CERITA TENTANG BAPAK


Rumah sakit selayaknya membuat Muhammad Arsyad belajar satu hal; ia bukan superhero, yang selalu bisa menang melawan tokoh antagonis. Arsyad tidak harus senantiasa berprinsip seperti jargon produk semen; berdiri keras dan kuat.

Semasa hidup, sependek pengetahuan saya, saya belum pernah melihat bapak selemah seperti saat dirinya berada di rumah sakit. Saya seakan melihat Arsyad yang berbeda di sana. Jarang sekali, saya melihat bapak, dengan wajah menahan nyeri, berusaha memenjarakan erangan yang bisa saja muncul tiap kali jarum suntik menembus kulitnya. Lalu, mengalirkan larutan elektrolit dari infus di urat nadinya.

Selama kurang lebih 20 hari menjalani rawat inap, di dua rumah sakit yang berbeda, Arsyad menjadi "tamu" di sana. Sebuah tempat yang saya yakini, ia benci. Menjadi pasien, seakan membuat harganya dirinya runtuh.

Mengalami cedera cerebrovaskuler adalah kabar buruk dari hari-hari baik yang telah dijalani Arsyad. Sejak didiagnosa terkena stroke hemoragik, 23 November lalu, dirawat di rumah sakit bak penjara bagi bapak. Masuk ICU adalah pilihan baik bagi anak-istrinya yang khawatir akan kesehatannya, tetapi bukan tempat yang benar menurut anggapan pribadinya.

Tapi mau bagaimana lagi, tempat terbaik untuk merawat kesehatan orang keras kepala macam bapak adalah rumah sakit. Entah, barangkali Arsyad phobia dengan hal-hal berbau rumah sakit. Saya belum pernah menanyakannya secara langsung. Saat Aminah, sang istri tercinta juga masuk rumah sakit lebih dulu, tak sekalipun ia menjenguknya ke sana. Di balik itu, sikapnya lantas tidak serta-merta bisa ditafsirkan bahwa ia tak cinta. Arsyad hanyalah manusia biasa yang tak tegaan melihat orang-orang sakit. Apalagi istri sendiri.
* * *
Saya berterima kasih kepada orang-orang baik yang telah datang menjenguk bapak. Tidak hanya membawa satu-dua kaleng khong guan, namun ada doa (yang kini makbul) dengan takaran yang tak bisa diukur demi kesembuhan bapak. Semua berkat keluarga dekat, kerabat, dokter, perawat, dan semua orang yang sebenarnya bisa disebut satu per satu, tapi banyak yang belum kukenal namanya. Hehehe!

Seperti tulisan dalam status ini, beberapa ucapan memang tak selalu terkirim, tapi saya yakin selalu ada doa yang akan sampai kepada orang-orang baik. Tak ada balasan lain dari kami sekeluarga kepada mereka yang telah berbaik hati selain ucapan terima kasih, begitu pula balasan doa; semoga kita semua diberkahi Allah SWT.

Sungguh, rumah sakit juga telah membuat saya dan saudara-saudara lain sadar dan belajar bahwa yang namanya merawat itu memang tidak mudah. Perhatian anak-anak kepada bapaknya selama di rumah sakit, tentu tidak sebanding dengan perlakuan bapak-mamak puluhan tahun “mewakafkan” diri membesarkan dan menyekolahkan anak.

Akan naif jadinya, jika berpikir sudah saatnya anak-anak yang gantian merawat bapak-mamak. Karena mau bagaimanapun, rasa sayang orang tua selalu lebih besar terhadap anaknya. Sekeras apapun kata “sayang” itu kau ucapkan di telinga orang tua, bapak-mamak selalu punya rasa sayang dominan lebih besar; tidak dimulutnya, tapi di dalam hati, melalui perbuatannya. Saya tidak membantah itu!
* * *
Bapak sedang di rumah. Sejak 2 Desember lalu, ia sudah kembali ke kampung halaman. Bertemu istri yang merindukan kehadirannya. Saya yakin betul, dengan terbebasnya bapak dari rumah sakit, pria berusia nyaris 58 tahun ini, ingin langsung menekuni pekerjaannya. Namun, ia mesti mengurungkan niat itu, bekerja bukanlah pilihan tepat bagi orang yang belum direkomendasikan memiliki beban pikir yang banyak.

Beliau memang tipe pekerja keras, cenderung pendiam, sekaligus keras kepala. Beberapa sifat yang dimiliki orang-orang berzodiak Capricorn. Tapi ramalan memang tidak selalu benar, bahkan cenderung acapkali salah. Mamak saya yang merupakan istri Arsyad–yang juga lahir pada tanggal, bulan dan tahun yang sama–malah berkebalikan dari karakter itu.

Berbeda, namun bisa hidup bersama berumah tangga. Bahagia, setia, dan tahan lama. Maksud saya, tidakkah usia 34 tahun pernikahan menjadi bukti bahwa Arsyad dan Aminah adalah sebenar-benarnya jodoh. Sepasang manusia yang ditakdirkan saling menyayangi. Sejak menikah 14 Agustus 1982 silam, tak ada dari mereka berdua yang saling mengingkar janji, sampai sehidup semati.

Saya suka akhir cerita yang baik dan bahagia. Tentu, tidak semua kenangan tergambarkan dengan baik. Tetapi, epilog tadi sudah cukup bagus untuk menyudahi tulisan yang bakal menjadi memori pribadi tentang bapak maupun mamak. Oh iya, terakhir: Selamat Hari Ibu, Bapak! (*)

This entry was posted on 23 Desember 2016 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply