KISAH MASA BELIA (Sebuah Cerita Tak Penting)

Siapa yang tidak kenal Syachrul Arsyad? Tentu saja tidak ada. Wajar. Dia bukan artis. Bukan pula sejenis ‘oppa-oppa’ macam manusia Korea. Tetapi...ada sebuah cerita, yang olehnya direkomendasikan jangan dibaca, karena mengandung unsur tidak penting. Begini...

Ada foto. Itu. Penampakan Syachrul Arsyad waktu masih belia. Wajah semasa masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), yang dipotret dalam keadaan jomblo. Ketika masih kanak-kanak dulu, urusan pacaran belumlah terlintas di dalam kepalanya yang masih agak suci itu. Dipakai berpikir menjawab soal Matematika saja susah, apalagi buat memahami logika para wanita. Tetapi, itu dulu. Sekarang, masih... :v

Foto diri ini diambil dari ijazah SD. Di umur yang–kalau tidak salah ingat–sementara 12 tahun tersebut, Syachrul Arsyad belumlah akil baligh. Usia yang menurut kantor dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah kelahirannya tidak bisa dibuatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebuah tanda pengenal memajang foto diri yang menunjukkan betapa kebebasan berekspresi manusia dibelenggu di situ.

Saya tidak mengajak untuk menatap dan menilai potret lelaki kecil yang dosanya belumlah banyak-banyak seperti sekarang. Tetapi, menurut pandangan objektif bapak dan mamaknya, terpampang nyata penampilan sosok lelaki cilik berwajah lucu, polos, lugu, (insya Allah) gagah, dan kalau mau narsis disebut manis juga boleh.

Itu perkataan orang tua. Saya percaya kekuatan kata-kata orang tua. Termasuk pengakuan barusan. Ucapan yang di dalamnya mengandung kejujuran, meski ada pula yang mungkin merasa ingin muntah saking tidak percayanya. Beberapa di antara pembaca yang budiman mungkin mengalami apa yang saya katakan tadi. Tidak ada yang memaksa, toh selera orang fitrahnya memang berbeda-beda.

Semasa SD, cita-cita Syachrul Arsyad termasuk tinggi. Sebab, kata ibu gurunya kala itu, bercita-cita mesti sampai setinggi langit. Kalau hanya setinggi arena panggung dangdutan, jatuhnya jadi Cita Citata. Hahaha! Garing? Iyes!!! *krik...krik...krik*

Menjadi dokter atau tentara termasuk dua dari cukup banyak impian mulia bagi lelaki yang lahir di benua Asia ini. Mengapa dokter dan tentara? Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tetapi kedua profesi ini dipilih atas asas ke-keren-an semata; mulai dari tampilan seragam, hingga pekerjaan yang dilakukan.

Jika saja guru SD yang sama kembali mempertanyakan cita-cita tersebut kepada Syachrul Arsyad yang sekarang, tentu akan sedikit malu jadinya. Impian kerennya itu tidaklah tercapai, sebab dirinya tidak berusaha sekuat Satria Baja Hitam untuk menggapainya.

Akan tetapi, Syachrul Arsyad masih mengharapkan impian tersebut. Kalaupun tidak “menjadi”, paling tidak bisa “merasakan” hidup berdua bersama kekasih hati yang menjalani salah satu profesi tadi. Asem, eh, ehem! Namun, profesi dan dari kalangan manapun sebenarnya tidak jadi soal, asalkan ia perempuan. Dapat Raisa, Alhamdulillah, kebagian Pevita Pearce pun tidak masalah. Hahaha!

Sungguh, waktu begitu terasa sekali jalannya kalau hidup susah. Yang bahagia, pasti bilangnya hidup ini indah dilalui tanpa terasa. Apapun, Syachrul Arsyad wajib bersyukur menjalani masa keduanya. Sebab, ia sudah besar sekarang. Apanya? Itu, tinggi badannya nyaris 170 centimeter. Ia bisa begitu karena masih diberikan kesempatan bernapas oleh Yang Mahakuasa, rajin diberi makan orang tua dan tak lupa minum sehabis kenyang.

Selain tidur dan mandi sendiri, lelaki yang biasa disapa Syachrul ini juga sudah bisa bikin akun facebook dan mengingat password-nya sampai sekarang. Begitulah dia hidup di dua dunia, kini: nyata dan maya. Sebuah dunia di mana masing-masing orang boleh bersandiwara, berbahagia, atau saling menghina.

Entah dengan status tulisan ini–yang kisahnya dijalani di dunia nyata dan disebar ke dunia maya. Sebenarnya tulisan ini untuk konsumsi (arsip) pribadi semata. Tidak ada kepentingan pihak siapapun di dalamnya.

Bahkan sebenarnya saya yakin, impian jadi presiden malah bisa diraih seketika, jika ada orang tidak membuang waktunya membaca kisah seperti ini. Cerita yang tentu saja tidak penting dan jauh dari kesan menarik karena tidak membahas soal pilkada dan perselisihan agama–seperti status kebanyakan di facebook. (*)

This entry was posted on 10 Februari 2017 and is filed under ,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply