Dilema Guru Terhadap Perang

No Comments »

Saya baru saja membaca "Dua Belas Pasang Mata". Judul aslinya, Nijushi No Hitomi. Karya Sakae Tsuboi, sudah difilmkan, dan saya punya rencana untuk menontonnya (kalau file-nya ketemu). Novel ini menghadirkan cerita yang luar biasa, bikin gelisah, sedikit-banyak menyisakan luka.

Novel ini menceritakan tentang Miss Oishi, seorang guru yang bertugas di daerah terpencil bernama ... (*sinopsis lengkapnya cari di google. Saya capek ketiknya di sini*) ðŸ˜…


Sebagai sebuah karya imajiner, 'Dua Belas Pasang Mata' menawarkan berbagai permasalahan kemanusiaan dan kehidupan. Pada dasarnya, ini adalah novel anti-perang. Konfliknya cukup kompleks, sebagaimana kisah-kisah guru sejak dulu sampai sekarang.

Miss Oishi dilema. Sekian lama mengajar, ia memutuskan ingin berhenti menjalani profesinya. Sebagai sosok penyayang, Miss Oishi merasa gagal dan tak tega melihat sebagian besar muridnya ingin menjadi tentara. Menjadi tentara tentu tak masuk ke dalam hitungan Miss Oishi. Ia tak pernah mau murid-muridnya kelak mati muda, karena begitu naif memperjuangkan konsep menyelamatkan negara lewat perang.

Suasana perang pada masa itu memang membuat Miss Oishi gelisah. Meski tak mampu menghalangi niat muridnya berperang, tiada lain yang bisa ia berikan selain menitipkan pesan (kurang lebih begini): "Jangan mati cepat, pulanglah dengan selamat."

Bagi Miss Oishi, seharusnya tak perlu ada yang mati di medan perang. Orang-orang harus perjuangkan hidup dan segera pulang.

EFEK PIKNIK

No Comments »

Air Terjun Barassang agaknya punya efek terapi. Lokasi wisata yang berada di desa Bissoloro, kecamatan Bungaya, kabupaten Gowa ini menjadi ruang relaksasi. Semacam tempat yang menstimulus seseorang untuk melupakan utang.

Cobalah tengok sekumpulan pria ketjeh ini, sodara-sodara. Para bidadara yang turun ke bumi entah dari kayangan mana. Dengan percaya diri, masing-masing dari mereka menunjukkan sebagian lekuk tubuh yang nyaris tak pernah terlatih dan dibentuk di tempat fitness. Hahaha!

Mereka mandi di air terjun dengan suasana hati riang gembira. Padahal, perjalanan untuk menggapai lokasi ini, lumayan jauh dengan medan yang cukup berat. Perjalanan yang rawan mengundang lelah di tubuh.

Saya tidak tahu, apakah mereka punya tunggakan kredit di bank atau ada utang sama teman. Tetapi, jelas sekali raut mereka tidak setegang saat seseorang didatangi rentenir di rumahnya yang menagih pinjaman yang lewat dari jatuh tempo.

Hanya saja, saya selalu khawatir. Tiap kali sebuah perjalanan wisata berakhir, efek piknik itu hanya berlaku sebentar saja. Seharian ceria, dan besok tensi harus naik kembali. Tapi biarlah ya. Hidup memang begitu; kadang bahagia, asal jangan keseringan susah. ðŸ˜‚

PEMBERONTAKAN VEGETARIAN

No Comments »

VEGETARIAN adalah pengalaman pertama saya membaca buku dari Korea Selatan. Setelah sempat beberapa kali "tersihir" akan 'produk budayanya' yang lain lewat lagu atau film dramanya yang lumayan bikin termehek-mehek.

Membaca Vegetarian berangkat dari rasa penasaran. Saya sering mengira, Korea Selatan hanya mampu memproduksi film drama, dan menciptakan spesies "oppa-oppa" yang berhasil bikin histeris wanita Indonesia. Ternyata saya salah sangka. Sastra Korsel juga berkembang. Penulis novel ini bahkan menjadi pemenang Man Booker International Prize 2016.

Buku ini berpusat pada karakter Kim Yeong Hye, seorang perempuan yang mendadak jadi vegetarian karena mimpi buruk. Kepribadiannya itu justru tidak hanya merusak dirinya sendiri, namun juga kehidupan keluarganya.

Novel yang ditulis Han Kang ini sebenarnya agak memusingkan saya. Ceritanya ganjil, dan bernuansa gelap. Kisahnya sangat jauh berbeda dengan skenario yang biasa saya temukan dalam bentuk film drama Korea yang romantis dan penuh cinta. Tokoh dan sifat dalam buku ini pun digambarkan tidak seideal macam artis Lee Min Ho dan atau Song Hye-Kyo.

Meski begitu, saya cukup menikmatinya. Tokoh utamanya mungkin terkesan menakutkan dengan tingkahnya yang aneh. Hanya saja di satu sisi saya merasa iba dengan konsep "kebebasan" yang ia terapkan. Memberontak hanya karena ingin berubah: keluar dari kebiasaan dirinya yang lain, walau dengan cara yang ekstrim.

I S R A

No Comments »

Lelaki dalam potret ini bernama Isra. Salah satu dari sekian banyak anak yang rindu bersekolah. April lalu, saat berkunjung ke daerah tempat tinggalnya bersama para sukarelawan di komunitas sedekah buku, Isra dan teman-temannya sudah sekitar sebulan tidak mengenyam bangku pendidikan.

Dusun Cindakko, desa Bontoramba, kecamatan Tompobulu, kabupaten Maros, hanyalah salah satu daerah yang terkena imbas dari tidak meratanya akses pendidikan. Sekitar setahun lalu, daerah ini memang sudah punya sekolah darurat--walaupun jauh dari bentuk sekolah kebanyakan di perkotaan.

Saya belum begitu mengenal Isra. Tapi saya tahu, remaja yang bermimpi menjadi seorang guru ini, tentu tak mahir membolos. Sekolahnya hanya 'libur' secara terpaksa. Untuk banyak perkara yang begitu pelik, anak-anak pasrah menerima keadaan.

Agenda pada roster mata pelajaran nyaris tak ditepati. Kurikulum yang sering diganti kementerian pendidikan itu, agaknya tak berlaku di sini. Nyaris tidak ada jadwal yang pasti kapan materi pembelajaran itu diberi.

Dua guru bantu di sekolah itu, kata anak dusun Cindakko, jarang betul masuk mengajar. Ada cukup banyak masalah yang membuat saya menerka-nerka sebab-musababnya; bisa jadi akses jalan yang rusak lagi jauh, dan atau persoalan gaji guru. Itu baru dugaan. Masalahnya terlalu kompleks hingga tak etis bila menyalahkan seseorang secara sepihak.

Padahal, gairah bersekolah Isra begitu tinggi. Anak-anak dusun Cindakko punya impian yang ingin digapai. Menuju ke sekolah menempuh perjalanan kaki 3-7 km sepertinya sudah biasa. Semua demi menggapai cita-cita yang mulia.

Sekarang...Isra tak perlu menunggu waktu libur untuk tak masuk sekolah. Kabar yang datang dari seorang teman beberapa hari yang lalu mengatakan, gangguan kesehatan yang lambat ditangani, mengharuskan Isra berhenti menggapai cita-cita. Ia telah tiada; kembali ke sisi Yang Mahakuasa.