Archive for Oktober 2016

MENGGUGAT INFERNO (Mungkin Resensi)

No Comments »


Saya tidak mengatakan INFERNO adalah film yang buruk. Hanya saja, sebagai orang yang terlanjur menikmati novelnya, Inferno yang akhirnya diangkat ke dalam versi film saya akui seru, namun agaknya "anu" sekali. Hmmm...

Saya ingat betul alur cerita Dan Brown dalam buku mutakhirnya berjudul Inferno ini. Apalagi, sebelum menontonnya ke dalam versi layar lebar, saya berhasil khatam buku ini sampai dua kali. Novelnya menakjubkan, hanya saja memang cenderung bertele-tele. Terlalu banyak deskripsi yang sebenarnya tidak perlu.

Saya masuk ke bioskop dengan harapan: filmnya bakal lebih menyegarkan dari versi bukunya. Atau setidaknya, lebih bagus dari dua film pendahulunya: Da Vinci Code dan Angels and Demons. Secara umum, saya setuju: Inferno memang tidak lebih buruk dari kedua film sebelumnya itu.

Barangkali memang tidak etis jika hanya selalu membandingkan kualitas film dengan cerita yang ada di dalam buku. Akan tetapi kalau boleh jujur, saya lebih merasakan ketegangan aksi Robert Langdon lewat novelnya. Di film, banyak adegan yang berubah. Begitupun karakter para tokoh penting lainnya yang berbeda. Masalah durasi memang seringkali menjadi salah satu faktor sehingga alur cerita diubah, tidak selalu mengikuti plot dalam buku.



Namun, saya pikir itu juga masalahnya, karena banyaknya adegan dalam novel yang tidak dimasukkan ke film, Inferno kelihat kurang dramatis. Nuansa konspirasi dan teka-teki khas Dan brown tidak berasa di film ini. Di awal film, beberapa adegan sudah cukup memunculkan ketegangan. Tapi makin lama...ah rasanya saya tidak tega mengatakan ini: membosankan.

Sebagai penonton, saya merasa lelah. Melihat pergantian ‘scene’ yang terlalu cepat, seperti tidak ada jeda untuk penonton ikut menganalisa pemecahan masalah yang dihadapi Robert Langdon (Tom Hanks). Agaknya memang banyak kebingungan yang melanda dan membuat saya tak sampai hati mengungkapkan kekecewaan. Adakah istilah yang lebih halus lagi dari kata “kecewa” untuk mengutarakan ketidakpuasan atau ketidaksesuaian terhadap sesuatu? Aih!

Terakhir, saya sendiri bingung, mengapa adegan terakhir film benar-benar dibuat berbeda dengan versi yang ada dalam buku. Epilog yang diciptakan dalam film Inferno tidak lebih baik dari yang ada dalam novel. Menurut saya, terlalu biasa. Kupikir ini saatnya untuk Mario Teduh mendukung penilaian saya dengan mengatakan, “Itu...!”


ULTAH: Tersiksa Dulu, Bahagia Kemudian?

No Comments »


Judul berita (lihat foto) ini saya pikir hanyalah salah satu contoh dari banyak kejadian menggelisahkan dari sebuah cara merayakan hari kelahiran. Niat hati membahagiakan, ujung-ujungnya malah membawa kesedihan atau—bahkan lebih miris lagi—kematian.

Sebenarnya, saya pribadi tak begitu peduli dengan perayaan hari kelahiran atau ulang tahun (ultah). Maksud saya, "tradisi" siram tepung, air got, membuang telur, sampai "menyiksa" teman—dan kelakukan serupa lainnya adalah tindakan "mengerikan" bagi (sebagian besar) orang yang seharusnya diperlakukan "layak" di hari kelahirannya. Kehebohan macam apa itu?!

Apakah tidak ada cara lain yang lebih bernilai luhur untuk mereka yang berulang tahun diperlakukan dengan baik? Dengan melayangkan doa, misalnya. Memberi kado kesukaannya pun tak jadi soal. Malah lebih beretika dan elegan tanpa membuat dia yang berulang tahun harus "tersiksa" lebih dulu.

Jujur saja, saya termasuk pribadi yang tidak respek dengan perayaan ultah seperti itu. Apalagi diperlakukan dengan tindakan yang contohnya sudah saya sebutkan tadi. Kau boleh protes atau tidak setuju denganku. Tapi maaf saja, saya memang tipe orang-yang-tidak-asyik diajak berkecimpung di dalam beberapa hal perkara. (*)

*Link Berita di sini:

Jurnalisme "Brengsek" ala Ryan Holiday

1 Comment »


TRUST ME, I'M LYING adalah buku yang bangsat, namun juga keren. Ini adalah buku yang buruk (yang diharapkan) bisa membuat anda lebih baik (walaupun sebenarnya bisa juga lebih buruk). Bagi saya, buku ini laiknya kacamata. Ryan Holiday (penulis) tidak hanya membantu melihat, tapi juga mengamati lebih dalam apa yang awalnya terlihat kabur di dunia jurnalisme, utamanya di era digitalisasi saat ini.

Ryan Holiday yang bekerja sebagai manipulator media membuka bobrok jurnalisme yang dimanfaatkan oknum tertentu. Buku yang menggelisahkan, karena nyatanya, penulis membeberkan "pekerjaan kotor" yang dilakoninya sendiri. Berita buruknya, bukan cuma Ryan Holiday saja yang melakukan ini. Berita baiknya, paling tidak penulis membuat kita sadar bahwa profesi jurnalisme yang notabene sebagai jalan (atau 'agama' menurut Andreas Harsono) dalam menyampaikan kebenaran, justru ditempuh dengan cara penuh kebohongan dengan gaya yang tak beretika.

Ryan Holiday membuka segala kebobrokan itu. Apa yang terjadi di dapur redaksi sebuah media, nyatanya tidak sesederhana kelihatannya. Ada banyak "praktek" terselubung di sana. Kegiatan jurnalisme tercoreng oleh oknum yang pantas kita sebuat sebagai orang brengsek.

Bagi yang ingin mengetahui "kebenaran" perihal bagaimana informasi tersebar dan "dipelintir" pihak tertentu di sosial media, buku Ryan Holiday sangat dianjurkan untuk dibaca. Buku yang tentu saja tidak hanya dikhususkan bagi para jurnalis (pelaku media), tapi kepada mereka yang siapa saja aktif di media sosial. Ketahuilah, bahkan jurnalisme warga atau akun personal di media sosial banyak disusupi manipulator media yang bisa saja mengubah pola berpikir para netizen.