Menggapai Air Terjun Massima’rangan

Ada begitu banyak destinasi wisata baru yang mulai terkenal di masyarakat karena dipromosikan lewat media sosial. Air Terjun Cinta adalah salah satu dari sekian banyak lokasi yang telah lebih dulu populer di kalangan wisatawan, terkhusus di Sulawesi Selatan.



Air Terjun Massima’rangan, namanya. Namun, para netizen sudah terlanjur mengenalnya sebagai Air Terjun Cinta. Destinasi wisata baru yang memang belakangan ini tengah masuk ke dalam “surga tersembunyi” yang sepertinya wajib dikunjungi para pejalan di Sulsel. Belum begitu banyak orang yang mengetahuinya. Dan, tentu saja, belum dikelola oleh pemerintah.
Merasa terpanggil mengunjungi destinasi wisata ini, memang karena cukup takjub dengan foto-foto yang diunggah para netizen di media sosial. Di facebook, banyak sekali orang yang berkomentar kagum dengan keindahan air terjun tersebut. Dinamakan Air Terjun Cinta karena lekukan di  kubangan air terjun terlihat berbentuk hati. Jika difoto dari atas air terjun itu, memperlihatkan bentuk hati. Walaupun sebenarnya tak berbentuk sempurna.
Saking penasarannya, saya terdorong untuk membuktikannya. Hingga pada suatu akhir pekan di hari Minggu, saya bersama teman akhirnya berangkat ke sana. Enam orang dengan mengendarai tiga motor. Berangkat dengan pengetahuan yang minim. Hanya bermodal pengetahuan nama desa dan kecamatannya saja. Tapi tak mengapa, soal rute nanti belakangan. Kami pikir, dengan bertanya sana-sini dalam perjalanan, para warga pasti bakal memberitahukan.
Seperti yang kami kira, belum setengah perjalanan, kami sudah mulai bertanya lagi. Pertanyaan terkait dimana Desa Tamalatea, Kecamatan Manuju itu. Saya sendiri tidak menghitungnya, tapi dipastikan kami harus beberapa kali singgah di tengah jalan hanya untuk bertanya kepada beberapa warga di sana.
Tidak mudah menjangkau lokasi Air Terjun Cinta. Ini seperti memberikan sebuah pengalaman hidup kalau yang namanya menggapai cinta itu...memang butuh perjuangan. Hehehe! Buktinya, medan yang kami lalui untuk ke sana cukup menguras energi meski berkendara motor.
Perjalanan menuju Air Terjun Massima’rangan boleh dikata menantang. Bukan hanya karena jarak tempuh yang begitu jauh dari Makassar, tapi juga akses jalan menuju lokasi yang masih belum baik. Jalan rusak, berbatu, menurun dan mendaki cukup menyiksa motor yang dipakai. Belum lagi jika anda memakai mobil.
Kami yang terus berkendara dengan kondisi cukup lelah karena terik matahari, masih harus singgah bertanya. Berjalan cukup jauh, sepertinya tidak membuat kami yakin apakah jalan yang dituju memang benar. Di antara kami pun mulai mengeluh. “Coba tanya berapa kilometer lagi jauhnya,” tanya seorang teman mengimbau kepada saya setiap kali singgah dan hendak mengajukan pertanyaan kepada warga.
Banyaknya kendaraan bermotor terparkir di depan rumah warga, akhirnya cukup membuat kami sedikit senang. Paling tidak itu sebagai tanda sudah tiba di kawasan Air Terjun Cinta. Tapi belum benar-benar melihat spot yang dituju. Hanya perlu memarkir kendaraan, lalu berjalan kaki lagi sejauh kurang lebih satu kilometer; melintasi sawah dan juga sungai. Ada banyak pengunjung lalu lalang berpapasan; hendak pulang dan juga baru berkunjung.
Bagi yang hendak masuk melihat dan menikmati Air Terjun Cinta atau Massima’rangan, para pengunjung mesti morogoh kocek sebesar Rp2.000 tiap orang. Pembayaran yang bukan masuk kas pemerintah daerah. Sebut saja, harga tersebut sebagai membayar upah warga yang telah membuka jalur dan membangun jembatan bambu yang ada di sana bagi para pengunjung.
Ramai. Kesan pertama kali saat melihat Air Terjun Cinta yang populer di media sosial itu. Ramai. Meski tergolong destinasi wisata baru, orang-orang nyaris memenuhi lokasi Air Terjun Cinta.
Orang-orang seakan-akan berebutan dan saling bergantian posisi yang pas untuk kebutuhan hasil foto terbaik di ponsel mereka. Ada pula yang melompat dari ketinggian lalu menceburkan diri di kubangan air terjun yang tidak begitu besar, namun membentuk seperti kolam. Saking ramainya, beberapa orang memilih beristirahat di pinggir sungai tidak jauh dari air terjun tersebut, bersantai dan menyantap perbekalan yang dibawanya.
Beberapa di antara kami yang juga tiba di sana memilih hanya melihat saja, seakan kehilangan “mood” melihat ramainya kunjungan di Air Terjun Cinta di akhir pekan itu. Saya pribadi pun merasa seperti itu. Seakan latar keindahan destinasi wisata itu tertutupi dengan ramainya wisatawan. Tapi tentu saja, saya tak bisa egois; menyalahkan para pengunjung atas hilangnya minat menikmati pesona alam di Air Terjun Cinta. Kamera tetap dikeluarkan untuk foto-foto seada dan sebisanya saja. Bukankah keramaian ini boleh dianggap betapa banyak orang yang menyukai tempat tersebut?
Sebagian teman kami yang lain lagi–yang wanita–memilih ikut meramaikan sesi foto selfie dan wefie dengan latar air terjun. Bersenang-senang memainkan tongsis dan kameranya. Seakan tak ingin merasa rugi. “Sudah jauh-jauh ke sini, masa’ tidak berfoto,” kata salah seorang teman wanita yang barangkali membaca garis muka kekecewaan kami yang lain. (*)

This entry was posted on 20 Juli 2016 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply