KEMATIAN JOHNY SANG KECOA

Johny yang terbujur kaku.
Johny, seekor kecoa yang telah meninggalkan dunia. Saya tak tahu pukul berapa tepatnya rohnya diangkat oleh malaikat. Raganya terbaring kaku, masih utuh, dan tubuhnya tak mengeluarkan aroma busuk. Subhanallah! Saya curiga, Johny mati syahid.

Entah peristiwa apa yang saya lewatkan semalam. Dalam tidur, saya tak menyadari bagaimana Johny menghadapi masa sakaratul maut. Tetiba saja, di suatu pagi yang seharusnya indah, saya menemukan tubuhnya terbalik tak bernyawa—tanpa tahu sebab kematiannya. Dia meninggal dalam kesendirian, tanpa didampingi kerabatnya. Kupikir, dunia per-kecoa-an kejam juga. Tega.

Johny telah tiada. Pergi tanpa pesan kepada keluarganya yang kini mungkin sedang sibuk mencari. Tubuhnya tak lagi merasakan dinginnya ubin, cerahnya mentari, dan tak lagi bebas mengepakkan sayap, terbang ke sana-kemari mencari alamat.

Selamat jalan, Johny. Kehadiranmu di dunia ini tak ada yang sia-sia. Paling tidak, semasa hidupmu sebagai kecoa, bisa menjadi pengingat kepada manusia-tak-tahu-diri, bahwa ada sesuatu yang perlu kita waspadai kehadirannya. Sesuatu yang tidak kita sadari, dan membuat dada berdebar-debar saking kagetnya saat kemunculannya. Dan itu kau...Johny—dan juga teman sebangsa kecoamu itu.

Akan tetapi, Johny berbeda dengan kecoa lain. Setidaknya, dia punya nama. Sebuah identitas yang sengaja saya sematkan kepadanya, karena belum sempat kenalan semalam.

This entry was posted on 4 November 2016 and is filed under ,,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply