MEMBINCANGI FACEBOOK


Di facebook, di dalam dunia yang penuh dengan fitnah dajjal, jarang sekali ditemukan diskusi atau perdebatan yang bervisi meluruskan lagi mencerahkan. Kebanyakan muncul hanyalah orang yang tampil sebagai pembeda; mengklaim diri siapa yang pintar dan pantas dibodohi di sana, di sini, dan di mana-mana saja yang ada tulisan (postingan) yang memantik sumbu di kepala.

Saya memilih untuk tidak terlalu menyentuh hal-hal "sensitif" dalam ber-status atau berkomentar di media sosial (medsos). Kalaupun ingin, saya suka menulisnya dalam keadaan bercanda. Bukan karena mau cari aman atau menempatkan diri saya di wilayah abu-abu. Saya merasa belum cukup mumpuni menjadi moderator atau narasumber yang berpotensi menciptakan debat kusir.

Apalagi, tidak ikut terjun ke dalam hal-hal yang lagi populer di facebook, tidak selalu berarti (benar-benar) abai terhadap peristiwa tersebut. Beberapa orang tentu punya pilihan dan berhak selektif, tentang hal apa saja yang mau ditulis dan dibagi (untuk kemudian dilihat atau dibaca orang) di medsos.

Dari awal, saya sendiri hanya berusaha menjadikan media sosial ini sebagai hiburan, sisanya untuk mencari pengetahuan. Saya memilih facebook bukan sebagai sumber, tapi sekadar media sekunder untuk mencari dua hal itu: hiburan dan pengetahuan. Kadang-kadang, cari jodoh juga sih. Hahaha!

Kalori di dalam tubuh saya tidak pernah cukup besar untuk menjadikannya energi dalam sebuah perdebatan sengit di facebook. Saya tidak suka menenggelamkan diri terlalu dalam pada sebuah debat status yang membahas tentang penista agama, roti, dan atau peci(?). Lalu, saling lempar argumen biar dikata pintar—karena telah ikut andil berkomentar di situ.

Facebook memang media yang menawarkan kesenangan. Berbagai macam bentuk pula. Dihadirkannya konten yang menggiurkan. Jemari kita selalu terpantik untuk bergerak lebih cepat; mengetik status, berkomentar, dan membagi hal-hal apa saja—walaupun tanpa filterisasi melalui kepala. Dan itu, candu. Entah kenapa dan bagaimana.

Lihatlah...facebook telah berubah, sejak hoax menyerang. Lalu, kemana sang avatar Mark Zuckerberg saat dunia membutuhkannya? Apa perlu saya bertanya pada rumput tetangga yang sedang bergoyang?

Awalnya adalah menghubungkan jalinan pertemanan. Kini, malah memunculkan permusuhan, pertikaian, judi, miras, dan hal kacau lainnya—yang sebenarnya bisa saya sebutkan satu per satu tapi capek ketiknya. ðŸ˜‚

Sesekali, melihat hal semacam itu, ingin rasanya kulari ke facebook, kemudian teriakku: SANTAI WEH...!


This entry was posted on 16 Desember 2016 and is filed under ,,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply