Taman Nasional Bantimurung atau yang populer
masyarakat awam tahu air terjun Bantimurung barangkali sudah lebih dulu dikenal
para wisatawan. Tapi jika anda adalah wisatawan yang tiba di Makassar dan
berniat mengeksplor daerah Sulawesi Selatan, maka Kabupaten Maros bisa menjadi
salah destinasi terbaik untuk mengunjungi tempat wisata yang ada di sana.
Yah, di Kabupaten Maros tidak hanya dikenal
dengan air terjun Bantimurung-nya, Taman Prasejarah Leang-Leang merupakan salah
satu primadona kawasan wisata terbaik di Maros. Terletak di Kecamatan Bantimurung,
akses menuju lokasi ini terbilang mudah. Jika dari Makassar, hanya butuh waktu
sekira sejam untuk sampai ke sini.
Untuk masuk ke Taman Prasejarah Leang-Leang
dikenakan biaya bagi para wisatawan, namun dengan harga yang tidak menguras
kantong anda. Untuk wisatawan lokal, dikenakan harga Rp10.000 per orang.
Sedangkan untuk wisatawan asing, Rp20.000 per orang. Dengan harga itu, anda
bisa menikmati keindahan Leang-Leang seharian.
Taman Prasejarah Leang-Leang bukan hanya
sekadar taman yang dihiasi bunga, pepohonan rindang, hijau dan menyejukkan
mata. Bagian menariknya adalah bebatuan karst yang bersusun tak beraturan,
namun tetap indah dipandang. Pun nyaris dikelilingi tebing-tebing curam yang
menjulang tinggi di sekitar taman.
Karenanya, kunjungan ke destinasi wisata ini
memang tidak hanya diminati wisatawan lokal saja, namun wisatawan asing pun
seperti bergantian mengunjungi lokasi ini. Keindahan batu karst, gua prasejarah
dan lukisan yang disinyalir peninggalan manusia masa lampau menarik beberapa
orang untuk sekadar berfoto atau bahkan ada yang melakukan penelitian.
Sama seperti Iis yang berkunjung ke Taman
Prasejarah Leang-Leang, Minggu, 27 Maret lalu. Wanita asal Jayapura ini senagaj
mengunjungi taman tersebut karena penasaran dan ingin melihat langsung
destinasi wisata andalan Maros ini. “Waktu datang ke Makassar memang niatnya
langsung mau ke Leang-Leang Maros dulu,” tutur Iis sambil memerhatikan lukisan
tangan manusia, jejak peninggalan manusia purbakala.
Lukisan tangan itu masih berada di kawasan
Leang-Leang, lebih tepatnya di Leang Petta Kere. Peninggalan arkeologi yang
ditemukan di Leang Petta Kere antara lain lukisan dinding gua berupa gambar
babi rusa dan telapak tangan manusia. Jika ingin ke lokasi ini, para wisatawan
cukup melapor ke petugas untuk kemudian dipandu memasuki Leang Petta Kere.
Salah
satu petugas Taman Leang-Leang, Abbas, yang juga tengah memandu para wisatawan
mengatakan, lukisan tangan yang berada di dinding gua sebagai pertanda tolak
bala (penangkal bahaya/bencana) yang dipercaya orang-orang pada zaman dahulu
kala. Sementara gambar babi rusa menunjukkan hewan yang diburu pada zaman itu.
Mengingat berburu menjadi salah satu kegiatan utama manusia purbakala.
Para wisatawan yang mengunjungi Leang Petta Kere. Lokasi
ditemukannya lukisan telapak tangan manusia di dinding gua.
|
Catatan Sejarah
Di taman ini ada ratusan gua prasejarah yang
tersebar di perbukitan cadas (karst) Maros-Pangkep, dengan beragam jenis
tinggalan budayanya berupa gambar gua, sebaran alat batu maupun sampah dapur
yang terdiri atas moluska tawar, payau, dan laut. Peninggalan arkeologi
tersebut menjadi objek kajian yang sangat menarik untuk diteliti guna
mengetahui kehidupan manusia pada masa lampau.
Dalam bahasa Makassar, Leang berarti gua,
sama dengan kata liang yang artinya lubang. Hal yang menarik dari tempat ini
adalah ditemukannya lukisan-lukisan dinding di Leang-Leang, yang mendorong
dilakukannya penelaahan gambar-gambar prasejarah, yaitu pada tahun 1950 oleh
Van Heekeren dan Miss Heeren Palm. Heekeren menemukan gambar babi rusa yang
sedang meloncat, yang di bagian dadanya terdapat mata panah menancap. Usia
lukisan-lukisan purba di Leang-Leang diperkirakan 5.000 tahun.
Dari berbagai sumber, beberapa arkeolog
bahkan berpendapat bahwa beberapa di antara gua tersebut telah didiami sejak
8.000 – 3.000 SM (Sebelum Masehi). Sedangkan, Miss Heeren Palm menemukan gambar
telapak tangan dengan latar belakang cat merah dan diduga merupakan gambar
tangan kiri wanita yang diyakini merupakan anggota suku yang telah mengikuti
ritual potong jari.
Ritual itu dilakukan sebagai tanda berduka atas kematian orang
terdekatnya, di Gua Leang Pettae. Gambar-gambar di kedua gua banyak yang
berwarna merah. Warna tersebut terbuat dari bahan pewarna alami yang dapat
meresap kuat ke dalam pori-pori batu sehingga tidak bisa terhapus dan bertahan
ribuan tahun.