Menyapa Pagi di Danau Tanralili

Edisi Menelusuri Keindahan Kaki Gunung Bawakaraeng (Bagian - 1)

Pagi hari di Danau Tanralili, udara cukup membuat tubuh menggigil. Sleeping bag (kantong tidur) seakan tak cukup menghindarkan diri dari suhu dingin. Dari luar tenda, terdengar beberapa percakapan tentang pagi dan juga teriakan mencari secangkir kopi.


Mata enggan tertutup lagi. Suhu dingin tak cukup ampuh membuat saya betah di dalam kantong tidur. Cahaya matahari masih muda. Belum begitu terik, tapi cukup sebagai penanda dari dalam tenda kalau pagi telah tiba. Saya beranjak keluar, bangun dari lelap usai mengistirahatkan lelah dari perjalanan malam hari yang menguras tenaga.

Saya bukan orang pertama yang bangun pagi hari itu. Beberapa orang sudah lebih dulu beranjak dari tendanya masing-masing. Bahkan, banyak di antaranya yang sudah membuka pagi dengan percakapan, memainkan musik, menyiapkan sarapan, dan memasak air panas untuk menyeduh teh maupun kopi.

Di tempat saya sendiri memasang tenda, teman rombongan yang melakukan perjalan bersama ke tempat ini pun juga mulai melakukan hal yang sama. Menikmati pagi di Danau Tanralili terlalu singkat jika hanya menikmati air putih dan sepotong roti.

Pagi yang indah. Segelas teh dan juga kopi mengawali aktivitas kami di tempat ini. Kami mengisinya dengan perbincangan tentang rencana perjalanan selepas sarapan nanti. Tapi, pengalaman melakukan perjalanan untuk sampai mendirikan tenda beristirahat di Danau Tanralili tak luput dari pembicaraan kami.


Waspada! Jalur Terjal

Perjalanan menuju Danau Tanralili memang tak mudah. Letaknya di daerah pegunungan, tepatnya di kaki Gunung Bawakaraeng. Meski sebutannya di “kaki gunung”, bukan berarti kita tidak melakukan pendakian. Beberapa trek agak curam dan terjal. Perlu kehati-hatian dan kewaspadaan mencari pijakan kaki yang pas. Salah-salah menginjak batu dan tanah yang licin, bisa-bisa kaki terpleset.

Akan tetapi, sulitnya trek menuju Danau Tanralili serta-merta tak membuat para pengunjung melewatkan “surga” di kaki Gunung Bawakaraeng. Beberapa pendaki bahkan ada yang menyebut; Danau Tanralili di kaki Gunung Bawakaraeng adalah “Ranu Kumbolo”-nya Gunung Semeru, tapi versi Kabupaten Gowa, Sulsel. Entahlah, saya sendiri belum pernah berkunjung ke Jawa Timur di mana Danau Ranu Kumbolo berada.

Sejak keindahan lokasi wisata alam ini mulai terekspos ke masyarakat luas berkat bantuan internet dan media sosial, orang-orang mulai tertarik ke tempat yang berlokasi di Desa Lengkese, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini. Jika dari Makassar menuju Malino, menghabiskan waktu kurang lebih 2-3 jam perjalanan hingga tiba di Desa Lengkese.

Di desa inilah, para pendaki yang hendak ke Danau Tanralili memarkir kendaraannya di rumah warga yang memang menyediakan lahan parkir. Di Desa Lengkese merupakan tempat para pengunjung melakukan registrasi (pendaftaran). Biaya masuk pendakian dikenakan tarif Rp2.000 per orang. Di tempat ini pula, barang-barang bawaan pengunjung yang berpotensi menjadi sampah akan dicatat untuk kembali diperiksa sepulang pendakian.

Saya bersama teman rombongan lain yang berjumlah delapan orang juga melakukan alur registrasi yang sama. Sebelumnya, kami sudah bersepakat akan melakukan pendakian pada malam hari. Beberapa teman di antara rombongan kami berujar, melakukan pendakian di malam hari lebih dinikmati dan tidak begitu menguras tenaga ketimbang pagi hari. Salah satu alasannya, katanya, trek perjalanan yang terjal itu tidak mengganggu psikologis diri (khawatir atau mungkin ketakutan) selama melakukan pendakian.

Lelah dan rasa haus beberapa kali membuat kami harus singgah. Ada beberapa tanjakan yang memang cukup tinggi dan sulit dicapai. Menguras tenaga–dan tentu saja juga pikiran–karena  tetap saja rasa khawatir itu muncul. Di beberapa rute perjalanan memang bisa membuat kita rawan jatuh ke dalam jurang jika tak hati-hati. Tanah di sini rawan mengundang longsor. Beberapa petugas yang bertanggung jawab terhadap Danau Tanralili bahkan memagari beberapa lokasi jalan yang dianggap rawan bagi para pendaki.


Mendirikan Tenda

Ada sekitar dua jam waktu yang kami habiskan dari tempat registrasi di Desa Lengkese dengan berjalan hingga akhirnya tiba di Danau Tanralili. Saya menyempatkan diri melihat telepon genggam dan melihat waktu menunjukkan pukul setengah 12 malam. Sebelum mencari tempat mendirikan tenda, kami menunggu teman yang ketinggalan.

Tak mudah mencari lokasi tempat kami menginap di sini. Apalagi sudah tengah malam. Beberapa pendaki yang lebih dulu tiba di lokasi ini, sudah mendirikan tendanya di tempat terbaik untuk beristirahat. Kami agak bingung juga rasanya. Segera ingin mengistirahatkan lelah, tapi masih mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tak mau berlama-lama, kami akhirnya menetapkan tempat. Beberapa meter dari Danau Tanralili. Kontur tanahnya memang tidak rata dan sedikit berbatu. Tak mau ambil pusing, tenda akhirnya didirikan.

Tidak luput, bahan makanan dan peralatan masak-memasak juga segera dikeluarkan dari tas. Lapar menjalar di perut kami sedari tadi. Teman dalam rombongan kami yang berstatus suami-istri sengaja menyiapkan makanan yang istimewa. Ada ayam yang bersiap digoreng, sayur-sayuran yang bakal dibuat bakwan, dan atau ditumis, serta beberapa penganan kue sebagai pengganjal perut sebelum menyantap makan malam kami yang sudah kelewatan waktunya.

Begitulah kami melewatkan perjalanan malam menuju Danau Tanralili. Makan malam telah tandas, usai dengan sabar merawat lapar selama perjalanan melelahkan. Tidak ada yang lebih nikmat selain melewati malam dengan menyeduh secangkir kopi sambil menikmati dinginnya malam Danau Tanralili.

Di tempat ini, malam terasa panjang. Rombongan kami baru mulai beristirahat menjelang subuh. Kondisi Danau Tanralili yang tak pernah hening dari keramaian dan perbincangan para pendaki lain saat itu, membuat saya salah mengira pagi nyatanya hampir menyapa kembali. Tubuh juga butuh istirahat. Rencana perjalanan di pagi hari masih akan berlanjut.

Meski tersisa beberapa jam lagi hingga pagi tiba, tidur menjadi salah satu agenda penting untuk memulai aktivitas baru. Agenda perjalanan pagi hari akan jauh lebih seru tentunya. Selain menikmati Danau Tanralili, rombongan kami berencana mengunjungi “surga” di kaki Gunung Bawakaraeng yang lain. Lembah Lowe, namanya. (*)



This entry was posted on 28 Juli 2016 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply