MENGGUGAT INFERNO (Mungkin Resensi)


Saya tidak mengatakan INFERNO adalah film yang buruk. Hanya saja, sebagai orang yang terlanjur menikmati novelnya, Inferno yang akhirnya diangkat ke dalam versi film saya akui seru, namun agaknya "anu" sekali. Hmmm...

Saya ingat betul alur cerita Dan Brown dalam buku mutakhirnya berjudul Inferno ini. Apalagi, sebelum menontonnya ke dalam versi layar lebar, saya berhasil khatam buku ini sampai dua kali. Novelnya menakjubkan, hanya saja memang cenderung bertele-tele. Terlalu banyak deskripsi yang sebenarnya tidak perlu.

Saya masuk ke bioskop dengan harapan: filmnya bakal lebih menyegarkan dari versi bukunya. Atau setidaknya, lebih bagus dari dua film pendahulunya: Da Vinci Code dan Angels and Demons. Secara umum, saya setuju: Inferno memang tidak lebih buruk dari kedua film sebelumnya itu.

Barangkali memang tidak etis jika hanya selalu membandingkan kualitas film dengan cerita yang ada di dalam buku. Akan tetapi kalau boleh jujur, saya lebih merasakan ketegangan aksi Robert Langdon lewat novelnya. Di film, banyak adegan yang berubah. Begitupun karakter para tokoh penting lainnya yang berbeda. Masalah durasi memang seringkali menjadi salah satu faktor sehingga alur cerita diubah, tidak selalu mengikuti plot dalam buku.



Namun, saya pikir itu juga masalahnya, karena banyaknya adegan dalam novel yang tidak dimasukkan ke film, Inferno kelihat kurang dramatis. Nuansa konspirasi dan teka-teki khas Dan brown tidak berasa di film ini. Di awal film, beberapa adegan sudah cukup memunculkan ketegangan. Tapi makin lama...ah rasanya saya tidak tega mengatakan ini: membosankan.

Sebagai penonton, saya merasa lelah. Melihat pergantian ‘scene’ yang terlalu cepat, seperti tidak ada jeda untuk penonton ikut menganalisa pemecahan masalah yang dihadapi Robert Langdon (Tom Hanks). Agaknya memang banyak kebingungan yang melanda dan membuat saya tak sampai hati mengungkapkan kekecewaan. Adakah istilah yang lebih halus lagi dari kata “kecewa” untuk mengutarakan ketidakpuasan atau ketidaksesuaian terhadap sesuatu? Aih!

Terakhir, saya sendiri bingung, mengapa adegan terakhir film benar-benar dibuat berbeda dengan versi yang ada dalam buku. Epilog yang diciptakan dalam film Inferno tidak lebih baik dari yang ada dalam novel. Menurut saya, terlalu biasa. Kupikir ini saatnya untuk Mario Teduh mendukung penilaian saya dengan mengatakan, “Itu...!”


This entry was posted on 13 Oktober 2016 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply