BUKAN KISAH KASIH DI SEKOLAH

Foto ini diambil ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Menampilkan kondisi wajah saya dan tujuh teman lain saat masih remaja. Masa muda--yang menurut Rhoma Irama--masa yang berapi-api. Pemotretan menggunakan kamera beresolusi VGA, namun hasilnya tetap membuat kami terlihat gagah.

Kalian boleh protes. Saya tak mempermasalahkannya. Namanya juga darah muda. Yang maunya menang sendiri. Walau salah tak peduli. Darah muda. *jreeenggg!* Demikian menurut Rhoma Irama kembali menegaskan lewat lagunya.

Ketika SMA, jumlah lelaki di kelas hanya delapan orang. Dengan total siswa keseluruhan--kalau tidak salah ingat--sekitar 25-30 murid. Dominasi wanita di kelas tak membuat kita risih, malah bikin senang dan menentramkan hati. Sebab atas kondisi demikian, para pria punya peluang yang terbuka lebar untuk memilih dan tidak saling berebut wanita yang disukai. Hahaha!

Begitulah salah satu ciri lingkungan kelas eksakta yang terbangun sejak dulu; sedikit pria, banyak wanitanya. Tidak hanya itu. Siswa di kelas IPA mesti menanggung beban moral yang luar biasa kurang ajarnya. Siswa di kelas IPA dipandang "kaum terpelajar"; cerdas, berwibawa, berbudi pekerti (dan juga lebih gagah ðŸ˜…). Pokoknya, setingkat di atas dengan mereka yang di IPS.

Entah mulai dari mana hadirnya pemahaman cilaka ini. Ada upaya stigmatisasi yang dibangun di sana. Syukurlah, saat SMA dulu belum pernah sekali pun saya dengar ada pria yang ditolak wanita IPA karena ia IPS. "Maaf, kamu terlalu ke-IPS-an buat aku." Sungguh jawaban ngeri, mengundang rasa ingin bunuh diri. ðŸ˜·

Namun, berbeda dengan teman yang lain. Di kelas jurusan IPA, saya bukanlah jenis siswa yang menonjol. Tidak begitu pandai tapi juga tak banyak-banyak bodohnya. Saya tidak memiliki bakat terpendam, kecuali kemampuan menyimpan perasaan; lama dan dalam-dalam. Woey!

Setidaknya dengan begitu, saya bisa menjadi salah satu orang yang berusaha mematahkan stigma orang-cerdas-selalu-lahir-dari-jurusan-eksakta. Kukira, ini bentuk lain dari 'prestasi' yang tak pantas dipamer dan tidak patut untuk dibanggakan. Dipilih menjadi ketua kelas juga tak perlu diumbar. Sebab dulu kukira jabatan ini bisa dimanfaatkan menggaet wanita idaman. Ternyata, tidak! ðŸ˜‚

Kini...dari delapan orang di foto tersebut, Alhamdulillah...sudah dua orang yang menikah. Bahkan punya anak yang lucu lagi menggemaskan. Lima kawan yang lain masih sibuk kerja, sambil menghitung jumlah tabungan dalam rangka membeli mahar buat bakal calon istrinya.

Satu orang lainnya lagi sebenarnya tidak begitu penting, tapi ia sungguh berharap bantuan doa; semoga diberi kekuatan untuk segera 'move on' dari Raisa. Duh!

This entry was posted on 5 Oktober 2017 and is filed under ,,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply