CERITA TENTANG RANTEMARIO (3)

Matahari baru saja terbenam. Tenggelam atas izin Allah SWT. Perjalanan dengan terpaksa dihentikan, tenda harus segera didirikan.

“Nginap di sini saja deh. Tidak bisa mka lanjut jalan,” keluh Akbar. Dia adalah salah satu teman mendaki ke Gunung Latimojong. Termasuk saya, ada satu lagi lelaki yang disapa Aan. Perjalanan kita mulai Minggu, 10 Juli lalu. “Besok pagi pi lagi baru lanjut jalan,” tambahnya sambil melakukan usaha mengurut kakinya yang sakit.

Sebelumnya, kami sudah berada selama semalam di Gunung Latimojong usai menggapai puncak Rantemario, Senin 11 Juli, siang. Kami menginap di Pos 5 untuk pergi ke puncak di pagi dimana matahari belum juga kelihatan di sana. Dalam perjalanan pulang  (turun gunung), Akbar tetiba tak bisa melanjutkan perjalanan. Langkah kakinya tertatih. Ia mengeluh langkahnya berat untuk dilanjutkan lagi.

Sejak turun gunung dari pos 5, saya memang sudah mulai melihat Akbar kesakitan. Saya yang berjalan membelakanginya acapkali mendengar ia kesakitan saat kakinya bertumpu. Bahkan sempat jatuh walaupun jalanan cenderung datar-datar saja. Tapi erangannya terdengar lebih besar dalam perjalanan yang berbatu dan menurun. “Aaakkk!” erang Akbar setiap kakinya bertumpu di tanah.

Beberapa kali, kami berdua yang berajalan di belakang Akbar menyarankan untuk beristirahat sebentar.  Tapi, ia kadang-kadang cenderung keras kepala, merasa sanggup dan ingin perjalanan dilanjutkan saja. Hingga tiba di Pos 4, sepertinya Akbar mulai putus asa. Lelah, haus, dan sakit kakinya adalah satu paket keputusasaan yang membuatnya berhenti melangkah.
Foto kaki Akbar
Tak Ada Air Minum

Perjalanan pulang (turun gunung) dari Pos 5 menuju Desa Karangan, kami bermaksud untuk singgah istirahat di Pos 2. Sejak tiba di Pos 4 saat Akbar mulai tak bisa menahan sakit di kakinya itu, Aan sempat menyarankan untuk melanjutkan perjalanan malam hari. “Besok pagi saja baru lanjut jalan,” kata Akbar. “Besok ini tidak sakit mi,” tambahnya lagi meyakinkan.

Saya melihat, Aan juga seakan gusar tiba di Pos 4 dengan rencana mendirikan tenda di sana. Saya juga berpikir begitu. Bukan apa-apa, persedian air yang kami bawa saat turun dari Pos 5 hanya sebotol saja. Kami benar-benar tak ada perencanaan dan persediaan. Tentu ada pikiran untuk ambil air ke Pos 2. Tapi perjalanan turun ke sana bukanlah perjalanan yang dekat dan bisa kembali lagi ke Pos 4 dalam waktu yang singkat. Duh!

Akbar sementara memijit kakinya yang sakit saat Aan mulai bersiap mengambil tenda di dalam tas untuk didirikan. Akbar mengeluh nyeri di paha. Tiap kali hendak melangkah, pun lututnya gemetar. Hal itulah yang membuatnya tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.

Saya membantu Aan mendirikan tenda. Di Pos 4, kami juga menemui beberapa pendaki yang lebih dulu mendirikan tenda. Setidaknya ada dua tenda. Mereka hendak baru naik ke puncak, tapi memilih menginap lebih dulu di Pos 4. Sepertinya, hujan pun akan turun. Flysheet (sejenis penutup tenda yang melindungi dari hujan) juga segera dipasang untuk melindungi tenda yang sudah berdiri dari hujan. “Masuk mi ke dalam istirahat, Akbar,” tutur Aan saat tenda sudah siap. Tidak lama setelah itu, kami berdua juga memutuskan masuk ke dalam tenda. Gerimis mulai turun.

Di dalam tenda, kami membagi persediaan air minum yang tersisa. Kami masih haus sebenarnya. Berbagi masing-masing seteguk air dari botol belumlah cukup. Kita juga enggan meminta persediaan air kepada pendaki lain. Kita merasa tidak enak meminta air kepada pendaki yang juga baru melakukan pendakian.

Dengan terpaksa, kami memutuskan tidur saja. Berharap waktu berlalu cepat, hingga matahari muncul membangunkan kami esoknya. Ini cukup sulit. Bukan hanya haus, makan malam juga harus tertunda karena tak ada air minum.

Saya sendiri belum bisa memaksakan kehendak untuk segera tidur. Barangkali waktu saat itu baru menunjukkan pukul 8 malam saat hujan deras akhirnya turun. Du aorang teman yang tidur di samping saya sepertinya sudah tidur. Tak banyak bergerak dan seakan teang-tenang saja.

Saya gusar. Resah di dalam tenda. Hujan memang tidak secara langsung membasahi kami. Tapi genangan air yang turun dan belum menyerap sempurna ke tanah seakan masuk melalui dasar tenda. Saya merasakan basah di kepala. Matras yang dipasang di dalam tenda hanya cukup untuk melapisi badan hingga paha saja. Tidak begitu basah, memang. Tapi cukup mengganggu.

Di tengah hujan masih deras, sayup-sayup saya mendengar suara aktivitas pendaki begitu dekat di tenda kami. Sepertinya mereka ikutan “numpang” berteduh di bawah flysheet yang memang cukup lebar bukan hanya untuk melindungi tenda kami. “Mungkin mereka tak punya flysheet untuk tendanya sendiri,” pikirku.

Saya sama sekali tak menegur mereka. Selama tak mengganggu, biarkan saja. Toh, mereka barangkali hanya kurang beruntung tak membawa peralatan (entah karena lupa atau sengaja) sehingga tak mengantisipasi cuaca, seperti datangnya hujan yang asik mengguyur malam itu.

Oh, matahari pagi...bisakah menyapa lebih cepat lagi?! Saya belum bisa tidur, tapi ingin segera melanjutkan perjalanan lagi. (*)

Kaki yang sakit membuat Akbar melangkah dengan tertatih. Jika perjalanan yang cukup sulit, kadang kami memasang tali webbing sebagai bantuan untuknya.

This entry was posted on 22 Juli 2016 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply