahnya barangkali cuma tukang bakso. Nah, sekarang ini buku. Masyarakat senang, termasuk orang tua. Dimana kita lihat tempat keramaian. Di situ kita akan singgah,” terang Mansur.

“Harapan kami mudah-mudahan adik-adik di sekolah bisa giat dan termotivasi belajar, serta masyarakat terbantu dengan adanya Babinsa yang melaksanakan perpustakaan keliling. Sehingga bangsa ini tidak ada yang luput dari ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, bela negara, kebangsaan, dan ilmu yang lain,” tambahnya.
*FOTO: Kiriman Kasdim 1424/Sinjai
Fasilitas Internet

Tidak hanya menjalankan program perpustakaan keliling, dikatakan Mayor Infanteri Mansur, Kodim 1424/Sinjai dalam waktu dekat juga akan menyediakan jaringan internet bagi masyarakat di daerah terpencil. “Jadi kita juga akan jalan dengan membawa smartphone, misalnya, modem atau fasilitas Wi-Fi nantinya,” kata Mansur.
Dengan disediakannya fasilitas jaringan internet ini, masyarakat juga akan dibimbing untuk menjadi masyarakat cerdas dengan ber-internet secara sehat. Dibimbing menggunakan jaringan internet untuk berselencar di dunia maya: mencari dan menambah ilmu.

“Masyarakat akan dibimbing menggunakan internet, kemudian kita memberikan petunjuk untuk membuka website tentang bela negara. Jadi pengetahuan tentang bela negara bisa juga pahami,” pungkasnya. (*)

CERITA TENTANG RANTEMARIO (3)

No Comments »

Matahari baru saja terbenam. Tenggelam atas izin Allah SWT. Perjalanan dengan terpaksa dihentikan, tenda harus segera didirikan.

“Nginap di sini saja deh. Tidak bisa mka lanjut jalan,” keluh Akbar. Dia adalah salah satu teman mendaki ke Gunung Latimojong. Termasuk saya, ada satu lagi lelaki yang disapa Aan. Perjalanan kita mulai Minggu, 10 Juli lalu. “Besok pagi pi lagi baru lanjut jalan,” tambahnya sambil melakukan usaha mengurut kakinya yang sakit.

Sebelumnya, kami sudah berada selama semalam di Gunung Latimojong usai menggapai puncak Rantemario, Senin 11 Juli, siang. Kami menginap di Pos 5 untuk pergi ke puncak di pagi dimana matahari belum juga kelihatan di sana. Dalam perjalanan pulang  (turun gunung), Akbar tetiba tak bisa melanjutkan perjalanan. Langkah kakinya tertatih. Ia mengeluh langkahnya berat untuk dilanjutkan lagi.

Sejak turun gunung dari pos 5, saya memang sudah mulai melihat Akbar kesakitan. Saya yang berjalan membelakanginya acapkali mendengar ia kesakitan saat kakinya bertumpu. Bahkan sempat jatuh walaupun jalanan cenderung datar-datar saja. Tapi erangannya terdengar lebih besar dalam perjalanan yang berbatu dan menurun. “Aaakkk!” erang Akbar setiap kakinya bertumpu di tanah.

Beberapa kali, kami berdua yang berajalan di belakang Akbar menyarankan untuk beristirahat sebentar.  Tapi, ia kadang-kadang cenderung keras kepala, merasa sanggup dan ingin perjalanan dilanjutkan saja. Hingga tiba di Pos 4, sepertinya Akbar mulai putus asa. Lelah, haus, dan sakit kakinya adalah satu paket keputusasaan yang membuatnya berhenti melangkah.
Foto kaki Akbar
Tak Ada Air Minum

Perjalanan pulang (turun gunung) dari Pos 5 menuju Desa Karangan, kami bermaksud untuk singgah istirahat di Pos 2. Sejak tiba di Pos 4 saat Akbar mulai tak bisa menahan sakit di kakinya itu, Aan sempat menyarankan untuk melanjutkan perjalanan malam hari. “Besok pagi saja baru lanjut jalan,” kata Akbar. “Besok ini tidak sakit mi,” tambahnya lagi meyakinkan.

Saya melihat, Aan juga seakan gusar tiba di Pos 4 dengan rencana mendirikan tenda di sana. Saya juga berpikir begitu. Bukan apa-apa, persedian air yang kami bawa saat turun dari Pos 5 hanya sebotol saja. Kami benar-benar tak ada perencanaan dan persediaan. Tentu ada pikiran untuk ambil air ke Pos 2. Tapi perjalanan turun ke sana bukanlah perjalanan yang dekat dan bisa kembali lagi ke Pos 4 dalam waktu yang singkat. Duh!

Akbar sementara memijit kakinya yang sakit saat Aan mulai bersiap mengambil tenda di dalam tas untuk didirikan. Akbar mengeluh nyeri di paha. Tiap kali hendak melangkah, pun lututnya gemetar. Hal itulah yang membuatnya tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.

Saya membantu Aan mendirikan tenda. Di Pos 4, kami juga menemui beberapa pendaki yang lebih dulu mendirikan tenda. Setidaknya ada dua tenda. Mereka hendak baru naik ke puncak, tapi memilih menginap lebih dulu di Pos 4. Sepertinya, hujan pun akan turun. Flysheet (sejenis penutup tenda yang melindungi dari hujan) juga segera dipasang untuk melindungi tenda yang sudah berdiri dari hujan. “Masuk mi ke dalam istirahat, Akbar,” tutur Aan saat tenda sudah siap. Tidak lama setelah itu, kami berdua juga memutuskan masuk ke dalam tenda. Gerimis mulai turun.

Di dalam tenda, kami membagi persediaan air minum yang tersisa. Kami masih haus sebenarnya. Berbagi masing-masing seteguk air dari botol belumlah cukup. Kita juga enggan meminta persediaan air kepada pendaki lain. Kita merasa tidak enak meminta air kepada pendaki yang juga baru melakukan pendakian.

Dengan terpaksa, kami memutuskan tidur saja. Berharap waktu berlalu cepat, hingga matahari muncul membangunkan kami esoknya. Ini cukup sulit. Bukan hanya haus, makan malam juga harus tertunda karena tak ada air minum.

Saya sendiri belum bisa memaksakan kehendak untuk segera tidur. Barangkali waktu saat itu baru menunjukkan pukul 8 malam saat hujan deras akhirnya turun. Du aorang teman yang tidur di samping saya sepertinya sudah tidur. Tak banyak bergerak dan seakan teang-tenang saja.

Saya gusar. Resah di dalam tenda. Hujan memang tidak secara langsung membasahi kami. Tapi genangan air yang turun dan belum menyerap sempurna ke tanah seakan masuk melalui dasar tenda. Saya merasakan basah di kepala. Matras yang dipasang di dalam tenda hanya cukup untuk melapisi badan hingga paha saja. Tidak begitu basah, memang. Tapi cukup mengganggu.

Di tengah hujan masih deras, sayup-sayup saya mendengar suara aktivitas pendaki begitu dekat di tenda kami. Sepertinya mereka ikutan “numpang” berteduh di bawah flysheet yang memang cukup lebar bukan hanya untuk melindungi tenda kami. “Mungkin mereka tak punya flysheet untuk tendanya sendiri,” pikirku.

Saya sama sekali tak menegur mereka. Selama tak mengganggu, biarkan saja. Toh, mereka barangkali hanya kurang beruntung tak membawa peralatan (entah karena lupa atau sengaja) sehingga tak mengantisipasi cuaca, seperti datangnya hujan yang asik mengguyur malam itu.

Oh, matahari pagi...bisakah menyapa lebih cepat lagi?! Saya belum bisa tidur, tapi ingin segera melanjutkan perjalanan lagi. (*)

Kaki yang sakit membuat Akbar melangkah dengan tertatih. Jika perjalanan yang cukup sulit, kadang kami memasang tali webbing sebagai bantuan untuknya.

BUKU BULAN JUNI

No Comments »


Ini buku-buku bulan Juni. Sedikit saja, cuma enam buku. Tiga di antaranya saya beli pada awal Ramadan di toko buku. Lalu, tiga lainnya lagi belum lama ini mendarat dengan santai di rumah dari hasil menunggu kiriman pedagang buku daring (online). Tiga judul buku sudah dibaca.

Belum juga tuntas membaca buku-buku yang dibeli pada bulan Juni, tak dinyana bulan Juli sudah datang lagi. Pada bulan yang sebentar lagi mau lebaran ini, di mata saya buku-buku masih lebih "seksi" untuk dimiliki. Di kepala, baju dan celana baru bisa dipikir lain kali.

Situasi ini masih sama seperti tahun lalu. Menjelang lebaran, hasrat memiliki buku lebih tak tertahankan ketimbang membeli baju baru. Kebutuhan saya akan baju-celana dalam setahun memang masih bisa dihitung jari. Sungguh sangat berbeda dengan belanja buku yang jumlahnya cenderung melebihi hitungan jari tangan dan kaki.

Saya tak mengerti. Penyakit macam apa yang sedang menggerogoti tubuh saya yang fana ini. Tiap ke toko buku, "lapar-buku" seringkali tak tertahankan. Mesti dipenuhi, karena kalau tidak, bakal gelisah dan ada cenat-cenut di dada rasanya.

Dulu, pada suatu ketika saat berada di Gramedia, misalnya. Saya pernah menginginkan sebuah buku. Situasinya mirip saat jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seseorang. Kau melihatnya, memandangnya begitu lama, lalu tetiba timbul sejenis perasaan ingin memiliki dia selamanya.

Sebagaimana kamu, begitupun buku. Saya seolah ditakdirkan memiliki nasib serupa Sitti Nurbaya—yang kasihnya tak pernah sampai kepada Samsul Bahri oleh sebab ulah Datuk Maringgih sialan itu. Karena lupa membawa uang tunai dan kartu ATM, secara terpaksa hasrat memiliki buku itupun tak terpenuhi. Saya pulang membawa penyesalan. Sesampai di rumah masih bisa makan enak, tapi tidur tak pernah nyenyak. Hahaha!

Buku-buku memang masih lebih "seksi" untuk dikoleksi. Meskipun sebenarnya…buku nikah yang tertulis namamu bersamaku masih jauh lebih baik untuk dimiliki. Aih!

Pada akhirnya, Bulan Juli tak bisa menunggu untuk segera punya pacar baru. Eh, maksud saya…buku baru. (*)


*Catatan:

Catatan dari facebook  di awal bulan Juli lalu dan baru dipindahkan ke blog. He-he-he!

M U D I K

No Comments »


Saya beruntung masih diberi kesempatan untuk mudik. Di luar sana, masih banyak orang yang karena tuntutan pekerjaan belum bisa ketemu keluarga di kampung halaman.

Mereka (yang tak mudik) tentu tak selalu betah memelihara stres di kampung orang. Apalagi jika yang hidup di kota metropolutan. Segala hal tentang macet, keributan, debu-debu adalah satu paket kegelisahan yang memaksa tubuh menelan paracetamol.

Tapi mudik adalah obat. Kamu tak perlu menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk ke psikiater. Hanya untuk curhat dan sekadar berkonsultasi dalam rangka mengurangi beban hidup. Dengan pulang, menyambut senyuman orang tua adalah resep bahagia yang tak bakal kamu temukan di apotek.

Saya bersyukur masih bisa mudik. Saya berdoa kepada mereka yang tak sempat menciumi kening dan menyambut tangan kedua orang tuanya di rumah, agar selalu dan tetap bahagia. Jangan lupa ingatan!


*Catatan:
Ditulis sebelum berangkat menuju kampung halaman, Minggu, 3 Juli lalu. Pulang ke rumah orang tua!

KEPALAKU KEPADAMU

No Comments »

Aku mencintaimu
masih di tempat yang sama
dengan cara yang sama pula

Di kepalaku...

Aku mencintaimu
diam-diam

SA--Makassar (2016)

CERITA TENTANG RANTEMARIO (2)

No Comments »

Gunung Latimojong tidak hanya bercerita tentang puncak yang kau gapai. Di gunung tertinggi Pulau Sulawesi ini juga bakal kau temukan hamparan kebun kopi.


Namanya, Ibu Uni. Sebuah nama yang saya tahu setelah memberikan pertanyaan yang mudah dan tak berhadiah. "Boleh tahu namanya siapa, Bu?" Pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya. Ada jeda beberapa detik hingga ia merasa mantap menyebut namanya. "Uni," jawabnya seraya tersenyum.
Manusia berjenis kelamin perempuan ini tak lagi muda. Umurnya sekitar 40 tahun. Ibu Uni sendiri sepertinya lupa kapan tepatnya ia dilahirkan di dunia yang fana ini atas kerjasama yang apik kedua orang tuanya. Kata "sekitar" yang ia gunakan bisa jadi menunjukkan kalau ia merasa tak punya kesempatan menghitung selisih tahun sekarang dengan tahun kelahirannya.
Tapi umur tak jadi soal. Saya tak mempermasalahkannya. Kadang-kadang (berdasarkan pengalaman) wanita cenderung jadi sensitif terhadap pembahasan soal usia. Tentu saya tak ingin awal perkenalan saya dengan Ibu Uni jadi rumit hanya karena mempermasalahkan tak yakinnya ia dengan usianya sekarang.
Sebelum perkenalan itu, di suatu siang yang sedang mendung menjadi awal pertemuan saya dengan Ibu Uni. Saat memandangnya pertama kali, cinta itu tak muncul. Dan saya bersyukur akan hal itu. Hahaha!
Melihat aktivitas yang dilakukan Ibu Uni membuat langkah kaki saya terhenti. Perjalanan turun usai dari puncak Rantemario menjadi momen yang tepat untuk saya singgah sejenak melihat Ibu Uni mengeringkan biji kopi. Saat memulai melakukan pendakian, hamparan kebun kopi memang menjadi pemandangan menarik di awal perjalanan ke Gunung Latimojong.
Ibu Uni hanya salah satu dari sekian banyak orang yang bermatapencaharian sebagai petani kopi di Desa Karangan, Kecamatan Baraka, Enrekang. Bersama suaminya, ia sudah puluhan tahun aktif bergelut di dunia yang kini membesarkan nama torabika, nescafe, maupun kapal api di dunia per-kopi-an. Kalau kau tanya suami Ibu Uni kemana, percayalah...ia sedang memanen kopi di kebun. Saya sudah menanyakannya sendiri.
Dia dan suaminya berbagi tugas. Medan Gunung Latimojong yang cukup berat dengan jarak tempuh yang jauh dari kebun, membuat suaminya mengambil alih tugas memetik biji kopi. Ibu Uni sendiri kemudian yang akan memisahkan biji kopi dengan kulitnya menggunakan mesin tertentu, kemudian dikeringkan seperti yang ia lakukan siang itu. "Harus dikeringkan dulu sebelum dijual," tuturnya. Diketahui, setiap panen, Ibu Uni dan suaminya bisa mengumpulkan sekira 50 kg biji kopi.
Baru saja mau bertanya untuk hal lain, Ibu Uni tiba-tiba pergi. Masuk ke dalam gubuk kecilnya–tempat hunian sementara saat ke kebun. Saya seperti merasa diabaikan, ditinggal tanpa sebuah alasan. Hiks! Niat hati ingin ‘suudzon’ terhadap Ibu Uni, saya tetiba merasa bersalah sendiri. Tahu-tahu Ibu Uni sudah keluar dari gubuk membawa sebuah cerek dan gelas.
“Minum ki’ kopinya,” katanya sembari meletakkan cerek dan gelas di dekat saya duduk. Sejurus kemudian, beberapa biji markisa yang disimpan di atas piring menyusul. Markisa yang cukup banyak dan bisa kau hitung sendiri jumlahnya di foto itu. “Dingin kopinya itu,” sambung Ibu Uni segera sebelum saya mencobanya.
Slurrrppp! Benar kata Ibu Uni, kopinya dingin. Kopi tegukan pertama, pun rasanya seperti melihat diri sendiri. Terlalu manis! Hahaha Tapi saya tak protes. Saya tidak berada di sebuah kedai kopi yang bisa marah karena pesanan tidak sesuai harapan: harga tak sebanding rasa. “Markisanya hasil kebun sendiri, Bu?” Saya baru saja menyelesaikan kopi tegukan kedua saat mengajukan sebuah tanya. “Dijual juga?” lanjut saya.
“He-he-he...tidak dijual. Dimakan sendiri saja,” jawabnya. Kecuali kopi, sambung Ibu Uni, tentu dijual. Hasil panen kopi yang sudah dikeringkan itu, nantinya akan dijual ke pengepul dengan harga Rp13.000,-/liter. “Biasanya harganya Rp15.000. Tapi tidak tahu kenapa bisa turun harganya,” beber Ibu Uni.
* * *
Gerimis mulai turun. Saya mempercepat langkah hendak kembali ke desa. Perjalanan turun dari Pos 1 Gunung Latimojong ke tempat registrasi pendaki setidaknya berjarak 3 kilometer. Masih cukup jauh. Beban bawaan saya pun bertambah, namun tak begitu signifikan beratnya. Di dalam tas sudah ada beberapa biji markisa.
“Bawa semua mi itu markisanya,” begitu kata Ibu Uni sewaktu saya mau pamit. Sejak ditawari bersama teman kopi, saya memang belum makan markisa Ibu Uni di piring itu. Perbincangan bersamanya seperti tak membuat saya ingin makan, kecuali menenggak kopi buatan Ibu Uni. Dengan alasan isi tas tak muat lagi, saya hanya sempat membawa beberapa biji saja. Saya lupa berapa, tapi lebih dari dua. “Terima kasih, Bu. Mari...,” sebuah kalimat perpisahan yang sama sekali tak romantis.
Langit gelap dan gerimis masih berlangsung. Sekira 10 menit berlalu sudah pertemuan singkat dengan Ibu Uni. Sebenarnya masih ingin berbincang lama, tapi mendung yang memayungi langit Enrekang sejak tadi membuat saya menyudahi dan segera pamit untuk pergi.
Dalam perjalanan, saya jadi kepikiran Ibu Uni. Usahanya mengeringkan biji kopi belumlah rampung, tapi gerimis sudah turun membasahi tanah, pepohonan, dan barangkali juga biji-biji kopinya. Yang sabar, Ibu Uni. Mudah-mudahan harga jual kopi yang menurun, tak menghalangi peningkatkan taraf kebahagiaan Ibu Uni sekeluarga. Berbahagialah, para petani kopi Indonesia! (*)


CERITA TENTANG RANTEMARIO (1)

1 Comment »

Tak mudah untuk bisa menikmati segelas kopi di puncak tertinggi Pulau Sulawesi. Sebelum kenikmatan dalam kepahitan kopi dicecap, ada kelelahan yang mesti dijaga hingga puncak.


Saya tak ingin mengawali cerita ini dengan kalimat "suatu ketika" atau "pada suatu hari" yang sedang "once-upon-a-time". Saya tak mau mengarang cerita, karena apa yang saya tuliskan ini adalah sebuah kejadian nyata yang nama dan peristiwanya bukanlah kebetulan seperti sinetron di TV. Tapi saya tak mau menuliskannya terlalu panjang. Bukan karena khawatir tidak dibaca, namun lebih karena kemauan saya sendiri. Sesederhana itu! Jadi beginilah ceritanya...
Saya tiba di puncak Gunung Latimojong pada Senin, 11 Juli lalu. Sebuah hari yang membahagiakan untuk tersenyum di pegunungan—dimana bagi sebagian besar orang, Senin adalah hari yang menjengkelkan untuk memelihara kerutan di dahi. Maklum, pada hari itu, sudah banyak orang yang memulai kerja sehabis liburan hari raya. Sementara saya, masih betah berwisata dan berbahagia di sana.
Senin sementara siang saat saya dan dua kawan seperjalanan tiba di ketinggian 3.478 mdpl. Di atas sana, sudah ada banyak pendaki lain yang asik berfoto di tiang tranggulasi bertuliskan "Rantemario". Tunggu...saya mau ngos-ngosan dulu sebelum lanjut. Capek! Oke, sudah.
Saya duduk di sebuah batu. Penting?! Tentu saja, karena itu untuk duduk dan melepas lelah. Selain duduk, saya sibuk melihat telepon genggam dan kamera jenis DSLR sibuk berpindah tangan. Orang-orang saling bergantian merekam momen dirinya masing-masing. Dulu, kukira berfoto hanya terjadi di momen penting saat acara di pernikahan. Nyatanya, pun di pegunungan juga bisa. Dari selfie, wefie, hingga foto bareng, semua dilakukan sampai kartu memori tak sanggup lagi menyimpan wajah mereka.
Di puncak Gunung Latimojong saya juga berfoto. Itupun baru saya lakukan setelah pendaki lain nyaris menghabiskan satu buku gambar berukuran A3 untuk menuliskan titipan pesan dan ajakan kepada teman atau pasangannya untuk ke tempat dimana ia sedang berada.
"Kapan kamu ke sini?" dan atau "I Love You, Sayang!" adalah contoh kalimat mainstream yang mereka tuliskan, difoto, lalu akan dikirimkan kelak ketika sinyal internet sudah menjangkau smartphone. Manis sekali perbuatan mereka. Serasa ingin menirunya walau tanpa pengawasan orang tua. Namun, saat itu saya tak membawa kertas. Bukan karena lupa. Atau malu meminta kepada mereka. Hanya saja, dasarnya memang saya tak suka. Sesederhana itu (lagi)!
Singkat cerita, saya pun berfoto atas bantuan teman yang sabar dimintai tolong mencari sudut pandang gambar. Foto yang sekarang ini adalah salah satu dari sekian banyak foto yang telah diseleksi berdasarkan penglihatan mata dan perasaan hati. Halah! Foto yang menampilkan seorang saya yang sedang ngopi, sendiri, tanpa kekasih. Hahaha!
Tak mudah untuk bisa ngopi di puncak Rantemario. Segelas kopi yang diracik dari langkah kaki yang berat, napas yang tak beraturan, dan tanpa larutan gula. Kopi yang dinikmati dalam keadaan tak mandi selama dua malam. Namun, saya dan kawan seperjalanan tetap percaya, kita-nya dalam kondisi sehat dan tampan-tampan saja. Hahaha! Apakah foto membuktikan itu? (*)

Selamat Pagi, Gunung Bulusaraung!

No Comments »

Melakukan pendakian ke Gunung Bulusaraung dengan trek yang licin dan becek sungguh menantang. Mata harus tetap awas agar tidak terpeleset ketika kaki mengambil pijakan. Apalagi jika itu dilakukan di malam hari.

          Bendera Indonesia berkibar di puncak Gunung Bulusaraung.
Hujan baru saja mengguyur Desa Tompobulu, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep. Itu lokasi dimana perjalanan akhir pekan yang saya tuju. Tepatnya kembali melakukan pendakian ke Gunung Bulusaraung.
Melakukan perjalanan dengan mengendarai motor sendiri menuju lokasi sepertinya agak sedikit menyeramkan. Memutuskan untuk berangkat ke lokasi di malam hari memang di luar perkiraan. Sempat dilema karena teman akhirnya batal untuk ikut melakukan pendakian bersama, saya cukup lama berpikir hingga mantapkan hati untuk berangkat sendiri selama dua hari semalam, 16-17 Maret lalu.
Perjalanan bermotor malam hari di Desa Tompobulu Kecamatan Balocci, saya bilang cukup menantang dan sedikit menyeramkan. Jarak tempuh yang cukup jauh, jalan yang rusak, berkelok-kelok dan mendaki cukup menguras tenaga karena harus tetap waspada memerhatikan jalan tanpa lamu penerangan. Apalagi, ternyata hanya sedikit sekali pengendara yang kutemui berpapasan di jalan.
Ada sekitar waktu dua jam perjalanan dari Makassar hingga akhirnya saya tiba di basecamp sebelum melakukan pendakian ke Gunung Bulusaraung. Saya bersyukur, perjalanan panjang, menantang, dan agak menyeramkan itu bisa saya lalui tanpa ada masalah.
Di Basecamp itu, tempat para pendaki lainnya memarkir motor sekaligus tempat melapor ke petugas sebelum melakukan pendakian. Setiap pendaki wajib mengisi data diri dan melakukan pelaporan terkait barang bawaan utamanya yang berpotensi menjadi sampah selama melakukan pendakian. Petugas juga memberi tiket masuk melakukan pendakian dan membayar sebesar Rp10.000.
Sebelum benar-benar mendaki, saya bertemu dengan beberapa pendaki lainnya yang sudah melakukan pendakiannya. Melihat saya yang tengah bersiap-siap, beberapa di antara mereka kemudian menawari saya kopi dan jadilah perkenalan dan perbincangan singkat di antara kami. Di gunung, beberapa pendaki memang memegang erat rasa kekeluargaan; tak peduli kita darimana, selama melakukan perjalanan yang sama, boleh jadi kita jadi saudara.
Segelas kopi telah tandas. Usai bertanya mengenai kondisi cuaca dengan kawan baru tadi, saya akhirnya berangkat. Lampu penerangan di kepala menjadi modal penting melakukan perjalanan malam hari. Baru saja ingin melakukan pendakian menuju pos 1, jalanan licin sudah harus dilalui. Becek dan saya sempat nyaris terpeleset saking licinnya jalan.
Trek yang cukup menanjak, tak menghalangi para pendaki untuk menggapai puncak Gunung Bulusaraung.
Gunung Bulusaraung setidaknya memiliki 10 pos. Itu sudah termasuk puncaknya yang berada di ketinggian 1.353 mdpl (meter di bawah permukaan laut). Tapi jangan salah, meski tak setinggi Gunung Bawakaraeng, pendakian ke gunung Bulusaraung cukup menguras tenaga. Sudut kemiringan tanah–yang kata pendaki lain melebih-lebihkan–nyaris 90 derajat. Memang tak sampai menyentuh itu, tapi karena trek tanjakan yang mungkin sedikit menyiksa hingga dikatakanlah demikian.
Meski sudah beberapa kali melakukan pendakian ke Gunung Bulusaraung, tapi ini perjalanan yang saya lakukan seorang diri. Saya sempat kehilangan fokus hingga memilih jalan yang salah. Beruntung, karena mendengar suara pendaki lain, saya akhirnya mengikuti suara itu dan kembali berada di jalur yang benar.
Memasuki pos 5 hingga 9 saya meutuskan mendahului pendaki lain yang masih berusaha singgah dan beristirahat. Perjalanan tiap pos, secara umum menghabiskan waktu 30 menit, tergantung lama tidaknya kita istirahat. Musik yang saya mainkan melalui telepon genggam menjadi teman perjalanan hingga akhirnya saya tiba di pos 9.
Di pos 9 Gunung Bulusaraung adalah lokasi dimana para pendaki beristirahat atau disebut juga camping ground. Salah satu alasannya, karena dari pos 1-10, di sekitar lokasi inilah sumber air bagi para pendaki berada. Di sini, tenda terpasang berjejeran. Pendaki lain sudah ada yang menyiapkan makan malam, adapula yang lebih dulu tidur.
Sesampai di pos 9, saya sendiri berkeliling mencari lokasi peristirahatan saya. Tapi tak disangka, di pos ini saya bertemu teman yang sudah lebih dulu sampai dan membangun tenda. Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dan membuat makan malam di tenda. Lalu masing-masing saling bertukar cerita pengalaman pendakian di hari itu.
            Aroma kopi mengepul, bersama dinginnya malam pos 9 Gunung Bulusaraung, bincang-bincang akhirnya berakhir di tengah malam dimana langit sedang gerimis. Kantuk tak bisa lagi kami tahan. Kantong tidur (sleeping bag) digelar di dalam tenda. Berusaha melawan dingin malam sampai tertidur. Esok hari...pada pagi yang cerah, puncak gunung Bulusaraung menanti untuk digapai.
Puncak Gunung Bulusaraung yang ramai dikunjungi.