Archive for September 2016

Lari ke Busan, Hindari Kejaran Zombie

No Comments »


TRAIN TO BUSAN adalah film bergenre horor/thriller yang lumayan bagus. Sekilas mirip konsep film World War Z.

Ini film Korea (bagian selatan), yang dipenuhi spesies 'Oppa-Oppa' yang saya ragu apa pantas disebut tampan atau tidak. Kukira, Korea cuma bisanya bikin film romantis yang bikin nangis. Ternyata, tidak benar begitu. Train to Busan hadir sebagai anti-thesa dari genre film/drama Korea yang mengharu-biru.

Film yang disutradari Yeon Sang-ho ini tidak bertele-bertele dan terkesan tidak ingin mengajak penonton berpikir. Ceritanya mengalir saja, tanpa berkutat pada informasi "virus" yang menerpa masyarakat Korea Selatan ini rimbanya darimana dan penangannya nanti seperti apa. Tahu-tahu dari awal pokoknya orang-orang tetiba menjadi zombie dan itu menular. Saya melihat penyajiannya memang cuma ingin memperlihatkan adegan yang bikin deg-degan dan membuat dada penonton berdebar-debar.

Di luar itu, Train to Busan adalah film yang tidak hanya mengundang nuansa mengerikan, namun juga mengandung nasihat (tersirat) yang bermanfaat. Menontonnya serasa mendapat pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah; memiliki nilai-nilai dan pesan moral Pancasila semisal saling membantu sesama.

Mendengarkan Dilan

1 Comment »


Untuk ukuran novel bergenre romantisisme, "Milea: Suara dari Dilan" termasuk buku yang "canggih". Entah apa yang membuat saya akhirnya menggunakan istilah itu untuk menggambarkan ketakjuban saya terhadap buku yang ditulis manusia bernama Pidi Baiq ini.

Bagi saya, salah satu indikator buku bagus adalah buku yang membuatmu rela meninggalkan aktivitas lain dan atau sudi kekurangan jadwal istirahat demi fokus menyelesaikan bacaan yang sudah terlanjur kau mulai sejak halaman pertama.

Buku berjudul "Milea: Suara dari Dilan" masuk ke dalam variabel tersebut. Secangkir kopi cukup untuk menuntaskan novel setebal 360 halaman ini. Saya tak tega memberi jeda yang terlalu lama untuk meninggalkan buku ini yang sudah saya mulai baca sejak halaman pertama. Novel yang nikmat untuk membuat saya betah di kamar tidur sekitar empat jam untuk menyelesaikannya.

Buku ini termasuk kemutakhiran novel kisah cinta anak remaja. Sebuah narasi asmara yang hebat: sedih, namun tidak cengeng, lucu tapi tidak sedang melawak, dan penuh "jurus rayuan" yang tidak lebay namun sederhana. Hal ini sama dengan dua buku sebelumnya, yakni "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" dan "Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991".

Tentu saja, buku ini tidak dianjurkan bagi anak TK yang belum bisa membaca. Hahaha!


DRAMA KOREA DAN "PLEDOI" TENTANG CINTA

No Comments »


Memutuskan untuk menonton drama korea  (drakor) bagi saya lebih kepada sebuah eksperimen ilmiah. Atau boleh juga disebut sebagai penelitian berupa studi kasus urusan personal. Menonton drama korea merupakan alternatif memberikan "suplemen" bagi otak saya. Percayalah!

Minggu kemarin, saya akhirnya berhasil menyelesaikan satu judul drakor dalam kedaan sehat walafiat dan baik-baik saja. Sebuah pengalaman yang sebenarnya tidak berharga karena tega membuat saya begadang untuk menuntaskannya. Setidaknya, saya tetap tegar hingga episode terakhir. Paling penting, tak sampai menitikkan air mata. Hahaha!

Siapa yang tak kenal drakor Descendants of The Sun (DOTS)? Bagi yang belum, kenalan dululah. Google bisa memberitahu semuanya, karena di  sini saya tak sudi menceritakannya panjang kali lebar.

Sejujurnya, sudah lama saya ingin menonton DOTS ini. Cerita tentang kisah percintaan anak manusia berkewarganegaraan Korea–antara tentara yang sok tampan dengan dokter cantik–membuat saya penasaran. Beberapa teman sepertinya juga tak hentinya memberikan dukungan dan memotivasi (baca: menjebak) untuk ikut terjun dalam lingkaran para-pecinta-drama-korea. "Coba-coba saja dulu. Sempat ketagihan," begitu katanya.

Kukira, tak ada salahnya mencoba. Setelah mengumpulkan kekuatan dan yakin akan diri yang fana ini, Selasa, 30 Agustus malam lalu, saya akhirnya menontonnya. Beberapa stok film Hollywood kuputuskan tak dinonton untuk sementara. Sesekali menyelipkan tontonan drama korea yang (katanya) anak-muda-banget itu sepertinya tak masalah. Maksudnya, saya juga masih muda, tapi drama berbau romantisme saya pikir tetap perlu diikuti untuk memastikan apakah saya masih punya "sense of love" atau tidak. Itu!

Saya tak tahu dari mana rimbanya, tapi banyak orang mengira: mengidap jomblo yang menahun membuat seseorang mengalami gangguan afeksi: segala hal tentang depresi yang memicu perbuatan bunuh diri. Mitos tersebut lantas tak membuat saya mudah percaya. Saya hanya khawatir.

Rasa kekhawatiran itulah kemudian yang mendorong untuk menonton drama korea. DOTS adalah pilihan yang benar meski tak baik. Secara umum, ini tontonan yang menarik. Tidak hanya dibalut kisah cinta yang bikin baper, tapi juga mengundang lapar karena terlalu menikmati hingga lupa makan. Drama 16 episode ini tidak melulu soal romantisme antara dokter dan tentara, namun juga membangkitkan jiwa patriotisme. Kisah cinta mereka kadang dengan terpaksa "digadaikan", demi sebuah urusan kenegaraan. Hiks, 'kan jadi syedih...

Yah, ini drama yang sedih, tapi tak sampai membuat saya menangis. Alhamdulillah untuk itu. Rasa emosional saat menontonnya itu menjadi bukti, kalau saya ternyata bisa juga merasakan gejolak-gejolak jiwa di dada yang entah karena proses ilmiah macam apa yang terjadi di dalam sana. Pembuktian saya setidaknya berhasil. Hati ini–yang kata teman jadi membatu karena betah menjomblo–ternyata tak benar.

Tolong jangan berpikir, hati ini jadi dingin membeku, karena sudah lama tak tersentuh oleh hangat cintamu. Aih! Hey...hey...hey...itu tadi bukan bermaksud bikin puisi. Tapi pembuktian yang dikemas ke dalam curahan hati bahwa tak menitikkan air mata saat menonton drama korea bukan berarti menandakan bahwa Syachrul Arsyad adalah seorang yang kehilangan perasaan atau sisi emosionalnya. Saya baik-baik saja, walau masih menyukai kamu dengan cara yang seperti biasa: diam-diam dan penuh rahasia. Aish!

Begitulah, menonton drama korea mungkin sedikt "menyentil" jiwa-jiwa yang tertidur di dalam dada. Menonton DOTS adalah suatu kegiatan berbeda bagi saya secara pribadi, tapi usai menontonnya, saya masih seperti Syachrul Arsyad yang kalian kenal. Tak berubah menjadi fanboy  yang termotivasi ingin membentuk boyband. Ilmiahnya, menonton drakor hanyalah alternatif memberikan pengalaman baru bagi otak saya.

Pengalaman menjalani sesuatu yang berbeda–semisal menonton drakor–ini sangat penting bagi perkembangan diri saya sendiri. Ketahuilah, sesekali mengubah gaya/selera mampu melatih zona otak emosi yang terletak di otak depan (lobus frontal). Jika manusia tidak pernah memiliki pengalaman yang dapat menggoyahkan perasaan atau emosi, maka manusia tidak dapat berkembang. Weits, saya pikir penjelasan saya ini sungguh canggih sekali untuk membuat kalian mengerti. Hahaha!

Bukankah sudah kubeitahu: menonton drama korea bagi saya lebih kepada eksperimen ilmiah terhadap diri sendiri. Saya memang menikmatinya, tapi belum sampai kepikiran ingin menjadikan tontonan drakor sebagai gaya hidup atau bahkan pindah haluan menjadi fans garis keras 'oppa-oppa' (apa sih sebutannya) yang kerjanya menari dan menyanyi itu. Tidakkah mengidolakan JKT48 saja sudah cukup? Hahaha!


Tapi, beberapa teman sepertinya menyukai pengalaman baru saya ini. Bahkan banyak yang kemudian merekomendasikan saya dengan judul-judul drama korea yang (katanya) asli bikin mewek. Hey, kalian ini mau memberikan referensi pengetahuan tentang cinta ATAU ingin melihat saya menangis, sih? Aigoooo...