KISAH CINTA PEMUJA RAHASIA

Saya tidak sedang terjebak dalam lingkaran "spesies oppa-oppa". Saya hanyalah seseorang yang merasa harus mendedikasikan diri agar menyelingi waktu menikmati drama Korea (drakor). Kini mulai lebih teragenda; dalam kurun waktu minimal dua kali sebulan, saya harus "belajar" menuntaskan satu film atau serial drama Korea.

Bagi kebanyakan orang, drama Korea punya konten yang "berbahaya". Dampaknya lebih ke perasaan, cenderung dialami perempuan. Efeknya menimbulkan tangisan. Minimal teringat mantan yang gagal diajak ke pernikahan pas lagi sayang-sayangnya. Bahkan, pada tingkatan yang paling lebay, tiba-tiba berhasrat ingin memiliki pacar berwajah tampan.

Saya sendiri, menonton drama Korea sebagai medium untuk menemukenali perasaan sendiri. Kupikir, drakor bisa menjadi alternatif meningkatkan kepekaan manusia. Bukan karena ingin terjerumus pada standar: kecantikan wajah berkiblat pada diri perempuan Korea.

Saya kira alasan tersebut sudah cukup keren untuk meminimalisir pertanyaan bernada ejekan, "laki-laki kok nonton drama Korea?!" Hahaha ðŸ˜‚

Saya habis menonton 'Daisy'. Sebagaimana pendapat umum terhadap drakor, film ini pun menawarkan romantisisme yang jarang sekali ditemukan pada sinetron Indonesia. Plot film ini dibangun dari tiga sudut pandang para tokoh utama yang menjadi awal bermulanya kisah cinta yang salah sasaran.

Singkat cerita, Hye Young (Jeon Ji-Hyeon) adalah seorang pelukis yang tiap pagi mulai menerima kiriman bunga Daisy. Tanda cinta dari seorang pemuja rahasia. Ia tak tahu, Park Yi (Jung Woo Sung), seorang pembunuh pembayaran itulah yang mengirimkan sekuntum bunga sebagai ungkapan rasa cinta terhadap wanita yang diidamkannya.

Sungguh tidak enak menjadi pemuja rahasia. Kebanyakan menjadi korban perasaan dan keadaan. Karena suatu skenario yang tidak diharapkan, datanglah Jeong Woo (Lee Seong Jae), seorang petugas interpol yang membuat Hye Young salah mengira bahwa lelaki itulah pemuja rahasianya. Dan begitulah kemudian, cinta segitiga antara pembunuh bayaran dan petugas interpol yang 'memperebutkan' seniman jalanan.

Menonton film ini, saya jadi teringat penuturan filsuf, Friedrich W. Nietsche. Salah satu kutipan favorit saya setiap menemukan film roman menggelisahkan seperti 'Daisy'. Dikatakan Nietsche, cinta adalah bentuk totalitarianisme paling ekstrem.

This entry was posted on 5 Oktober 2017 and is filed under ,,,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply