CERITA TENTANG RANTEMARIO (2)

Gunung Latimojong tidak hanya bercerita tentang puncak yang kau gapai. Di gunung tertinggi Pulau Sulawesi ini juga bakal kau temukan hamparan kebun kopi.


Namanya, Ibu Uni. Sebuah nama yang saya tahu setelah memberikan pertanyaan yang mudah dan tak berhadiah. "Boleh tahu namanya siapa, Bu?" Pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya. Ada jeda beberapa detik hingga ia merasa mantap menyebut namanya. "Uni," jawabnya seraya tersenyum.
Manusia berjenis kelamin perempuan ini tak lagi muda. Umurnya sekitar 40 tahun. Ibu Uni sendiri sepertinya lupa kapan tepatnya ia dilahirkan di dunia yang fana ini atas kerjasama yang apik kedua orang tuanya. Kata "sekitar" yang ia gunakan bisa jadi menunjukkan kalau ia merasa tak punya kesempatan menghitung selisih tahun sekarang dengan tahun kelahirannya.
Tapi umur tak jadi soal. Saya tak mempermasalahkannya. Kadang-kadang (berdasarkan pengalaman) wanita cenderung jadi sensitif terhadap pembahasan soal usia. Tentu saya tak ingin awal perkenalan saya dengan Ibu Uni jadi rumit hanya karena mempermasalahkan tak yakinnya ia dengan usianya sekarang.
Sebelum perkenalan itu, di suatu siang yang sedang mendung menjadi awal pertemuan saya dengan Ibu Uni. Saat memandangnya pertama kali, cinta itu tak muncul. Dan saya bersyukur akan hal itu. Hahaha!
Melihat aktivitas yang dilakukan Ibu Uni membuat langkah kaki saya terhenti. Perjalanan turun usai dari puncak Rantemario menjadi momen yang tepat untuk saya singgah sejenak melihat Ibu Uni mengeringkan biji kopi. Saat memulai melakukan pendakian, hamparan kebun kopi memang menjadi pemandangan menarik di awal perjalanan ke Gunung Latimojong.
Ibu Uni hanya salah satu dari sekian banyak orang yang bermatapencaharian sebagai petani kopi di Desa Karangan, Kecamatan Baraka, Enrekang. Bersama suaminya, ia sudah puluhan tahun aktif bergelut di dunia yang kini membesarkan nama torabika, nescafe, maupun kapal api di dunia per-kopi-an. Kalau kau tanya suami Ibu Uni kemana, percayalah...ia sedang memanen kopi di kebun. Saya sudah menanyakannya sendiri.
Dia dan suaminya berbagi tugas. Medan Gunung Latimojong yang cukup berat dengan jarak tempuh yang jauh dari kebun, membuat suaminya mengambil alih tugas memetik biji kopi. Ibu Uni sendiri kemudian yang akan memisahkan biji kopi dengan kulitnya menggunakan mesin tertentu, kemudian dikeringkan seperti yang ia lakukan siang itu. "Harus dikeringkan dulu sebelum dijual," tuturnya. Diketahui, setiap panen, Ibu Uni dan suaminya bisa mengumpulkan sekira 50 kg biji kopi.
Baru saja mau bertanya untuk hal lain, Ibu Uni tiba-tiba pergi. Masuk ke dalam gubuk kecilnya–tempat hunian sementara saat ke kebun. Saya seperti merasa diabaikan, ditinggal tanpa sebuah alasan. Hiks! Niat hati ingin ‘suudzon’ terhadap Ibu Uni, saya tetiba merasa bersalah sendiri. Tahu-tahu Ibu Uni sudah keluar dari gubuk membawa sebuah cerek dan gelas.
“Minum ki’ kopinya,” katanya sembari meletakkan cerek dan gelas di dekat saya duduk. Sejurus kemudian, beberapa biji markisa yang disimpan di atas piring menyusul. Markisa yang cukup banyak dan bisa kau hitung sendiri jumlahnya di foto itu. “Dingin kopinya itu,” sambung Ibu Uni segera sebelum saya mencobanya.
Slurrrppp! Benar kata Ibu Uni, kopinya dingin. Kopi tegukan pertama, pun rasanya seperti melihat diri sendiri. Terlalu manis! Hahaha Tapi saya tak protes. Saya tidak berada di sebuah kedai kopi yang bisa marah karena pesanan tidak sesuai harapan: harga tak sebanding rasa. “Markisanya hasil kebun sendiri, Bu?” Saya baru saja menyelesaikan kopi tegukan kedua saat mengajukan sebuah tanya. “Dijual juga?” lanjut saya.
“He-he-he...tidak dijual. Dimakan sendiri saja,” jawabnya. Kecuali kopi, sambung Ibu Uni, tentu dijual. Hasil panen kopi yang sudah dikeringkan itu, nantinya akan dijual ke pengepul dengan harga Rp13.000,-/liter. “Biasanya harganya Rp15.000. Tapi tidak tahu kenapa bisa turun harganya,” beber Ibu Uni.
* * *
Gerimis mulai turun. Saya mempercepat langkah hendak kembali ke desa. Perjalanan turun dari Pos 1 Gunung Latimojong ke tempat registrasi pendaki setidaknya berjarak 3 kilometer. Masih cukup jauh. Beban bawaan saya pun bertambah, namun tak begitu signifikan beratnya. Di dalam tas sudah ada beberapa biji markisa.
“Bawa semua mi itu markisanya,” begitu kata Ibu Uni sewaktu saya mau pamit. Sejak ditawari bersama teman kopi, saya memang belum makan markisa Ibu Uni di piring itu. Perbincangan bersamanya seperti tak membuat saya ingin makan, kecuali menenggak kopi buatan Ibu Uni. Dengan alasan isi tas tak muat lagi, saya hanya sempat membawa beberapa biji saja. Saya lupa berapa, tapi lebih dari dua. “Terima kasih, Bu. Mari...,” sebuah kalimat perpisahan yang sama sekali tak romantis.
Langit gelap dan gerimis masih berlangsung. Sekira 10 menit berlalu sudah pertemuan singkat dengan Ibu Uni. Sebenarnya masih ingin berbincang lama, tapi mendung yang memayungi langit Enrekang sejak tadi membuat saya menyudahi dan segera pamit untuk pergi.
Dalam perjalanan, saya jadi kepikiran Ibu Uni. Usahanya mengeringkan biji kopi belumlah rampung, tapi gerimis sudah turun membasahi tanah, pepohonan, dan barangkali juga biji-biji kopinya. Yang sabar, Ibu Uni. Mudah-mudahan harga jual kopi yang menurun, tak menghalangi peningkatkan taraf kebahagiaan Ibu Uni sekeluarga. Berbahagialah, para petani kopi Indonesia! (*)


This entry was posted on 20 Juli 2016 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply